17 Agustus 2016 yang jatuh pada hari Rabu, lebih
akrab diingat sebagai hari peringatan kemerdekaan Indonesia, tapi sejak menjadi pekerja
kantoran yang rutin dari Senin sampai Jumat harus mencari pundi-pundi rupiah, hari tersebut juga menjadi
kesempatan untuk cuti dan melepaskan kepenatan suasana kantor.
Cuti di terima, saatnya kita berangkat. Kali ini
Gunung Rinjani menjadi tujuan utama. Aku berangkat berdua bersama Kak Beben
dari Jakarta dengan rencana pendakian 6 Hari 5 Malam, naik dari Jalur Sembalun
dan turun dari Jalur Senaru. Lama pendakian mempengaruhi persediaan logistik
dan tentunya bawaan yang berat menjadi salah satu kekhawatiran pendaki pemula
sepertiku. Berbekal persiapan yang cukup matang, kami pun berangkat.
Sabtu, 13
Agustus 2016
Jakarta (CGK) – Lombok (LOP) – Basecamp Sembalun
Boarding Pass dengan penerbangan dari Bandara
Soekarno Hatta menuju Bandara Internasional Lombok tertulis akan berangkat
pukul 20.00 WIB dengan pesawat Lion Air JT-650. Selepas magrib, kami mulai
bergerak menuju bandara karena jarak bandara dengan kos ku hanya sekitar 15
menit. Syukurlah tidak ada delay, hanya saja gate yang tertulis di boarding
pass tidak sesuai dengan yang di umumkan, entahlah apa penyebabnya yang penting
aku tiba di tujuan yang benar. Penerbangan selama 1 jam 55 menit ini aku isi
dengan membaca majalah dan tidur hingga akhirnya pesawat landing pukul 22.55
WITA di Bandara Internasional Lombok. Terlihat banyak orang dengan setelan
pendakian dan sudah terbayang dalam benakku bahwa akan sangat ramai pendaki di Gunung Rinjani
nanti.
Rencana awal, kami akan menginap terlebih dahulu di
Rumah Singgah di Mataram. sayangnya saat dihubungi sebelum kami lepas landas, ternyata rumah singgah
sedang di renovasi.
Segera Kak Beben mengontak temannya yang di Mataram untuk mencari tumpangan.
Sukurlah temannya siap menampung kami dan menurut instruksi, kami bisa naik
Damri menuju Terminal Mandalika dan akan di jemput disana. Setiba di Bandara,
kami pun membeli tiket Damri dengan tarif Rp.
25.000 per orang dengan tujuan Terminal Mandalika.
Setelah
keluar dari gedung bandara, ada mobil travel yang menawarkan untuk mengantar sampai
Sembalun dengan harga Rp 250.000 untuk 2
orang. Sebenarnya mobil ini sudah disewa untuk mengantar penumpang ke
Pelabuhan Lombok namun karena hampir searah pak sopir juga menawari kami untuk
ke Sembalun. Melihat kondisi mobil yang tidak penuh dan kami bisa tidur dahulu
di mobil selama perjalanan, kami pun setuju dengan permintaan untuk nanti
berhenti di mini market karena kami harus membeli gas terlebih dahulu. Sebelum berangkat, Kak
Beben mengabari temannya tentang rencana baru kami. Perjalanan pun dimulai dan sempat berhenti dua kali di minimarket karena minimarket pertama
kehabisan stok gas, mungkin karena
banyaknya pendaki yang datang. Sekitar pukul 03.00 dini
hari kami tiba di Basecamp Sembalun
Minggu, 14
Agustus 2016
Bagian dalam basecamp sudah dipenuhi pendaki yang
tidur, bahkan di teras pun sudah banyak pendaki yang tidur dengan sleeping bag
nya masing-masing. Syukurlah masih ada lapak untuk kami di dekat pintu
basecamp, segera kami mengeluarkan sleeping bag untuk ikut meramaikan jejeran
kepompong-kepompong di teras basecamp ini.
Belum lama rasanya aku tertidur, tapi waktu subuh
telah datang, ada rasa malas yang akhirnya membuatku menunda solat Subuh
setengah jam dari adzan padahal saat itu aku masih terjaga. Ada sebuah musholla
disini yang berada di samping basecamp. Selepas solat, kami harus mulai bersiap
karena basecamp akan segera di buka untuk registrasi para pendaki. Sebelum
packing ulang barang, aku sempat membeli sarapan berupa nasi dengan lauk yang
bisa dibilang seadanya. Nasi putih, ayam goreng dingin yang sangat sulit
digigit dan sambal kentang. Harga satu
porsi Rp. 10.000 dan sesaat
sebelum mulai mendaki, kami sempat membeli nasi lagi di
warung lainnya yang niatnya untuk dibawa naik sebagai makan siang. Harganya
sama, tapi tiap warung punya menu berbeda.
Basecamp Sembalun |
Saat registasi kami harus mengisi data diri serta
list bawaan yang berpotensi sebagai sampah, khususnya kaleng dan plastik. Untuk
tiket masuk, wisatawan domestik
dikenakan tarif Rp 5000 per orang per hari. Untuk menuju start pendakian, bisa
dengan langsung jalan kaki atau menggunakan mobil pick up terlebih dahulu. Tapi
akan lebih baik menggunakan pick up yang bisa menghemat waktu karena jalan
cukup sempit dan menanjak, apalagi jika ada pick up yang lewat, siap-siap terkena semburan debu karena kondisi jalanan memang sangat
berdebu. Karena kami hanya bedua, akhirnya coba mencari
pick up yang masih bisa memuat 2 orang lagi, akhirnya kami berbarengan dengan
rombongan pendaki dari Surabaya dan Malang yang berjumlah 7 orang. Ongkos Pick
up ini adalah Rp. 150.000 sekali jalan.
Basecamp
Sembalun – Pos 1
Start pukul 09.00 WITA kami mulai mendaki. Setelah
sempat berbincang-bincang, akhirnya kami naik berbarengan dengan mereka,
walaupun saat semakin ke atas, tempo langkahku semakin melambat karena barang
bawaan yang terasa semakin berat.
Kami mempersilahkan
mereka untuk lebih dulu jalan. Dari start awal pendakian menuju Pos 1 Sembalun
memakan waktu sekitar 3 jam perjalanan. Sepanjang jalan, kami melewati padang
savana yang panas dan jarang sekali ditemukan pohon untuk berteduh. Cuaca yang
cerah benar-benar membuat keadaan menjadi sangat terik sehingga sangat tidak nyaman untuk beristirahat agak lama. Sekitar pukul
12 siang, kami tiba di Pos 1 yang berupa lapangan dengan sebuah pondok permanen
dari beton yang cukup besar. Kami bertemu lagi dengan rombongan dan
beristirahat bersama walaupun kemudian kami mempersilahkan mereka duluan.
Menurut informasi, tidak ada sumber air di pos 1 ini. Tidak begitu lama kami istirahat, kami pun
segera lanjut menuju Pos 2.
Suasana Pos 1 |
Perjalanan dari Pos 1 menuju Pos 2 memakan waktu sekitar 1
jam. Jalur pendakian masih memiliki suasana yang sama yakni padang savana yang
menanjak. Sebelum memasuki Pos 2, kami melewati jembatan yang di bawahnya
merupakan sumber air. Air yang keluar tidak begitu deras karena berupa tetesan,
sehingga perlu waktu cukup lama untuk mengisi
penuh air. Dampaknya, antrian juga panjang karena saat
itu pendaki yang datang sedang banyak-banyaknya. Kami bertemu lagi dengan
ketujuh anggota rombongan tadi dan menyantap makan siang bersama di sini.
Selepas makan, Kak Beben bergerak ke sumber air untuk mengisi air bersama
beberapa anggota rombongan. Aku sempat tertidur karena rasa kantuk serta cuaca
yang cukup mendukung karena mulai dingin oleh kabut.
Suasana Sekitar Pos 2 |
Cukup lama beristirahat di sini karena menunggu yang sedang mengambil
air, bahkan saat aku terbangun, Kak Beben juga belum pulang dari mengambil air.
Setelah cukup lama menanti, akhirnya yang di tunggu datang. Selepas solat
Dzuhur, kami mulai
mengepak barang lagi dan bersiap melanjutkan pendakian menuju Pos 3. Rencananya
hari ini kami akan camp di sana.
Pos 2 – Pos 3
Start pukul 14.45 WITA, kami bergerak menuju Pos 3.
Seperti biasa kami mempersilahkan mereka bertujuh terlebih dahulu karena dapat
dipastikan gerakanku akan semakin lambat dengan barang bawaan yang bertambah berat karena persediaan air yang diperbanyak. Cuaca yang
mulai sejuk serta jalur yang mulai lega karena tidak begitu ramai lagi, membuat
tempo perjalanan mulai rapi. Istirahat hanya hitungan detik kemudian lanjut
berjalan hingga akhirnya melewati Pos bayangan. Kami memutuskan lanjut untuk menuju Pos 3 yang di
ujung untuk menghemat waktu.
Menuju Pos 3 |
Setelah mendirikan tenda, kami segera menunaikan
Solat Ashar lalu kemudian berbagi tugas. Aku mulai masak untuk makan malam dan
Kak Beben mengambil air. Sumber air berada cukup jauh dari lokasi tenda kami.
Tepatnya berada di lembahan yang merupakan daerah aliran sungai yang telah
mengering (kalimati). Untuk menuju kesana, kak beben harus kembali menuju pos
bayangan kemudian menuruni tebing meniti jalan setapak zigzag yang cukup
terjal. Setibanya dibawah, air juga tidak bisa langsung di dapatkan, melainkan
harus menggali pasir terlebih dahulu hingga kedalaman 30 Cm. Sampai kedalaman
tersebut air akan mulai keluar menggenangi lubang. Air yang menggenang tentunya
masih kotor karena tercampur pasir hitam bekas galian sehingga harus menunggu
beberapa saat dulu agar kotoran menggenang ke dasar. Kemudian air yang bersih
mulai ditampung ke dalam jerigen kosong dengan menggunakan botol kecil sebagai
gayungnya.
Senin, 15
Agustus 2016
Pos 3 –
Pelawangan Sembalun
Pagi hari kami segera menyiapkan sarapan dan sesegera
mungkin melanjutkan perjalanan menuju Pelawangan Sembalun. Hari ini kami akan
melewati tempat yang disebut “Tujuh Bukit Penyesalan”. Sekitar pukul 10.00
WITA, kami sudah siap untuk melanjutkan perjalanan. Kami tetap membawa banyak
persediaan air karena sepanjang jalan tidak ditemukan sumber air hingga tiba di
Pelawangan nanti. Diantara bukit ini, ada sebuah shelter dengan satu bangunan permanen
seperti di pos-pos sebelumnya.
Kalau kemarin jalurnya masih lumayan landai, kali ini
kami harus mendaki 7 bukit yang menanjak dan lebih berdebu. Jalur juga masih
panas karena jarang ditemukan pohon untuk berteduh.Tepat jika disebut bukit
penyesalan, ketika sudah setengah jalan, pelawangan tetap saja masih jauh.
Tetapi jika ingin turun, terlalu jauh perjalanan yang sudah dilalui dari
kemarin, apalagi dari sini aku bisa melihat darimana aku sudah berjalan sejak
kemarin. Tapi karena sudah di sini, menyesal ataupun tidak tetap harus aku
lanjutkan, apalagi mau mikir turun sepertinya lebih melelahkan dan mengecewakan daripada
naik terus.
Tujuh Bukit Penyesalan |
Setelah tenda berdiri, Kak Beben kembali mengambil
air. Ternyata lokasi air juga sangat jauh sehingga sudah cukup lama menunggu, Kak Beben belum juga
kembali. Barulah sekitar 1 jam ia datang dan kami mulai memasak makan malam.
Selepas makan dan sholat Isya, kami langsung bersiap tidur untuk persiapan
summit pukul 01.00 dini hari nanti.
Selasa, 16
Agustus 2016
Pelawangan
Sembalun – Puncak Rinjani 3726 MDPL – Pelawangan Sembalun
Tepat pukul 01:00 WITA, alarm berbunyi tapi mata
masih benar-benar mengantuk sehingga butuh memejamkan mata setengah jam lagi. Pukul 01:30 barulah kami mulai beranjak,
bersiap dengan membawa bekal seperlunya. Pukul 02:00 WITA, kami memulai
pendakian menuju Puncak Rinjani. Tantangan berat pertama adalah suhu yang
teramat dingin serta angin yang cukup kencang. Sesekali merasa sesak karena
supply oksigen yang mulai menurun. Semakin ke atas, pasir semakin tebal
sehingga menyulitkan untuk berjalan karena terus-terusan merosot.
Jalur Awal Summit (diambil saat turun) |
Sunrise Menuju Puncak |
Jalur berbatu ke arah puncak |
Skip. Pukul 10:45 WITA kami mulai bergerak turun
sembari main perosot-perosotan dengan kaki. Sayangnya, perosotan ini tidak dapat dianggap
mudah, merosot seperti ini ternyata sangat diperlukan kehati-hatian ekstra. Terpeleset dan
kesulitan ngerem, menjadi salah satu
kendala. Belum lagi matahari yang sudah mulai ganas, siap membuat kulit gosong
dan terbakar. Akhirnya setelah melewati perjalanan merosot yang melelahkan,
kami tiba di Pelawangan Sembalun lagi. Sebelum ke tenda, aku ikut kak beben
mengambil air terlebih dahulu untuk bekal perjalanan menuju danau nantinya.
Ada dua tempat mengambil air yang lokasinya
berdekatan. Sempat melihat bangunan berupa toilet, sayangnya tidak dilengkapi
dengan pintu, jadi aku hanya mencuci muka dan bersih-bersih sekedarnya saja.
Setelah mengisi persediaan air, kami tiba di tenda sekitar pukul 14:00 WITA.
Niatnya kami akan bergerak ke Segara Anak pukul 15:00 WITA namun karena kondisi
tubuh yang kurang stabil membuat kami harus beristirahat dahulu setelah makan
siang.
Pelawangan
Sembalun – Segara Anak
Pukul 16:30 WITA, kami baru memulai perjalanan ke
Segara Anak. Di awal perjalanan atau mungkin bisa dikatakan sampai setengah perjalanan nanti, kami harus
menuruni tebing bebatuan yang curam, sangat harus ekstra hati-hati melewati
jalur ini karena salah sedikit dapat membuat cidera. Malam pun datang, kabut
tebal mulai menyelimuti hingga membuat jarak pandang sangat terbatas. Suasana
itu harus kami lalui dengan penerangan headlamp yang sangat menyedihkan karena
jarak pandangnya yang sangat dekat tak mampu menembus kabut hingga Kak beben
terpaksa menggunakan senter Handphone nya.
Terbesit kekhawatiranku dengan jalur yang kami lalui
ini, apakah masih sesuai ataukah sudah melenceng terlalu jauh karena dalam
setiap langkah kami harus meraba jalur akibat tertutup kabut. Namun semua itu
terbantahkan karena kak beben meyakinkanku untuk terus berjalan mengikuti rute
yang ada di GPS nya.
Dalam perjalanan malam itu, kami bertemu dengan
pendaki yang berjalan tertatih-tatih sambil menggendong ranselnya seorang diri.
Setelah mengobrol sejenak, diketahui ternyata ia tertinggal dari rombongannya
yang sudah berada jauh di depan karena lututnya yang sakit, efek turun dari
puncak ujarnya. Sebenarnya aku juga sering merasakan hal tersebut, sukurlah
saat turun dari puncak, lututku masih aman dan sanggup untuk melanjutkan turun
ke Segara Anak. Terbesit ingatan pengalamanku di Gunung Dempo waktu lalu (Baca: Gunung Dempo - Curup Maung, Edisi Langkah Kecil yang Bercerita), hingga akhirnya kami
memutuskan untuk jalan beriring bertiga bersamanya.
Setelah beberapa jam berjalan, kakiku juga mulai bermasalah, tempo jalanku mulai melambat dan
bisa dikatakan sama dengan pendaki yang kami temui ini. Sukurlah tak lama dari
situ mulai masuk jalur perbukitan sehingga turunannya tidak seekstrim ketika menuruni
tebing.
Dengan berjalan perlahan tapi pasti, akhirnya sekitar
pukul 21:00 WITA, kami tiba di Segara Anak. Pendaki tersebut pun sudah bertemu
dengan temannya yang menunggunya sedari tadi, sedangkan kami langsung mencari
lokasi untuk mendirikan tenda. Lokasi tenda yang kami dapat juga kurang bagus
karena lahan sudah dipenuhi oleh tenda-tenda lain. Akhirnya kami mendirikan
tenda di dekat WC umum, setidaknya untuk malam ini saja karena besok mungkin
akan hunting lokasi lain di sekitar
danau.
Malam itu aku yang menjadi koki. Sempat kesal dengan
nasi yang kumasak karena tak kunjung matang, bahkan aku hampir beberapa kali
tertidur. Sampai detik ini aku belum
tau penyebab nasi yang matangnya berjam-jam itu... errr. Selepas makan, kami langsung beristirahat karena tubuh sudah sangat lelah.
Rabu, 17
Agustus 2016
Segara Anak
Seperti biasa
jika sedang berlibur, aku selalu terbangun di pagi hari dan tidak betah jika
hanya tiduran saja. Segera aku membuka tenda dan menghirup udara segar. Dengan
kaki yang agak pincang, aku berjalan menuju tepi danau. Benar-benar pagi yang
indah. Danau terbentang luas berwarna kebiruan seperti tanpa cela, gunung baru
jari yang berdiri dengan indah serta beragam aktivitas para pendaki mulai dari
memancing, memasak dan lain sebagainya. Suhu dingin masih sangat terasa,
kemudian suara pengeras suara mulai terdengar karena akan dimulainya upacara
bendera di salah satu sisi danau ini. Peserta upacara mungkin para peserta dan
panitia Tapak Rinjani IX karena keberangkatan kami berbarengan dengan kegiatan
tersebut.
Segara Anak |
Segera kami
menyiapkan sarapan dan setelahnya mencari lokasi camp baru yang lebih nyaman untuk hari ini. Kami
mendapat lokasi baru yang tak jauh dari danau, setidaknya bisa mendapat view
danau saat membuka tenda dibanding tempat sebelumnya yang hanya mendapat view
WC umum tak terawat :/
Hari ini
difokuskan untuk bersantai dan istirahat. Selepas menyeruput segelas kopi, Kak
Beben mencoba mencari kail yang tidak terpakai di beberapa orang yang sedang
memancing. Aku yang bosan menunggu di tenda, mulai berjalan ke arah berlawanan
sambil melihat-lihat. Tak lama aku melihat dua orang wanita yang sedang berada
di pinggir danau, aku mencoba membuka omongan basa-basi yang sebenarnya iseng
cari teman. Ternyata mereka berdua dari Kalimantan bersama rombongan yang cukup
ramai dengan guide orang lokal. Tak lama datanglah guide mereka yang ternyata
sangat ramah. Kami berbagi cerita cukup lama dan sore nanti akan ke kolam air
panas bersama. Akhirnya aku memutuskan kembali ke tenda yang ternyata Kak Beben juga sedang menuju
tenda sambil membawa kail yang telah ia dapatkan. Akhirnya, hari ini kami isi
dengan kegiatan memancing walaupun kurang beruntung karena ikan yang didapat
selalu ikan kecil dan tidak banyak. Tapi karena hari ini hari santai, tidak
perlu target ikan yang penting menyenangkan.
Sore hari, teman yang aku temui
sebelumnya menyapa kami dan mengajak ke kolam, dengan segera kami akhiri sesi
memancing dan bersiap menuju kolam air panas yang sudah kami lewati sebelumnya
saat mengambil air.
Ada beberapa
kolam alami di sini, ada yang suhunya sangat panas sampai yang suhunya sedang.
Aku bergabung dengan rombongan wanita agar lebih nyaman. Karena kolam sangat
ramai, kami sampai mendapat tempat yang berada di paling atas. Tapi setidaknya
lebih nyaman karena agak tertutup. Kolam ini merupakan tempat yang harus dicoba
ketika berada di Gunung Rinjani, tidak hanya menyenangkan tapi juga bisa
menjadi obat pegal dan membuat rileks otot yang tegang setelah perjalanan
menuju puncak kemarin. Setelah puas bermain, rombongan yang lain pulang ke
tenda lebih dulu karena aku harus mencari Kak Beben di keramaian. Setelah
ketemu, kami mulai berbagi tugas. Aku kembali ke tenda
untuk memasak, sedangkan kak beben mengambil air untuk persediaan.
Setibanya di tenda, aku segera memasak nasi dan meminjam pemantik api dari tetangga
sebelah karena lupa mengambil dari Kak Beben. Nasi sudah matang, Kak Beben
belum juga kembali, hari pun mulai gelap. Aku lanjutkan dengan memasak air dan
beberapa makanan yang bisa aku masak untuk mengisi waktu, tapi ia juga tak
kunjung datang. Ku lihat headlamp semuanya lengkap di tenda yang berarti dia
tidak membawa penerangan. Rasa khawatir mulai muncul dan berharap HP yang ia bawa baterainya masih cukup.
Beberapa kali aku melihat keluar tenda dan
terbesit rencana untuk menyusul. Tapi jika kulakukan, khawatir aku yang malah nyasar dan tidak sempat berpapasan di jalan sekiranya dia sudah
berjalan menuju tenda. Akhirnya aku putuskan untuk menunggu saja di dekat tenda.
Selang beberapa
menit, kekhawatiranku berakhir. Ia akhirnya datang bersama orang yang sempat
kami temui saat memancing siang tadi. Ternyata antrian mengambil air, jauh
lebih ramai dari pada pagi tadi.
Karena air yang dimasak telah dingin kembali dan nasi yang tidak sehangat
sebelumnya, kami panaskan sedikit lagi, barulah mulai menyantap makan malam.
Suhu terasa sangat dingin, tapi terasa bosan jika harus langsung tidur. Kamipun
menyempatkan berjalan ke tepi danau sambil melihat bulan yang bulat sempurna.
Sayang, indahnya bulan masih kalah dengan dingin yang benar-benar menusuk.
Segera kami kembali ke tenda dan
terlelap dalam gulungan sleeping bag
masing-masing.
Kamis, 18 Agustus 2016
Segara Anak – Pos 3 Senaru
Pagi yang indah
sekali lagi. Indahnya segara anak kembali menyambut pandangan mata ketika
keluar dari tenda. Sayang hari ini kami harus berkemas dan kembali ke Mataram
karena berencana akan berjalan-jalan juga ke pantai dan tempat wisata lainnya.
Target hari ini memang langsung turun lewat Jalur Senaru menuju RTC Senaru,
tapi jika tidak memungkinkan, kami sudah menyiapkan rencana untuk stay 1 malam
lagi di pos 3 Senaru. Selesai berkemas, sekitar pukul 11.30
WITA, kami mulai bergerak dan mulai
mendaki lagi menuju Pelawangan Senaru.
Menuju Pelawangan Senaru |
Sekitar pukul 17.30, kami mulai
bergerak turun. Medan yang dilalui berupa tanah debu berpasir dan berbatu-batu yang cukup tajam.
Benar-benar jalur yang membuatku kesusahan karena khawatir terpeleset. Belum
lagi jurang yang menganga jika sampai lepas kendali saat berjalan turun.
Akhirnya, kami berjalan dengan sangat pelan dan saat hari menjelang magrib,
kami duduk terlebih dahulu di tepi jalur untuk menyiapkan alat penerangan sebelum kembali
melanjutkan perjalanan. Kondisi jalur yang curam dan berpasir sangat tidak memungkinkan
untuk menunaikan sholat magrib hingga akhirnya
diputuskan untuk menjama’nya saat di
Pos 3 nanti.
Berangsur-angsur
hari mulai gelap dan jalanan masih sama berbahayanya. Hingga akhirnya kami
berada di jalur yang pasirnya mulai agak lembab dan tidak begitu gembur seperti
sebelumnya. Beberapa saat setelahnya, barulah kami masuk ke kawasan hutan.
Jalanan mulai bersahabat dan langkah kaki sudah bisa stabil dan mulai cepat
dari sebelumnya. Ketika memasuki kawasan hutan (Kawasan
DEMPLOT), sepertinya aku melihat
sesuatu yang berbau “mistis”, tapi untuk menjaga mental tetap aman, aku abaikan
berpura tak melihat dan hanya fokus ke jalanan. Untunglah tidak ada gangguan
yang berarti.
Sepanjang
perjalanan selepas dari Pelawangan Senaru, kami benar-benar tidak bertemu satu
orang pun, sehingga suasana sangat terasa mencekam. Saat
memasuki kawasan hutan ini, kak beben tampak lebih sering melihat GPS dari
biasanya. Setiap 10 meter melihat, begitu seterusnya.
Hal ini baru terjawab saat kami
sudah berada di kota, rupanya ia merasakan hal yang serupa. Alasannya sering
melihat GPS karena ingin tahu track record pergerakannya, apakah masih sesuai
pada jalur atau melenceng atau bahkan mulai “berputar”, seperti yang pernah
terjadi padanya beberapa tahun silam di Gunung Dempo.
Biasanya dalam kondisi seperti ini, kak beben punya trik
tersendiri dalam mengatasi ketakutannya. Mencari logika yang masuk di akal dari
kejadian yang dilihatnya. Kemudian menetapkannya sebagai suatu hal yang biasa.
Entah bagaimana dia melakukannya, yang pasti selama bersamanya, semua seolah
aman karena perhitungannya cukup masuk di akal.
Sayup-sayup
terdengar
suara manusia bercengkerama dan semangat mulai bangkit karena ternyata kami
sudah hampir sampai di Pos 3. Ada satu tenda rombongan Bule di sini beserta porter yang mengiringi
mereka. Kami disapa dengan hangat oleh si Bapak porter dan mempersilahkan kami membangun tenda di
sekitar.
Rezeki memang tak
kemana, setelah tenda kami dirikan, si Bapak datang ke tenda
kami hendak meminta minyak goreng dan
Kak Beben mencoba bertanya apakah ada sisa bawang dan tomat untuk membuat makan
malam sarden kami agar lebih enak. Kak Beben pun ikut ke arah tempat mereka
memasak dan tak hanya bawang dan tomat yang kami dapat, malah kami diajak makan
bersama ke tempat si Bapak. Kami
memakan masakannya yang ternyata benar-benar lezat (akhirnya menu si Bapak
menjadi inspirasi untuk pendakian selanjutnya, kapan-kapan ya :p). Ayam goreng
di suwir-suwir, kemudian dicampur sambal tumis dan hmmm, luar biasa. Ditambah
pula telur dadar goreng, makan malam kali ini benar-benar terasa spesial. Tidak
hanya makanan, kami juga disuguhkan minuman hangat sambil duduk di dekat api
unggun yang mereka buat, benar-benar terasa seperti sedang di jamu. Malam mulai
larut, kami pamit undur diri untuk beristirahat. Belum lagi udara yang terasa
semakin dingin seolah membuat sleeping bag kami memanggil-manggil. Sebelum kembali
ke tenda, kami juga mendapat bingkisan lauk ayam tadi yang belum termakan,
lumayanlah buat sarapan besok... rejeki oh rejeki.
Jumat, 19 Agustus 2016
Pos 3 Senaru - Mataram
Rencana awal,
kami akan bergerak jam 8 pagi. Sayangnya udara yang dingin membuat malas keluar
terlalu pagi dan alhasil kami baru mulai bergerak turun pukul 9 pagi. Sangat
terasa perbedaan Jalur senaru dan Jalur Sembalun, dimana di Jalur Senaru cukup
banyak pepohonan dan terasa teduh. Dari sini, jalurnya sudah tidak terlalu
curam dan cenderung landai sehingga membuat langkah kaki bisa lebih cepat. Kami
bersitirahat singkat beberapa kali di Pos yang sempat kami lewati serta
bertegur sapa dengan para pendaki yang akan naik karena kali ini tidak
semencekam kemarin karena benar-benar tidak bertemu dengan siapapun kecuali
sesuatu yang terindikasi sebagai tante.
Suasana Jalur Senaru |
Gerbang Pendakian Jalur Senaru |
Kami memutuskan
langsung ke Mataram dan ditawari naik Ojek dari sini menuju terminal Bayan.
Semula ongkos hanya Rp 25.000/ motor, tapi setibanya di Bayan, kami mendapat
informasi bahwa mobil engkel terakhir sudah berangkat dan baru ada lagi besok
pagi. Kami mulai bingung apakah harus kembali ke Senaru lagi atau mencari
tempat di sekitar terminal, namun Tukang Ojek kami sebelumnya menawarkan untuk
menuju Terminal Tanjung karena biasanya masih ada mobil sampai malam. Setelah
tawar menawar, akhirnya disepakati harga Rp 250000 untuk berdua menuju Terminal
Tanjung. Benar-benar di luar perkiraan pengeluaran perjalanan ini. Perjalanan
lumayan jauh dan efek lelah, membuatku merasa sangat mengantuk saat di motor namun diusahakan tetap terjaga agar
tidak terjatuh. Entah berapa lama, akhirnya kami tiba di depan Terminal Tanjung
dan menunggu di dekat warung pinggir jalan sambil menyantap mie instan. Mie
sudah habis bahkan beberapa gorengan sudah di lahap, tapi belum ada satupun
engkel yang datang. Tiba-tiba ada satu engkel yang datang tapi masuk ke
terminal, kami kira dia akan berputar kembali menuju Mataram, sayangnya engkel
tak kunjung keluar dari terminal sampai akhirnya kami mulai khawatir kalau hari
ini kami tidak akan tiba di Mataram.
Tak berselang
lama, aku melihat rombongan yang sebelumnya kami jumpai di Gunung Rinjani,
salah satunya guide dari teman dari Kalimantan yang sempat aku ajak
ngobrol-ngobrol di Segara Anak. Ternyata dia memberitahu bahwa tidak ada lagi
engkel yang akan lewat jika sudah sore. Jika memang ingin ke Mataram, dia menyarankan naik ojek yang ia kenal untuk
mengantar ke Pelabuhan Bangsal, yakni pelabuhan untuk menyebrang ke tiga gili,
Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan. Sempat ditawari untuk menyebrang juga
ke Gili Trawangan, tapi karena sebelumnya sudah pernah ke sana, kami meminta
untuk mencarikan travel ke Mataram. Lagi pula, kami tidak akan sempat naik
kapal terakhir ke Gili Trawangan karena saat kami tiba di sana, sudah hampir
pukul setengah enam.
Setibanya di
Bangsal, ojek yang mengantar kami mencarikan travel yang akan ke Mataram dan akhirnya dapat travel
yang sebenarnya sedang tidak narik, tapi memang akan pulang ke arah Mataram.
Tapi tetap saja ongkos terasa masih berat yakni Rp 150000 untuk kami berdua.
Tapi tidak ada pilihan lain, ke Gili Trawangan pun sudah terlambat. Kami pun
berangkat menuju Mataram dengan mobil ini.
Di Mataram,
tujuan kami adalah Rumah teman Kak Beben yang sebelumnya sudah kami hubungi
saat mendapati Rumah Singgah sedang di renovasi. Rumahnya berada di sekitar
kawasan Cakranegara tidak jauh dari Taman Mayura. Tidak begitu sulit mencari
rumahnya, kemudian kami segera di sambut tuan rumah dan mempersilahkan kami
untuk istirahat dan makan malam.
Rasa puas dan
lega akhirnya terasa kali ini, ketika mengingat sudah sejak lama aku
mengidamkan bisa mendaki Gunung
Rinjani dan mencapai puncaknya. Ternyata, ketidakyakinan serta batasan
kemampuan selama pendakian adalah imajinasi yang sempat aku ciptakan. Ketika
semangat memutus batasan kemampuan, sedikit demi sedikit harapan tercipta dan
tujuan didapatkan.
Terimakasih Rinjani... Dimana segala usaha memiliki makna, dimana segala kesalahan memberi dampak J
Hari selanjutnya, kami berencana untuk berkeliling
di sekitaran Kota Mataram. Tersisa dua hari lagi sebelum kami harus berangkat
kembali ke Jakarta. Cerita selanjutnya berlanjut ke Wisata Mataram dan Pantai di Lombok Tengah
Semoga bisa kesana juga
BalasHapuspaket wisata jogja