Berjuang mungkin agak berlebihan untuk judul kali
ini. Tapi, cerita perjalanan sebelum tiba di Jogja cukup sayang jika aku
lewatkan dalam tulisan kali ini. Jogjakarta merupakan salah satu kota yang
memiliki banyak daya tarik wisata, tak heran jika sedang libur panjang, bahkan
sekedar long weekend, akan dibanjiri
oleh wisatawan dari berbagai wilayah. Begitu pun ketika aku datang ke Jogjakarta
yang benar-benar ramai karena bertepatan dengan libur Kenaikan Isa Almasih pada
hari Kamis dan Isra’ Miraj Nabi Muhammad SAW pada hari Jumatnya. Beberapa
minggu sebelum keberangkatan, aku sempat menghubungi temanku Ajeng, yang sedang
melanjutkan kuliahnya di Jogjakarta. Untunglah ia bisa menemani dan karena aku
hanya sendiri, aku pun bisa menumpang di kostannya.
Rabu, 4 Mei 2016
Setelah menyelesaikan pekerjaan, aku meminta izin pulang
lebih awal agar bisa mempersiapkan keberangkatan ke Jogjakarta. Sekitar pukul 3
siang aku bergerak pulang dan sempat mampir ke Terminal Bis Rawa Buaya yang ada
di dekat kost ku untuk memesan tiket agar tak kehabisan. Sebenarnya, niat awal
adalah naik kereta, berhubung membludaknya penumpang saat libur seperti ini,
tiket pun ludes. Padahal aku sudah mulai mencari tiket sejak satu bulan sebelum
keberangkatan. Tiket pun didapatkan walaupun harganya lumayan mahal yakni
sebesar Rp 210.000 dengan jam
keberangkatan pukul 7 malam.
Setiba di kostan, aku mulai mengepak bawaan dan
menyempatkan waktu untuk beristirahat sebelum memulai perjalanan. Usai sholat
maghrib, aku pun menuju Terminal Rawa Buaya dan tiba sekitar pukul 7 kurang. Namun,
menurut informasi bisnya datang terlambat dikarenakan terjebak jalan yang macet
karena malam itu Jakarta amat sangat macet, kami pun memakluminya. Setelah
menunggu dan menunggu sambil berbicang dengan seorang perempuan yang akan naik satu
bis denganku, bis masih juga belum datang. Akhirnya setelah 3 jam menunggu atau
sekitar pukul 10, kami mendapat kabar bis telah datang tetapi tidak masuk ke
terminal karena macet. Kami pun di angkut menggunakan angkot menuju kawasan
Jembatan Baru karena kabarnya bis akan mengangkut kami di sini. Setibanya di
Jembatan Baru, memang ada satu bis, tapi ternyata bukan bis ini yang akan kami
naiki, katanya bis kami belum datang. Baiklah, mungkin ini ujian kesabaran. Setelah
beberapa saat menunggu, tiba-tiba kami mendapat kabar bahwa bis yang ke Jogja
sudah lewat! Ini ujian atau penipuan?! Bukankah kami sudah membeli tiket, terus
kenapa bisnya tidak menunggu kami datang jika memang ini resmi? Sempat emosi
dan si tukang tiketpun melobi bis yang baru datang. Rupanya bis ini juga akan
melewati Jogja dan kami pun di suruh naik bis itu. Sayangnya, aku dan seorang
perempuan yang ku ajak ngobrol sebelumnya harus naik bis yang berbeda karena
bis ini akan lewat magelang sehingga tidak melewati Wangun yang menjadi
tujuannya. Kekesalan belum juga selesai, barulah kami mau masuk ke dalam bis,
kernetnya pun bilang “nanti ya nanti, yang beli tiket dulu”. Hah? Jadi seolah
kami ini tidak beli tiket di sini. Untungnya masih ada tempat duduk dan bis
yang kami naikipun merupakan bis pariwisata yang jarak antar kursinya
berdekatan. Padahal, menurut si tukang tiket, bis yang akan kami naiki
merupakan bis eksekutif. Benar-benar tertipu. Sudahlah pikirku, yang penting
sudah dapat bis dan bisa langsung jalan. Belum cukup ternyata, bis rupanya
melaju ke arah Grogol untuk mengambil penumpang lagi. Alhasil bis itu semakin
sesak, apalagi seat bis ini 3-3. Oke
terserahlah, bis pun berputar dan melaju, iya melaju kembali menuju Terminal
Rawa Buaya.. dan berhenti cukup lama. Errr..
Kamis, 5 Mei
2016
Setelah menunggu sambil memejamkan mata untuk meredam
kesal, bis pun berjalan dan mulai masuk tol. Sukurlah pikirku. Tapi sepanjang
perjalanan benar-benar menyebalkan, dimana jalanan luar biasa macet dan pagi
hari pukul setengah 8, kami baru sampai di Rest Area Km. 102 Tol Cipali.
Kemudian, pukul setengah 12, bis merapat ke Rumah Makan Aroma di Cirebon. Saat
itu aku makan dan berbincang bersama seorang ibu yang juga berangkat sendiri
dengan tujuan Salatiga. Dari beliau aku tau kalau kernet bilang bis akan ke
Solo dulu baru ke Jogja. Itu pertanda bahwa aku akan sampai lebih lama lagi,
perkiraan mungkin akan sampai malam hari. Sukurlah setelah di bis kernet
kembali menginformasikan bahwa bis akan ke Jogja dulu karena penumpang yang ke
Jogja lebih banyak.
Bis kembali melaju dan cukup lancar, tapi tak begitu
lama kami harus kembali pasrah karena ketika bis memasuki daerah Prupuk,
terjadi kemacetan total. Entah berapa jam kami berhenti di sini kemudian
dilanjutkan berjalan sedikit dan berhenti lagi. Begitulah seterusnya. Kemacetan
terus berlangsung hingga di Ajibarang, bahkan bis berhenti begitu lama di sini
sehingga hampir semua penumpang bis duduk di luar karena lelah menunggu,
termasuk aku. Bis yang sempit ditambah lagi dengan dua orang di sebelahku sibuk
berantem membuat suasana menjadi tidak nyaman. Si cewek kesel karena si cowok
ngajak naik bis, ngajak dia liburan, blablabla, entahlah. Terbesit di pikiran
untuk hitchhiking ke motor rombongan touring yang lewat dan aku pun sudah mencari
posisi yang tepat. Sayangnya, belum ada lagi motor yang lewat sampai akhirnya
kendaraan di depan mulai bergerak dan aku pun segera naik ke dalam bis.
Kemacetan masih terjadi walau tidak separah sebelumnya. Barulah saat bis hampir
mendekati daerah Wangun, jalanan mulai lancar. Hmm.. padahal sebelumnya di
informasikan bis ini tidak lewat Wangun. Sepertinya suka-suka sopirnya lah ya.
Jum’at, 6 Mei
2016
Aku masih di jalan dan haripun sudah berganti. Dini
hari, Kami pun masuk ke daerah Purworejo dan bis pun masuk ke kotanya. Ku pikir
ada yang sedang di antar, ternyata tidak. Bis sudah berkali-kali berputar
melewati Alun-alun Purworejo, sampai penumpang mulai kesal dan mungkin ada yang
memberitahu jalan barulah bis kembali bergerak ke arah Jogja. Semula bis ini
akan berhenti di Terminal Giwangan, namun ketika memasuki Ring Road Barat
Jogja, bis jalan lurus. Menurut orang-orang di bis, kalau ke Giwangan harusnya
belok kanan menuju Ring Road Selatan dan banyak yang bilang sopirnya sok tahu
padahal tidak tahu jalan. Sukurlah saat kulihat ke jendela kami melewati kawasan
sekitar Jalan Malioboro dan masih tampak ramai. Aku langsung turun di sini dan
mencari ojek saja dari pada semakin lama di jalan karena diputar-putar.
Pas di titik 0 km Jogja, aku turun dan kulihat jam
sudah menunjukkan pukul setengah 3 dini hari. Ternyata sudah 27 jam perjalanan
darat dari Jakarta ke Jogja, luar biasa, liburanku boros di jalan. Segera aku
memesan ojek online untuk mengantar ke kostan temanku. Mau tidak mau aku pun
membangunkan teman yang telah tertidur, karena memang kupersilahkan tidur dulu
akibat macet yang membuatku tak tahu jam berapa akan sampai. Setibanya di
kostan, aku memilih mandi dulu karena badan yang sudah entah berbau apa,
kemudian tertidur karena lelah selama perjalanan yang tak terduga.
Candi
Prambanan
Selesai sudah perjuangan menuju Jogja, saatnya
menikmati wisatanya walaupun dapat dipastikan jatah liburan berkurang karena
kelamaan di jalan. Sekitar pukul 10, kami mulai bergerak dari kostannya dan
mampir dulu di sebuah rumah makan prasmanan di Jalan Flamboyan di dekat
Universitas Negeri Yogya (UNY). Lauknya sangat lengkap dan harganya pun
terjangkau. Suasana tempat makannya pun nyaman. Setelah menyelesaikan sarapan,
kami pun bergerak menuju Candi Prambanan.
Bagian Tengah Candi - Candi Siwa - Peta Komplek Candi Prambanan |
Ramai |
Tidak terlalu lama, kami pun berjalan menyusuri area
sekitar candi. Kami melihat ada peta lokasi dan berencana untuk berjalan menuju
tiga candi lainnya yakni Candi Lumbung, Candi Bubrah dan Candi Sewu. Sayangnya,
kami hanya mengunjungi Candi Lumbung saja karena menuju dua candi lainnya cukup
jauh. Sepertinya ketiga candi ini tidak banyak di kunjungi wisatawan, karena
saat kami menuju kemari, hanya ada kami dan dua orang wisatawan mancanegara.
Terlihat pula bahwa sedang banyak pemugaran di candi ini. Kedepannya, mungkin
ketiga candi ini juga bisa lebih dikenal dan menjadi daya tarik wisata di area
Candi Prambanan. Candi Lumbung merupakan candi Budha yang diperkirakan dibangun
pada abad ke 9 Masehi. Kehadiran Candi Lumbung yang berada dekat dengan Candi
Prambanan yang merupakan Candi Hindu, menjadi gambaran keselarasan dan
kerukunan umat manusia pada masa itu. Terdapat satu buah candi induk dan 16
buah candi perwara di dalam komplek Candi Lumbung ini.
Candi Lumbung |
Selepas dari Candi Lumbung, kami kembali ke depan dan
mengunjungi Museum Prambanan yang lokasinya tak begitu jauh. Di dalam museum
ini terdapat 4 buah ruang koleksi dan di tenganya terdapat sebuah pendopo. Di
ruang koleksi pertama bisa dijumpai arca Durga, Agastya ,Ganesha dan Nandi.
Terdapat pula fosil kepala kerbau yang berasal dari masa pleistosen. Selain itu ada proses pembuatan relief ramayana yang
bisa di lihat di Candi Siwa serta berbagai koleksi lainnya. Di ruangan kedua,
terdapat prasasti, arca batu, arca perunggu serta peta persebaran situs di
kawasan Candi Prambanan. Di ruangan ketiga memiliki koleksi yang berhubungan
dengan Dewa Wisnu. Di sini kami melihat Arca Wisnu dan Laksmi, kemudian Arca
Rama yang merupakan reinkarnasi Dewa Wisnu yang paling terkenal, serta Arca
Garuda yang merupakan kendaraan dari Dewa Wisnu. Ruangan terakhir atau ke empat
menampilkan gambar reruntuhan Candi Prambanan saat pertama di temukan serta
foto orang-orang yang berjasa dalam rekonstruksi Candi Prambanan seperti Jan
Willem Ijzerman yang melakukan penggalian pertamakali di Candi Prambanan.
Keluar dari ruang koleksi ke empat, kami melihat adanya ruang audio visual.
Kami pun menyempatkan untuk masuk dan menonton video berdurasi 20 menit tentang
latar belakang ditemukannya Candi Prambanan serta Kisah Dewa Siwa yang menjadi
dewa tertinggi. Untuk masuk ke ruangan ini, dikenakan lagi tiket sebesar Rp
5000 per orang. Ruangan ini memiliki kapasitas 40 orang penonton dan ber-AC
sehingga cukup nyaman.
Selesai menonton, kami pun berpindah lokasi.
Rencananya kami akan ke Hutan Pinus Imogiri yang memang sedang hits. Berhubung
temanku belum hapal jalannya, kami pun menggunakan GPS di ponsel. Untuk tahap
awal jalannya benar, walaupun sempat diisi acara pecah ban di Simpang Empat
dekat Pasar Piyungan. Semakin lama jalan yang kami lalui semakin sempit bahkan
tidak lagi beraspal, tepatnya berbatu-batu dan mirip jalan setapak. Kami pun
masih melanjutkan jalan karena menurut GPS jalannya benar hingga akhirnya GPS
menunjukkan bahwa kami telah sampai di tujuan. Cukup kaget karena kami tiba di tepi
hutan dan ada tulisan bahwa hutan di sebelah kami merupakan jalur hiking menuju Air Terjun Sri Gethuk.
Jika meneruskan jalan, kondisi jalan sangat sepi dan tidak ada rumah penduduk
lagi. Mau ke air terjun pun kami belum paham jalannya serta tidak tahu dimana
harus menitipkan motor. Akhirnya kami pun berputar arah dan baru sebentar
berjalan hujan deras pun turun. Untunglah kami menemukan sebuah masjid sehingga
bisa berteduh sekalian menjalankan Sholat Dzuhur. Sambil menunggu hujan reda,
barulah aku sadar, ternyata rute GPS yang ku gunakan, bukan menggunakan rute
berkendara melainkan rute untuk pejalan kaki. Wajar saja jika jalannya seperti
itu.
Rencana ke Imogiri pun di batalkan karena cuaca yang
hujan, bahkan saat pulang kami terpaksa menerobos hujan. Tapi, saat mendekati
kawasan kota, hujan mulai reda dan setelah mengganti pakaian kami pun keluar
lagi untuk mencari makan dan berjalan-jalan menuju Malioboro, Alun-alun dan
kawasan wisata berdekatan lainnya. Kami hanya lewat saja, karena perut sudah
lapar dan kami harus mencari makan terlebih dahulu.
Setelah makan, kami kembali ke kostan dan rencananya nanti malam kami akan ke Tugu
Jogja dan Tugu Golong Gilig. Tidak banyak kegiatan yang kami lakukan di Tugu
Jogja. Hanya sekedar menyantap es krim sambil menikmati suasana malam di Jogja
yang memang sedang ramai. Tidak lupa berfoto di depan Tugu Jogja yang mitosnya, kalu sudah foto di sini, kuliahnya cepat kelar. Tapi kalau yang kuliahnya sudah kelar bagaimana ya? hmmm... Cepet nikah saja lah #eh. Setelah itu, kami pun pulang dan beristirahat.
Sabtu, 7 Mei
2016
House of
Raminten
House of Raminten menjadi wisata kuliner yang
mengawali aktivitas kami hari ini. Lokasinya berada di Jl. FM Noto No. 7. Kami
tiba di lokasi Sekitar pukul 10 dan untunglah antrian belum banyak seperti
kemarin saat kami melewatinya, jadi kami hanya sebentar duduk di Ruang Tunggu. Saking
ramainya, tempat makan ini memiliki ruang tunggu dengan kursi yang cukup
banyak. Bahkan saat lewat kemarin, antrian sampai keluar karena kursi ruang
tunggu sudah penuh. Tempat ini merupakan salah satu lokasi yang menarik untuk
di kunjungi ketika sedang di Jogja. Interior serta perabotannya benar-benar
memiliki nuansa Jawa tradisional yang kental. Kereta kuda, pendopo kecil,
alunan musik Jawa serta Pramusaji yang mengenakan pakaian tradisional Jawa
menambah pekat atmosfir Jawa di tempat ini. Menu yang disediakan memiliki
nama-nama yang unik seperti Ayam Koteka, Singkong Salju, Melonkolis, Maheso
Selo Gromo, Es Krim Bakar dan yang paling mengundang perhatian “Susu Perawan
Tancep” (Hot Drink with Spices Brown Sugar, Ginger, Cinnamon+Milk). Oke jangan
di pikirkan lagi maknanya. Dari banyaknya menu yang tersedia, aku menjatuhkan
pilihan pada Bubur Ayam Kelasworo ukuran Jumbo (Rp 15000), Pisang Fla (Rp 3000)
dan minumnya Es Carica (Pepaya Dieng) (Rp 13000). Ketika Bubur Ayam Kelasworoku
datang, agak terkejut ternyata porsi jumbonya benar-benar jumbo, bahkan aku
sampai ragu bisa menghabiskannya atau tidak. Tapi setelah mencicipinya, rasanya
benar-benar lezat dan tanpa di sadari si bubur pun ludes masuk ke perut. Enak?
Lapar? atau Rakus? Terserahlah yang penting puas. Harga yang harus dibayar tergolong
cukup murah. Jika dilihat dari tempatnya, ku kira akan mahal, apalagi jika
dinilai dari porsi yang banyak serta rasanya yang lezat.
Bubur Ayam Kelasworo Jumbo |
Kalibiru
Perut pun sudah nyaman, kami pun memulai perjalanan
sekitar 36 km menuju tempat wisata alam Kalibiru di perbukitan Menoreh, Kabupaten Kulon Progo.
Selain pemandangan yang indah, jalan yang harus kami lewati adalah jalan
menanjak yang cukup curam. Sukurlah motor yang kami gunakan masih mampu membawa
berat badan kami mencapai kawasan wisata Kalibiru ini. Biaya parkir motor adalah Rp 2000 dan untuk
tiket masuk Rp 10000 per orang. Dari tempat parkir, kami masih harus berjalan
menanjak karena lokasi utamanya masih ke atas lagi. Kawasan ini merupakan tempat wisata yang
dikelola oleh masyarakat sekitar dengan fasilitas yang cukup lengkap. Terdapat
Musholla, Homestay, Fasilitas Outbound, Camping Ground, Kamar Mandi,
dan Warung-warung makanan. Selain itu, ada beberapa Gardu Pandang yang menjadi
salah satu daya tarik utama untuk mengambil foto berlatarkan Waduk Sermo. Untuk
menuju beberapa Gardu Pandang, kami mengikuti jalan setapak yang sudah dibuat
agar lebih memudahkan wisatawan. Tapi, kami tidak berniat untuk berfoto di
Gardu Pandang karena suasana yang ramai dan menciptakan antrian. Tak apalah,
biar fotonya anti mainstream (padahal
kepingin). Tak banyak aktivitas yang dilakukan di sini, setelah
berfoto-foto, makan mie dan ngopi, kami pun pulang dengan jalan yang berbeda
saat naik. Hal ini dikarenakan kami berniat melewati Waduk Sermo yang menjadi
latar foto ketika berada di Kalibiru. Perjalanan turun kali ini cukup
menegangkan karena kecuraman jalannya. Belum lagi temanku merasakan ada yang aneh
dari motornya. Ternyata, ban nya agak kempes sedangkan tambal ban entah ada
dimana. Sukurlah ada warga yang mau membantu dan memompa ban agar laju motor
menjadi normal kembali.
Waduk Sermo
Setelah melewati jalan yang curam namun tidak
semencekam sebelumnya karena kondisi ban sudah membaik, kami pun tiba di area
landai. Tak lama, kami pun tiba di pinggiran Waduk Sermo. Udara perbukitan yang
sejuk serta kondisi waduk yang tidak begitu ramai, membuat suasana terasa
sangat nyaman. Belum lagi pemandangan Bukit Menoreh yang menjadi latar
belakangnya membuatnya tampak semakin indah. Jika tidak khawatir pulang
kemalaman, mungkin aku akan mengajak untuk bersantai sambil menunggu sunset di sini. Tapi karena kondisi
jalan yang akan kami lalui lumayan sepi dan gelap, apalagi kami hanya berdua
dan semuanya perempuan, lebih baik menjaga keamanan diri. Menurut informasi,
Waduk Sermo merupakan satu-satunya waduk di Jogja. Tidak ada tiket ataupun biaya
parkir di sini, entah mungkin karena sedang sepi. Setelah puas bersantai, kami
pun bergerak pulang walaupun sempat dibingungkan karena GPS yang kami gunakan
sinyalnya kacau sehingga titik posisi kami menjadi berubah-ubah di persimpangan
yang sepi, alhasil kami tidak bisa bertanya pada orang yang lewat. Kami pun
nekat mengambil jalan lurus dan syukurlah ternyata benar. Selepas dari tempat
itu, jalan pun lancar karena sinyal yang sudah stabil hingga akhirnya kami tiba
lagi di kostan sekitar pukul lima sore.
Malam harinya, kami isi dengan acara keliling kota
Jogja lagi. Sayangnya jalanan di Jogja macet luar biasa. Selain karena long weekend, kebetulan juga ini malam
minggu. Belum lagi banyak jalan yang di tutup sehingga kami hanya berjalan-jalan
sebentar dan langsung pulang lagi ke kost an sambil mencari makan malam.
Minggu, 8 Mei
2016
Hari ini, aku harus pulang kembali ke Jakarta karena
besok sudah mulai kerja. Ada rasa was-was jika harus kena macet lagi seperti berangkat
kemarin. Pagi hari setelah sarapan dan bersiap-siap, aku diantar ke beberapa travel agent, mungkin saja mereka masih
memiliki tiket yang belum terjual. Sebelumnya aku sudah menelpon ke beberapa
pool bis dan ternyat tiket menuju Jakarta sudah habis semua. Setibanya di
beberapa lokasi travel agent, hasilnya
sama saja, mereka pun kehabisan tiket. Akhirnya aku memutuskan untuk di antar
ke terminal saja dan mencoba-coba peruntungan bis yang masih memiliki sisa
tempat duduk untukku.
Kami pun langsung pulang ke kost untuk mengambil
barang dan setelah tertidur sebentar, aku diantar menuju Terminal Jombor. Loket
pertama yang kudatangi sudah kehabisan, begitupun loket ke dua. Tapi sukurlah
di loket ketiga aku mendapatkan tiket yang di cancel oleh pemesan sebelumnya.
Walau harganya lumayan mahal, aku pun mengiyakan. Tiket pesawat dan kereta pun
sudah tidak ada lagi bahkan yang kemarin ku lihat penerbangan dengan harga dua
juta sekian pun sudah lenyap. Dengan membayar Rp 200000, transport pulang ku
pun sudah aman. Bis baru akan berangkat pukul lima nanti, sedangkan sekarang
baru pukul 13.30. Berhubung temanku sudah pulang dan ku lihat di Google Maps jarak Terminal Jombor dan
Monumen Jogja Kembali tidak jauh hanya sekitar 1.7 km, aku pun mulai melangkah
dan mengunjungi monumen tersebut di sela-sela penantian keberangkatan bis. Tak
lupa ku atur alarm pukul 3 harus segera bergerak pulang karena sangat
menyedihkan jika harus ketinggalan bis yang notabene sedang langka. Selain itu,
aku menitipkan pesan kepada penjaga loket jika mau berangkat dan aku belum ada,
tolong di tunggu dan di hubungi.
Monumen Jogja
Kembali (Monjali)
Setelah berjalan melewati pemukiman penduduk yang
merupakan jalan tercepatnya untuk pejalan kaki, akhirnya aku pun tiba di
Monumen Jogja Kembali atau Monjali. Tiket masuk kawasan ini adalah Rp 10000 per
orang. Monumen buka dari pukul 8 pagi sampai jam 4 sore pada dari hari Selasa –
Minggu. Ketika pertama masuk, yang pertama kulihat adalah bangunan utama berupa
monumen megah berbentuk kerucut dan dikelilingi oleh kolam. Setelahnya, aku
melihat banyaknya hiasan-hiasan lampion berbagai bentuk. Ternyata, mulai sore
hingga malam hari, area monumen ini menjadi kawasan wisata Taman Lampion.
Sebelum masuk monumen, di seberangnya terdapat 422 nama pahlawan yang gugur di
daerah Wehrkreise III (RIS) antara tanggal 19 Desember 1948 sampai dengan 29
Juni 1949. Monumen ini di bangun pada tanggal 29 Juni 1985 dengan maksud untuk
memperingati peristiwa sejarah ditariknya pasukan Belanda pada tanggal 29 Juni
1949 dari Jogjakarta yang saat itu menjadi Ibukota RI.
Monjali dan Taman Lampion |
Peta Lantai 1 Monjali - Beberapa Koleksi Museum |
Beralih
ke lantai dua, dimana terdapat Ruang Diorama dan Relief. Di dalam ruangan,
terdapat 10 diorama yang bercerita tentang situasi penyerangan Belanda terhadap
Maguwo tanggal 19 Desember 1949, Serangan umum 1 Maret, Perjanjian Roem Royen
serta peringatan proklamasi di gedung agung Jogjakarta tanggal 17 Agustus 1949.
Di luar ruangan, terdapat 40 ukiran relief yang menceritakan perjuangan rakyat
Indonesia dari tanggal 17 Agustus 1945 hingga 28 Desember 1949. Di lantai 3
terdapat sebuah ruangan bernama Garbha Graha yang merupakan ruang hening
berbentuk lingkaran dan terdapat tiang bendera beserta bendera merah putihnya.
Ruangan ini digunakan untuk mendoakan para pahlawan serta mengenang
jasa-jasanya.
Atas: Lantai 2 Monjali: Salah Satu Diorama - Relief di luar Lantai 2
Bawah: Halaman Monjali: Rute Kunjungan - Daftar Nama Pahlawan
|
Setelah puas berkeliling, waktu sudah menunjukkan
hampir pukul tiga. Aku pun langsung bergerak kembali ke Terminal agar lebih
aman dari ketinggalan walaupun setibanya di terminal aku masih harus menunggu
lagi keberangkatan bis. Sekitar pukul lima, bis pun bergerak menuju Jakarta
dengan tujuan Terminal Lebak Bulus. Sukurlah perjalanan pulang kali ini
berjalan lancar dan tidak ada kemacetan yang berarti.
Senin, 9 Mei
2016
Menjelang subuh, kami pun memasuki kawasan Jakarta
dan tiba di Terminal Lebak Bulus sekitar pukul 6. Tak lama setelah itu, aku pun
segera mencari halte busway terdekat untuk membawaku kembali ke daerah Cengkareng.
Setibanya di kost, aku mulai bersiap untuk kembali ke rutinitas kantor hari
ini.
Ke Jogja lagi? Tentu mau, hanya saja jangan naik bis lagi dan usahakan tidak sedang long weekend. Perjalanan ditutup dengan kunjungan ke Monumen Jogja Kembali dengan harapan masih diberi kesempatan untuk Mengunjungi Jogja Kembali
Pengen ke candi prambanan juga
BalasHapuspaket wisata juga