Gunung Papandayan merupakan salah satu Gunung berapi
di Kabupaten Garut. Dengan jarak tempuh yang tidak terlalu jauh dari Jakarta,
gunung ini menjadi favorit para pendaki saat akhir pekan seperti ini. Ini
merupakan kedua kalinya saya mengunjungi Gunung Papandayan. Seperti yang saya
tulis sebelumnya (Baca: Gunung
Papandayan (31 Juli – 2 Agustus 2015), Gunung ini berada di Kecamatan
Cisurupan, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Puncaknya
berada di ketinggian 2665 mdpl, walaupun saya tidak pernah menuju puncaknya,
karena memang kurang tertarik. Perbedaan utama pendakian kali ini dengan
sebelumnya adalah, kali ini kami sempat menikmati keindahan salah satu padang
edelweiss terluas di Asia Tenggara, Tegal Alun dan juga Hutan Mati. Kali ini,
aku berangkat bersama Kak Beben, Yayang (Teman Sekantorku) dan Edo (Adik dari
Yayang). Walaupun bertemu di ibukota, kami semuanya berasal dari daerah yang
sama yakni Palembang. Alhasil bahasa dan guyonan khas Palembang pun mengisi
suasana perjalanan kami.
Jumat, 4 Maret 2016
Selepas dari berbagai urusan kantor, aku segera bergerak
pulang ke kostan untuk mempersiapkan perjalanan kami yang akan di mulai malam
ini. Setelah persiapanku selesai, aku menuju kostan Yayang yang tak jauh dari
tempatku untuk ikut mengecek bawaan dan membantu packingannya sembari menunggu
Kak Beben datang. Sekitar pukul 9 malam, semua persiapan dan anggota pun sudah
lengkap. Kami segera bergegas untuk menaiki angkot M-13 menuju Terminal
Kalideres dan mencari bis selanjutnya. Setibanya di Terminal Kalideres, kami
langsung naik Bis Mayasari tujuan Terminal Kampung Rambutan dengan ongkos Rp 10000 per orang. Kondisi jalanan
ternyata cukup macet, mungkin karena menjelang akhir pekan. Akhirnya kami
tiba di Terminal Kampung Rambutan sekitar pukul 12 malam. Di terminal inilah
kami akan bertemu dengan Edo yang datang dari Bogor. Ketika di bis sempat
melihat ia berjalan masuk ke dalam terminal. Kami pun segera turun dan
berteriak memanggil Edo agar kembali ke depan karena bis yang menuju Garut ada
di dekat pintu terminal.
Untungnya ada satu bis di sini dan masih bisa
menampung kami berempat. Segera kami mengambil tempat duduk yang tersisa yakni
paling belakang. Tak berselang lama bis pun berangkat menuju Garut. Ongkos bis
yang kami naiki adalah Rp 50000 per orang, lumayan jauh perbedaan harga dari
pertama kali aku berangkat ke Garut. Sepanjang perjalanan kami manfaatkan untuk
tidur karena besok kami akan langsung mendaki, apalagi seharian ini kami harus
kerja terlebih dahulu.
Sabtu, 5 Maret
2016
Subuh sekitar pukul setengah 6 pagi kami tiba di
Terminal Guntur, Garut. Kami langsung bergerak ke Masjid untuk Sholat Subuh dan
setelahnya langsung naik angkot menuju Pasar Cisurupan dengan ongkos Rp 20000 per orang. Perjalanan
bersempit-sempitan di dalam angkot ini harus kami hadapi dalam satu jam
kedepan, namun di tengah perjalanan terjadi suatu insiden dimana saat hampir
semua penumpang di dalam angkot tertidur, keril yang berada di atap angkot
jatuh. Tiba-tiba angkot berhenti dan syukurlah, semua barang-barang yang
terjatuh ditemukan dan perjalanan kembali di lanjutkan.
Setibanya di Pasar Cisurupan, kami menyempatkan
membeli jajanan pengganjal perut, kemudian Yayang dan aku pergi ke pasar untuk
membeli sayur-sayuran serta beberapa bahan makanan untuk tambahan logistik
kami. Dari Pasar Cisurupan, kami harus naik kendaraan lagi berupa pick up untuk
menuju Camp David. Karena jumlah kami yang tidak banyak, maka kami harus
mencari rombongan lain untuk naik pick up bersama agar ongkos menjadi lebih
murah. Akhirnya kami bertemu dengan 5 orang pendaki, 2 perempuan dan 3 orang
laki-laki yang ternyata juga dari Jakarta. Kami pun menyewa pick up dengan
ongkos Rp 20000 per orang. Sekitar
30 menit, kami pun tiba di kawasan Gunung Papandayan dan mengurus perijinan di
gerbang masuknya. Setelahnya, kami kembali melaju menuju area publik yang cukup
ramai dan terdapat banyak warung makan. Inilah salah satu kebahagiaan pecinta
jajan seperti kami saat berada di Papandayan. Kembali kami menikmati gorengan
dan mi kuah sebagai pembukaan perjajanan perjalanan kami kali ini.
Warung-warung |
Start pukul 9 pagi, kami mulai berjalan menanjak
melewati area yang gersang dan berbatu. Sekitar beberapa menit berjalan, bau
belerang pun mulai menusuk dan udara yang panas semakin terasa karena area yang
sangat terbuka. Ya, kami mulai memasuki area kawah papandayan yang sangat luas
dengan semburan gas belerangnya.
Kawah Papandayan |
Selepas dari kawasan kawah, kami tiba di area
yang landai dan ada warung lagi. Melihat ada buah segar berair dan berwarna
merah menggoda, kami pun kembali terpesona dan segera membeli semangka yang
indah itu. Selepas istirahat, kami kembali melanjutkan perjalanan. Jalurnya tidak berdebu seperti pertama kali aku ke sini, bahkan cenderung basah karena sedang musim hujan. Tapi entah kenapa,
rasanya kaki dan nafasku terasa sangat sulit untuk menanjak, sehingga aku
menjadi lebih sering beristirahat.
Warung setelah kawah - Jalur Pendakian |
Setelah beberapa saat, kami pun tiba di
Lawang Angin. Menurut perjalanan sebelumnya, di tempat ini ada Mamang cilok
favorit karena rasa ciloknya yang lebih lezat. Ternyata benar! Kami masih menjumpai
si Mamang dan tanpa pertimbangan, kami jajan lagi sebagai cemilan saat
istirahat. Sempat tak menyangka karena saat diperjalanan kami mengidamkan es
kelapa, rupanya di sini kami juga melihat ada ibu-ibu yang menjualnya. Segera
kami menjadikan minuman segar tersebut sebagai pelengkap jajanan kami. Tak
salah-salah, kami membuka satu matras dan duduk bersama seolah sedang piknik.
Piknik |
Jalur Menuju Pondok Saladah - Mendirikan Tenda |
Siang ini, niatnya kami ingin ke Tegal Alun atau hutan mati, tetapi kondisi jalan sehabis hujan dan ternyata memang akhir-akhir ini sedang musim hujan saat sore hari, banyak orang yang menyarankan untuk membatalkan saja, karena jalurnya hancur. Belum lagi cuaca tampaknya berkabut dan sering turun hujan ringan. Rencana pun kami ubah dengan berjalan-jalan di Pondok Saladah, dan tampaknya kami tidak akan ke Tegal Alun dalam perjalanan kali ini. Setidaknya kami tetap bisa melihat indahnya bunga edelweiss di Pondok Saladah. Saat sedang berjalan-jalan, ternyata kami menemui tempat bernama Tegal Bungbrun dan hamparan edelweiss yang lumayan banyak. Cukuplah untuk mengobati rasa kecewa karena tidak bisa ke Tegal Alun siang ini.
Tegal Bungbrun |
Setelah puas berkeliling kami kembali ke tenda untuk beristirahat dan tertidur. Ya, semuanya tertidur kecuali aku yang terbiasa jarang tidur saat di jalan. Walaupun sudah di bangunkan, mereka masih betah dalam sleeping bag nya masing-masing. Berjam-jam aku hanya duduk sendiri dan menyaksikan perubahan hari dari terang menuju gelap. Apalagi lokasi tenda kami yang agak masuk ke kawasan hutan dan agak berjarak dengan tenda pendaki lainnya membuat suasana menjadi sepi. Aku berjalan ke Pondok Saladah seorang diri karena sudah kelewat bosan. Setelah beberapa saat, aku pun kembali ke tenda, khawatir ada yang mencari karena aku tak ada, ternyata perkiraanku salah, semua masih asik tertidur... err.
Kembali menikmati sunyi dan duduk di pintu tenda,
akhirnya Kak Beben terbangun. Entah mengapa terasa senang sekali akhirnya ada juga
orang yang bisa aku ajak berkomunikasi di tenda ini. Kami hanya membahas
berbagai obrolan ringan hingga makanan yang akan di masak. Akhirnya Yayang pun
terbangun di susul oleh Edo. Suasana tenda pun kembali hidup dan kondisi jones ku berakhir.
Koki Makan Malam |
Kami segera memasak makan malam dengan koki Kak Beben dan Edo. Kita sih tuan putri duduk manis menunggu makanannya siap. Sayangnya, tuan putri ini kemudian harus mencuci piring di malam hari dimana airnya terasa bagai air es. Kami mencuci piring di sekitar toilet dan ada insiden 3 sendok jatuh ke celah-celah kayu. Karena sendok yang kami bawa tidak banyak, kamipun harus mengambilnya. Sudah dingin, harus mencari sendok pula. Dua sendok di dapat dengan mudah, tapi satu sendok jatuh agak jauh, terpaksa meraihnya dengan berbagai cara. Entah mengapa rasanya sayang mengikhlaskan sendok itu. Akhirnya dengan berbagai usaha, sendok pun lengkap didapatkan walaupun kondisi tangan jadi kotor karena tanah. Untung “air dinginnya” banyak. Kami juga sempat bertemu dua dari lima orang yang berbarengan dengan kami saat di pick up. Mereka mengajak ke Tegal Alun besok saat subuh. Kami sempat diajak menuju lokasi tenda mereka dan mereka pun sempat datang ke tenda kami agar dapat membangunkan kami besok.
Setiba di tenda, rasanya aku masih belum mau tidur. Tampaknya
mereka bertiga juga begitu karena baru bangun. Kami semua akhirnya berjalan
menuju Pondok Saladah untuk menikmati taburan bintang yang terlihat sangat
banyak. Bima sakti juga terlihat dan langit malam ini sukses menghipnotis kami
untuk terjaga, padahal besok subuh niatnya akan ke Tegal Alun. Entah pukul
berapa, lewat dini hari, kami kembali ke tenda dan akhirnya tertidur.
Minggu, 6
Maret 2016
Sekitar pukul lima, dua orang yang mengajak kami ke
Tegal Alun pun datang membangunkan kami. Efek tidur yang baru sebentar membuat
kami agak malas-malasan sehingga kami mempersilahkan mereka duluan saja karena
kami juga belum bersiap dan belum solat subuh. Barulah sekitar pukul 6 pagi
kami siap dan mulai bergerak menuju Tegal Alun.
Benar kata orang-orang kemarin, jalanan sangat becek
sehingga kami mengambil jalan lain melewati dalam hutan untuk menghidari jalan
yang hancur itu. Tapi sukurlah, selepas dari sana jalannya baik-baik saja.
Berhubung diantara kami tidak ada yang pernah ke Tegal Alun, kami pun mengikuti
rombongan di depan. Setibanyak di Hutan Mati, mereka justru membahas “jalannya
kemana lagi?”. Ternyata ada dua jalan dan mereka juga ragu lewat mana. Akhirnya
kami mengikuti mereka dan belum lama berjalan kami kehilangan jejak. Kami pun
terus mengikuti jalur yang ada dan ternyata kami berbelok ke jalan yang lain. Jalurnya
sangat curam berupa tebing dengan tanah yang lumayan licin. Perlahan-lahan kami
naik dan terus naik. Mungkin kurang lebih satu jam kami tiba di puncak tebing
ini dan mulai terlihat banyak orang. Ternyata kami naik dari jalur yang memang
lebih curam walaupun titik temunya sama ketika berada di puncak tebing. Dari sini
arah jalur menuju Tegal Alun mulai jelas dan jalurnya pun sudah landai. Tak
begitu lama berjalan, kami menjumpai persimpangan yang menuju ke Puncak dan
menuju Tegal Alun. Kami memang tidak berencana ke Puncak sehingga langsung
menuju Tegal Alun. Hanya beberapa menit dari sini, akhirnya kami tiba juga di
kawasan yang di tumbuhi begitu banyak bunga edelweiss
yang disebut dengan Tegal Alun.
Perjalanan Menuju Tegal Alun |
Tegal Alun |
Cilokers Papandayan |
Tenda |
Hutan Mati |
Setibanya di Terminal Guntur, teman-teman yang lain
langsung mencari bis untuk pulang, sedangkan kami berempat memutuskan untuk ke
Masjid dulu untuk sholat serta mengganti pakaian yang lumayan lembab. Kami
makan terlebih dahulu di depan terminal, setelahnya baru mencari bis menuju
Jakarta.
Bis berangkat sekitar pukul 5 petang dengan ongkos Rp
55000. Sepanjang jalan ku isi dengan tertidur karena terasa sangat mengantuk
dan kurang tidur sejak kemarin. Setibanya di Terminal Kampung Rambutan,
ternyata Bis Mayasari ataupun bis lainnya menuju Terminal Kalideres sudah tidak
ada. Bis Transjakarta juga tidak 24 jam di sini. Halte terdekat yang beroperasi
24 jam adalah halte PGC sehingga kami mencari angkot di depan yang akan membawa
ke PGC. Setelah berbincang-bincang di angkot dengan pak sopir, ternyata dia
bersedia mengantar sampai Cengkareng dengan ongkos Rp 30000 per orang. Mengingat waktu yang sudah larut malam dan pagi
nanti kami harus kembali bekerja, kami pun setuju dan langsung diantar ke
lokasi tujuan.
Perjalanan kali ini telah selesai, di tutup dengan
istirahat agar esok hari bisa bekerja dengan baik walaupun dengan mata yang
masih mengantuk.
Cuplikan video perjalanan kali ini bisa di lihat di video berikut ini.
Cuplikan video perjalanan kali ini bisa di lihat di video berikut ini.
Full Team |
Keren yuk.... 👍👍👍👍
BalasHapusCieeh... artis artikelnyo muncul :))
HapusKerennya.. Pengen kesana juga
BalasHapuspaket wisata jogja