Gunung Munara terletak di Desa Kampung Sawah,
Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Letaknya tidak jauh dari Jakarta
sehingga menjadi salah satu alterrnatif wisata bagi masyarakat di sekitar
Jakarta, Tangerang maupun Bogor. Gunung ini cukup banyak dikunjungi wisatawan
ataupun pendaki pada hari libur khususnya pada awal tahun ketika banyak gunung
yang sedang ditutup untuk pendakian. Gunung ini sebenarnya merupakan bukit yang memiliki
ketinggian sekitar 1119 MDPL. Di kawasan ini, tak hanya bisa menikmati
keindahan wisata alam, tetapi juga wisata sejarah dan budaya dengan adanya
situs-situs yang bisa dilihat ketika melakukan perjalanan menuju puncak gunung
ini.
Perjalanan ke Gunung Munara, kami lakukan pada tanggal
6 – 7 Februari bertepatan dengan long weekend karena libur imlek pada hari
seninnya. Aku berangkat bersama seorang partner, He is Kak Beben. Tujuan ke gunung ini sebenarnya juga sangat mendadak karena awalnya aku
dan Kak Beben hanya akan ke Cibodas untuk camping di Mandalawangi Camping
Ground sambil berwisata ke Curug Cibereum dan Kebun Raya Cibodas, oleh karena
itu, kami bergerak menuju Bogor terebih dahulu, padahal seharusnya ke Gunung
Munara justru lebih jauh jika harus ke Bogor dulu dari Jakarta.
Sabtu, 6
Februari 2016
Rencananya kami akan berangkat pagi hari dari Jakarta
untuk naik kereta ke Bogor, tetapi karena sesuatu dan lain hal, akhirnya
perjalanan pun baru di mulai pukul 11 siang start dari Stasiun Rawa Buaya
menuju Stasiun Bogor. Sebelumnya kami harus transit dulu di Duri mungkin
sekitar 15 menit saja. Setibanya di Duri, kami harus menunggu lagi kereta
dengan tujuan Bogor. Sekitar pukul 12 siang, barulah kereta datang dan membawa
kami menuju Stasiun Bogor. Ini pertama kalinya saya mencoba naik KRL, dan
ternyata semakin lama kondisi kereta makin sempit, ditambah dengan berdiri
hampir sepanjang perjalanan.
Sekitar pukul 3 sore, akhirnya kereta tiba di Bogor,
setelah menyempatkan Sholat Dzuhur dan Ashar, kami lekas mencari tempat makan,
karena belum sempat makan siang. Kami memilih rumah makan padang di sebrang
stasiun berharap harganya tidak begitu mahal dan perut kenyang. Ternyata, kami
harus membayar pas 50 ribu untuk dua porsi nasi ayam dan 2 es teh. Cukup sadis
untuk sekelas warung makan seperti ini.
Selama di dalam kereta terjadi diskusi rencana B
dapat dipastikan kami tiba di Bogor sudah sore, akhirnya kami sepakat untuk ke
Gunung Munara saja dan itu artinya kami harus menuju Pasar Parung terlebih dahulu menggunakan angkot. Setelah
bertanya ke tukang nasi Padang, kami di sarankan naik becak dulu ke dekat
simpang SPBG untuk naik angkot 06 menuju Parung. Perjalan ke Parung memakan
waktu sekitar 1 jam sambil melawan kemacetan kota Bogor. Untungnya angkot yang
kami naiki memutar music-musik yang cukup favorit di telinga sehingga tidak
begitu membosankan.
Biasanya pengamen itu naik nya ke bis, tapi di sini
justru naik angkot juga. Anehnya lagi sepertinya mereka tidak begitu meminta
bayaran, karena setelah menyanyi langsung turun tanpa ada gaya menagih seperti
pengamen pada umumnya. Hal ini menciptakan pemandangan unik pada saat lampu
merah, beberapa pengamen justru berbaris di depan pintu angkot, satu angkot
satu pengamen. Selain pengamen, ada juga beberapa masha tanpa bear dengan
berbagai gaya untuk menarik perhatian para pengemudi di persimpangan lampu
merah, bahkan ada pula atraksi kuda lumping di tengah jalan. Puas melihat
keunikkan-keunikkan tersebut, perjalanan di lanjutkan di temani derai hujan
yang turun semakin deras, hingga kami tiba di Pasar Parung. Ongkos angkot ini
adalah Rp. 9000 per orang.
Untuk menuju angkot selanjutnya, kami harus masuk ke
pasar, dan berjalan hingga ke ujung pasar untuk melanjutkan perjalanan dengan
angkot Parung – Rumpin. Angkot ini tidak bernomor dan berwarna biru. Dari
Parung ke Rumpin juga memakan waktu sekitar 1 jam, jangan lupa untuk memberi
tahu sopirnya bahwa akan naik ke Gunung Munara sehingga bisa di berhentikan di
lokasi yang di inginkan. Sebenarnya jika naik kendaraan pribadi atau ojek,
jalan menuju kawasan Desa Kampung Sawah (Start point menuju Gunung Munara),
bisa terlihat jelas dari jalanan karena ada tulisannya, tetapi, jika naik
angkot, tidak ada tanda apapun melewati rumah serta kebun tebu yang sangat
sepi. Sebelumnya, supir angkot sempat bertanya ingin naik ojek atau jalan kaki,
karena cukup takut melihat tukang ojek yang sangat agresif untuk mencari
penumpang serta khawatir harganya mahal, akhirnya kami meminta jalan kaki saja.
Sopir angkot menurunkan kita di depan sebuah rumah yang di sebelahnya ada jalan
tanah. Kami diminta ikuti saja jalan lurus ini dan sekitar 1 km, barulah akan
tiba di Desa Kampung Sawah. Ongkos angkot ini Rp 11000 per orangnya.
Kami turun dari angkot sudah menjelang magrib dan
hari mulai gelap, ada rasa khawatir saat melewati hutan bambu yang jalannya
sepi dan sangat gelap karena tertutup lebatnya bambu. Sykurlah tidak terjadi
apa-apa hingga kami tiba di Desa Kampung Sawah.
Setiba di desa, kami mampir ke warung sejenak untuk
membeli air, karena di atas tidak ada air, tetapi memang banyak warung yang
harganya lebih mahal daripada warung di bawah. Satu botol air mineral 1,5 liter
dijual seharga Rp 8000. Lumayan mahal bukan? Bagaimana dengan yang di atas?
Peta Situs Gunung Munara |
Jalur Awal Pendakian Gunung Munara |
Karena kebanyakan beristirahat, akhirnya setelah
satu jam setengah, kami tiba di lokasi camping yang tak jauh dari puncak I.
Kalau menurut peta dan aku tidak salah membaca, lokasi camping ini di sebut
Taman Tikoro. Lahannya tidak begitu luas hanya memuat beberapa tenda, beruntung
masih bisa mendapatkan sedikit lahan. Lokasi camp ini berasa sangat tidak
dingin, bahkan sangat gerah saat di tenda, karena hanya berjarak sedikit dari
puncak, kami banyak duduk menikmati pemandangan malam dari puncak dimana
lampu-lampu kota terlihat sangat indah. Puncak ini berupa bebatuan-bebatuan
besar dan di ujung terdapat 2 buah batu besar yang di sebut Batu Bintang dan
Batu Bangkong. Di tenganya terdapat celah kecil dan ada sebuah dataran kecil
yang langsung menjorok ke jurang. Tapi memiliki pemandangan yang sangat indah
karena khususnya pagi atau siang hari, desa, jalanan, bahkan jalur pendakian
bisa terlihat dari sini. Ada satu buah warung di lokasi puncak ini, dan kami
sempat membeli air mineral, gorengan serta mie instan di sini dan harganya,
wow. Satu botol air mineral 1,5 liter seharga Rp 10000, mie kuah pakai telor Rp
10000 dan gorengan seribu… ya sebenarnya normal saja sih seribu, tapi
ukurannya.. mini sekali. Tapi terlepas dari mahalnya harga, mungkin wajar
karena jajanan itu harus naik dulu ke atas. Anggap saja plus ongkir.
Cukup lama kami duduk di dekat puncak tepatnya di
dekat bendera agar tidak begitu jauh dari warung (red: tukang jajan). Hingga
kabut mulai pekat dan menutupi pandangan sekitar tengah malam, barulah kami
kembali ke tenda untuk tidur. Tetapi, bukan tidur nyenyak yang di dapat, selain
gerah, orang-orang di luar tenda berisiknya bukan main.
Minggu, 7
Februari 2016
Makin malam justru makin bersik dan ternyata makin
banyak manusia yg datang. Menjelang subuh, puncak sudah dipenuhi manusia,
bahkan tidak ada celah untuk melihat sunrise, akhirnya diputuskan untuk
tidur-tiduran lagi di tenda karena udara mulai dingin walau tetap terasa agak
gerah.
Aku mulai merasa bosan di tenda dan ketika suasana
tidak seramai saat sunrise, aku mulai berjalan melihat pemandangan puncak. Hingga
akhirnya merasa lapar dan bosan karena sendiri saja, aku membangunkan Kak Beben
untuk sarapan dan bersiap pulang. Kami memilih packing terlebih dahulu, setelah
tenda dan bawaan pun sudah rapi, barulah kami sarapan membeli dua mangkuk mie
kuah kemudian mengambil beberapa foto dokumentasi.
Perjalanan turun dilanjutkan dengan waktu sekitar 1
jam saja. Di sela-sela perjalanan turun, kami mengambil foto di beberapa lokasi
karena banyaknya situs serta bebatuan-bebatuan besar yang menarik untuk di
rekam dalam bentuk foto. Sepanjang jalan turun, kami menjumpai sangat banyak
wisatawan yang naik karena hari libur. Pengunjungnya ternyata di dominasi oleh
cabe beserta terongnya, atau mungkin aku juga menjadi cabe-cabean ketika di
sini -_-. Skip~
Setibanya di bawah dan membeli minuman untuk
menyegarkan tenggorokan, kami melanjutkan perjalanan untuk kembali ke kota
Bogor sekedar untuk berjalan-jalan menghabiskan waktu libur. Jadi, kami harus
naik angkot biru lagi menuju Pasar Parung. Cukup lama kami menunggu tapi angkot
tak kunjung ada yang lewat, hingga akhirnya “hitchhiking”. Modal jempol dan
lambai-lambai tangan, akhirnya ada pengemudi mobil pick up bersama istrinya
yang dengan sukarela mengangkut kami hingga ke Pasar Ciseeng. Setelah
bercakap-cakap dengan pemilik mobil, ternyata saat hari libur, jarang ada
angkot yang naik karena target utama angkot ke atas adalah anak-anak sekolah.
Sebenarnya mobil ini juga akan menuju Pasar Parung, tapi karena mereka ada
urusan terlebih dahulu di Ciseeng akhirnya kami pun memutuskan untuk naik
angkot dari sini, karena di daerah sini angkot sudah banyak berseliweran.
Setibanya di Kota Bogor, kami langsung berjalan-jalan
ke Kebun Raya Bogor. Dari Stasiun Bogor jaraknya tidak begitu jauh, bahkan jika
mau berjalan kaki pun tidak begitu jauh. Tapi, jika tidak ingin capek di jalan,
bisa naik angkot dari stasiun dengan angkot nomor 02. Tiket masuk Kebun Raya
Bogor adalah Rp. 15000 per orang, sudah termasuk ke Museum Zoologi. Tidak
begitu banyak tempat yang kami kunjungi, sembari berjalan-jalan melihat suasana
kebun raya, kami menuju ke arah Museum Zoologi. Di dalam museum ini terpajang
berbagai jenis koleksi fauna berbagai informasinya. Beberapa ruangan yang bisa
anda datangi diantaranya Ruangan Burung 1, Ruangan Burung 2, Ruangan Mamalia,
Ruangan Serangga, Ruangan Ikan dan Moluska, Ruangan Reptil dan Amphibi serta
Ruangan Kerangka Ikan Paus. Setelah puas melihat-lihat koleksi Museum Zoologi,
kami berjalan lagi menuju Taman Meksiko untuk melihat berbagai jenis koleksi
kaktus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar