Tulisan kali ini merupakan catatan perjalananku,
setelah turun dari pendakian di Gunung Rinjani (Baca: Gunung Rinjani 3726 MDPL). Setelah
menyelesaikan pendakian, kami masih memiliki dua hari untuk menikmati sebagian
dari indahnya pesona Pulau Lombok. Awalnya, kami berencana pergi bersama teman
Kak Beben, sayangnya karena ada urusan lain, ia tidak bisa ikut bersama kami.
Sabtu, 20
Agustus 2016
Taman Narmada
Tujuan perjalanan kali ini adalah tempat wisata di
sekitaran Mataram saja. Akhirnya kami memutuskan untuk ke Taman Narmada yang
bisa kami tempuh menggunakan angkutan umum. Menurut informasi, kami bisa naik
angkot dari Cakranegara menuju Terminal Mandalika, kemudian dilanjutkan dengan
naik angkot yang melewati kawasan Taman Narmada. Ongkos per orangnya adalah Rp.
5000 rupiah.
Kami mulai naik angkot yang pertama dan meminta untuk
turun di Terminal Mandalika. Pak supir angkot mulai bertanya-tanya tujuan kami
selanjutnya dan sepintas seperti mengakrabkan diri. Kemudian dia menawari kami
untuk langsung membawa kami ke Taman Narmada agar lebih cepat sampai karena
menurutnya tidak begitu jauh dari Terminal Mandalika ini. Ada rasa tidak enak
untuk menolak dari cara pengakrabannya ke kami, setibanya di Taman Narmada,
kami bertanya berapa uang yang harus kami bayar, ia justru menjawab “wah
terserah, ga enak saya masang tarif nanti kemahalan”, kami juga sempat bingung
mau bayar berapa, akhirnya pak supir berkata “yaudah empat puluh ribu saja”. Wow.
Karena sepanjang perjalanan ia tampak baik dan ramah, mau tidak mau kami pun
membayar sejumlah yang ia sebutkan. Padahal jika kami ke terminal dulu, kami
hanya perlu mengeluarkan ongkos Rp 20.000 saja. Yasudahlah, anggap saja
pengalaman. Tidak semua yang tampak baik berakibat baik.
Karcis masuk ke Taman Narmada adalah Rp. 6000 per
orang. Tempat ini terletak di Desa Lembuak, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok
Barat, atau kurang lebih sekitar 10 km dari Cakranegara. Kawasan seluas 2 Ha
ini, merupakan kawasan cagar budaya yang dibangun pada tahun 1727 oleh Raja
Mataram Lombok, Anak Agung Ngurah Karang Asem. Bentuknya merupakan replika dari
Gunung Rinjani dan merupakan tempat peristirahatan Raja saat musim kemarau.
Taman ini baru di buka untuk umum sejak dimulainya penjajahan Belanda.
Peta Kawasan Taman Narmada |
Secara garis besar, taman ini dibagi menjadi dua
kelompok bangunan yakni Kelompok Bangunan Sakral yang berada di sebelah Timur
dan Kelompok Bangunan Profan yang berada di sebelah Barat. Kelompok Bangunan
Sakral yang bisa kita jumpai adalah Pura Kelasa yang bisa di artikan sebagai
tempat tertinggi, atau diumpamakan sebagai puncak dari Gunung Rinjani. Pura ini
satu kesatuan dengan Telaga Ageng yang merupakan replika miniatur dari Danau
Segara Anak. Telaga Ageng merupakan tempat pengganti upacara Pakelem yang
dilaksanakan setiap purnama kelima tahun Caka (Sekitar bulan Oktober –
November) oleh umat Hindu. Sebelumnya, upacara ini dilakukan di Segara Anak
Gunung Rinjani, tetapi karena Sang Raja sudah tidak mampu lagi ke Gunung Rinjani,
maka upacara tersebut dilaksanakan di Telaga Ageng. Upacara Pakelem atau
disebut juga Upacara Meras Danu merupakan upacara yang dikaitkan dengan
kesuburan dan turunnya hujan. Kami sempat mencoba menyentuh air yang mengalir
menuju Telaga Ageng ini, selain sangat jernih, ternyata rasanya sangat segar
dan menyejukkan. Selain Pura Kelasa dan Telaga Ageng, ada juga Bale Petirtaan/
Kelebutan dimana terdapat air awet muda. Air ini bersumber dari tiga mata air
yakni mata air Suranadi, Lingsar dan Narmada. Sesuai namanya, air ini
dipercaya bisa membuat orang menjadi awet muda. Sayang, kemarin tidak sempat
mencoba melihat kedalamnya, karena tampak terkunci dan tidak ada yang menjaga.
Pura Kelasa dan Telaga Ageng |
Kelompok bangunan berikutnya adalah Kelompok Bangunan
Profan. Beberapa diantaranya adalah Bale Mukedas (Bale Agung), Bale Terang,
Bale Loji dan Bale Tajuk (sudah tidak ada). Bale Mukedas dan Bale Loji
merupakan tempat tinggal Raja dan istrinya. Bale Terang merupakan rumah
panggung, dimana ketika duduk di sini, kita bisa melihat pemandangan luas dari
Taman Narmada beserta Telaga Padmawangi di tengahnya. Telaga Padmawangi
merupakan kolam tempat mandinya dayang-dayang istana dan dulunya tempat ini
banyak ditumbuhi Bunga Padma/ Tunjung yang wangi. Selain itu, terdapat kolam
lain di Halaman Jabalkap, berupa dua buah kolam kembar yang dulunya merupakan
tempat mandi prajurit. Masih ada lagi kolam lainnya yang merupakan kolam renang
untuk pengunjung. Dahulu, kolam tersebut merupakan tempat pemandian Raja. Beberapa
tempat lain yang bisa anda kunjungi diantaranya adalah kantin, musholla, serta
wahana permainan seperti Flying Fox.
Bale Loji dan Telaga Padmawangi |
Setelah puas dan mulai lelah berkeliling taman ini,
kami memutuskan untuk pulang. Karena teman Kak Beben belum pulang ke rumahnya,
kami pun menghabiskan waktu untuk ngadem di Mataram Mall. Dari Taman Narmada, kami
memutuskan naik Taksi, ternyata ongkos yang harus kami keluarkan, sama saja
dengan naik angkot sebelumnya, yakni Rp 40.000 juga. Setibanya di Mataram Mall,
kami mulai bingung mau kemana, karena sejatinya, kita bukanlah anak Mall yang
bahagia melihat barang-barang yang terpajang, tidak lain dan tidak bukan karena
sayang duitnya. Akhirnya, kami menuju salah satu restoran fast food sembari
menghabiskan waktu sampai teman Kak Beben pulang.
Malam harinya, kami pun mencoba mencicipi kuliner
khas Mataram yakni Ayam Bakar Taliwang yang sangat terkenal itu. Selama ini,
kami hanya makan Ayam Taliwang di Jakarta yang bentuknya seperti ayam bakar
biasa tapi dengan bumbu yang sangat pedas. Saat berjumpa ayam taliwang
sesungguhnya di Pulau ini, ternyata bentuknya berupa ayam kampung kecil,
mungkin sekitar 3-5 bulan, sehingga mirip burung puyuh. Rasanya memang lebih
enak, tetapi ternyata, harganya juga cukup mencengangkan, Rp 40.000 per porsi.
Kami yang biasanya cuma makan ayam Taliwang-taliwangan seharga Rp 15000 per
porsi plus gratis teh tawar, merasa sangat tercengang. Tapi setidaknya kami
tidak melewatkan kesempatan mencicip kuliner khas daerah yang kami datangi.
Jajan is a must!
Besoknya kami berencana akan mengunjungi Desa Sasak
Sade serta beberapa pantai di Lombok Tengah. Mengingat kunjungan yang cukup
banyak, akhirnya kami memutuskan untuk mencari sewa motor melalui informasi
dari teman Kak Beben. Dengan biaya sewa Rp 80000, malam ini kami sudah bisa
membawa motor yang bisa dikembalikan besok malam.
Minggu, 21
Agustus 2016
Rencana perjalan kami hari ini adalah Desa Sasak Sade
– Pantai Kuta Lombok – Pantai Seger – Pantai Tanjung Ann – Pantai Mawun – Pantai
Semeti – Pantai Selong Belanak. Sayangnya, ekspekstasi tidak berjalan sesuai
realita. Kami bergerak lebih pagi sekitar pukul 8 agar sempat mengunjungi semua
destinasi tersebut. Setelah memacu kendaraan berbekal googlemaps sepanjang 38 km perjalanan, akhirnya kami tiba di tujuan
pertama kami, Desa Sasak Sade.
Desa Sasak
Sade
“Kalau belum
bisa menenun, anak gadis sini belum boleh kawin” – Bang Mahar, Guide Desa Sasak
Sade.
Kalimat di atas merupakan kata-kata yang sangat
teringat di pikiranku sebagai seorang wanita. Sebelum menikah, mereka harus
memiliki kemampuan, sedangkan aku..huft. Entahlah, masak nasi di Segara Anak
saja sampe emosi masih belum mateng juga :/
Desa Sasak Sade |
Kembali ke cerita. Setibanya di depan Desa Sasak Sade,
kami di sapa oleh Bang Mahar yang menjadi guide kami saat berada di sana. Sade, merupakan salah satu Dusun di Desa
Rembitan, Pujut, Lombok Tengah. Jika dari Praya menuju Kuta, lokasinya tepat
berada di pinggir jalan Raya, di sebelah kiri Jalan. Anda bisa memarkir
kendaraan di seberangnya. Walau berada tepat di pinggir jalan yang sudah mulus
beraspal, desa ini masih mempertahankan bentuk perkampungan khas suku asli
Lombok, Suku Sasak.
Gerbang Desa Sade |
Saat pertama memasuki Desa Sade ini, sedang ada acara
yang sayangnya lupa kami tanyakan karena langsung masuk ke bagian dalam desa.
Kami langsung melewati jalan di dalam desa yang cukup sempit karena jarak antar
bangunan berdekatan. Jumlah rumah di Desa ini hanya diperbolehkan ada 150 saja
dan setiap rumah hanya ada satu kepala keluarga.
Di dalam Desa Sade |
Setiap bangunan memiliki atap
yang terbuat dari daun alang-alang yang biasanya dilakukan pergantian setiap
7-8 tahun sekali. Selain itu, rumah di desa ini memiliki pintu depan yang dibuat
lebih rendah sehingga harus menunduk saat memasukinya. Hal ini merupakan bentuk
hormat/sopan kepada pemilik rumah. Lantai dan pondasi rumah pun tidak dibuat
dengan semen melainkan dengan campuran tanah liat dan sekam padi. Saat kami
datang ke sana, dari semua rumah di Desa Sade, hanya dua diantaranya yang sudah
menggunakan semen. Cara membersihkan lantai pun cukup unik, karena mereka
mengepel lantainya menggunakan kotoran sapi setiap dua kali dalam seminggu (satu
kali seminggu untuk lantai yang sudah terbuat dari semen) dan ternyata cara
tersebut justru mampu membuat pondasi dan lantai menjadi semakin kuat.
Hebatnya, tidak tercium bau kotoran sapi di desa ini bahkan di dalam rumah tak
tercium sedikitpun. Terbukti saat kami sempat masuk ke salah satu rumah di desa
ini. Rumah yang sempat kami masuki merupakan rumah tertua di desa ini yang
telah ditempati oleh 15 generasi.
Susunan denah rumah saat kami memasukinya terbagi
menjadi bagian depan (Bale Tani)
serta bagian belakang yang posisinya lebih ke atas atau disebut juga Bale Dalam. Di bagian depan/ bawah
merupakan tempat menerima tamu sekaligus tempat tidur bagi anak laki-laki serta
orang tuanya. Sedangkan bagian atas/ Bale
Dalam terbagi lagi menjadi dua ruangan yakni kamar untuk anak gadis dan
ruangan sebelahnya adalah dapur. Bale
dalam juga menjadi tempat untuk melahirkan nantinya, sehingga persalinan biasanya
dibantu oleh dukun beranak yang datang ke rumah. Tetapi dalam kondisi tertentu
apabila dukun tidak mampu untuk menanganinya, barulah di bawa ke Rumah Sakit.
Bale Depan dan Bale Dalam |
Setelah keluar dari rumah, kami juga ditunjukkan alat untuk menenun kain serta beberapa hasil tenunan yang bisa dibeli sebagai cinderamata. Alat tenun menggunakan peralatan tradisional dan bahan yang digunakan adalah benang kapas/katun yang diwarnai dengan pewarna alami dari tumbuh-tumbuhan. Pengunjung diperbolehkan untuk mencoba alat tenun ini, aku sempat mencoba sayangnya alatnya sedang ada kerusakan jadi hanya melihat sedikit cara kerja dan cara memakainya saja. Sebagai informasi, sejak umur 8-9 tahun, anak gadis di desa ini sudah diajari cara menenun kain karena, seperti ucapan Bang Mahar yang telah saya tulis sebelumnya, anak gadis di sini belum boleh menikah apabila belum bisa menenun. Biasanya anak perempuan menikah sekitar umur 15-16 tahun sedangkan laki-laki mulai umur 13-18 tahun.
Bicara soal pernikahan, adatnya juga cukup unik.
Dimana sebelum menikahi perempuan sini, lelakinya harus membawa lari (merari) perempuan tersebut keluar desa
untuk bermalam di rumah saudara/kerabatnya. Merari
tidak boleh ketahuan karena akan dikejar oleh keluarga perempuan dan apabila
tertangkap, maka perkawinan tidak akan dilaksanakan. Meminang dengan cara
melamar seperti pada umumnya merupakan tindakan yang dianggap tidak menghormati
keluarga perempuan. Menurut peraturan, anak gadis sasak tidak diperbolehkan
keluar setelah waktu sholat Isya, sehingga jika keluarga tidak mendapati anak
perempuannya di rumah pada malam hari, keluarga akan melaporkan penculikkan
anaknya pada kepala dusun. Keesokan harinya, laki-laki tersebut harus
memberitahu keluarga perempuan melalui keluarganya atau kepala dusun bahwa ia
telah melarikan anak gadis tersebut. Barulah setelahnya, mereka harus
dinikahkan setelah melalui berbagai tahapan yakni selebar, mesejati serta pembahasan uang pisuka (jaminan) dan mahar yang dilakukan dalam proses mbait wali. Ketiga proses tersebut bisa
berlangsung selama tiga hari kemudian baru bisa dilakukan perkawinan secara
islam yakni Ijab Qabul. Terakhir, rangkaian proses pernikahan ditutup dengan
proses nyongkolan yakni mengiring
kedua pengantin menuju rumah orang tua mempelai perempuan. Setelah menikah, mereka
bisa tinggal sementara di Bale Kodong.
Rumah kecil ini bisa mereka gunakan sebagai tempat berbulan madu serta tempat
tinggal sementara sebelum pindah ke rumah yang lebih besar.
Setelah cukup berkeliling di dalam Desa, kami mulai
melaju ke tujuan kami selanjutnya yakni mengunjungi Pantai-pantai di Lombok
Tengah. Sayangnya, tak semua berhasil kami kunjungi sehingga hanya empat pantai
yang kami datangi.
Pantai Kuta
Lombok
Pantai ini menjadi kunjungan pertama kami karena
paling dekat dari Desa Sade dengan jarak tempuh sekitar 7 km. Setibanya di
Pantai Kuta, kami memutuskan untuk duduk bersantai saja menikmati suara dan
aroma lautan. Di sekitar pantai ada banyak pepohonan sehingga cukup nyaman
untuk bersantai. Entah apa yang membuat kami berpikir bahwa ke laut tanpa
berenang juga asik, sehingga kami tidak membawa pakaian ganti. Sembari
bersantai ada beberapa anak-anak dan ibu-ibu yang menjajakan jualannya berupa
kerajinan dengan sentuhan khas Pulau Lombok.
Pantai Kuta Lombok |
Untuk masuk pantai ini mungkin tidak dikenakan biaya
tapi hanya membayar parkir Rp 5000 rupiah untuk motor. Setelah sekitar setengah
jam bersantai di sini, kami bergerak menuju tujuan selanjutnya yakni Pantai
Seger.
Pantai Seger
Lokasi Pantai Seger hanya berjarak sekitar 4 km saja
dari Pantai Kuta. Lokasinya tidak begitu dekat dengan jalan Raya seperti Pantai
Kuta, tetapi anda akan disambut pemandangan perbukitan dengan tulisan Pantai
Seger dengan cat putih di salah satu bagian bukitnya. Ada banyak pondok kecil
di pinggir pantai yang menjual berbagai makanan dan minuman. Untuk menambah
koleksi foto, pantai ini juga memiliki dua buah ayunan sederhana namun cantik
untuk menghias foto. Ayunan pertama berada di sekitar bibir pantai, sedangkan
untuk ayunan kedua harus rela basah-basahan agar bisa menaikinya. Masuk pantai
ini, kami juga membayar uang parkir Rp 3000 saja. Kami juga tidak begitu lama
di pantai ini, kemudian kami lanjutkan kembali menuju Pantai Tanjung Ann
Pantai Seger |
Pantai Tanjung
Ann
Kembali melanjutkan kunjungan pantai. Sekitar 4 km dari Pantai Seger, kamipun tiba di Pantai
Tanjung Ann. Mungkin karena kepopulerannya, pantai ini lebih ramai daripada
pantai-pantai sebelumnya. Selain itu, dari sini juga bisa menyewa perahu
nelayan untuk ke bukit-bukit di sekitar Tanjung Ann dan ke Pantai Batu Payung.
Berhubung penghematan, kami urungkan niat naik perahu ini. Tidak begitu lama
kami di sini, kemudian kami melanjutkan kunjungan ke Pantai Mawun.
Pantai Tanjung Ann |
Pantai Mawun
Dari Pantai Tanjung Ann menuju Pantai Mawun memiliki
jarak yang cukup jauh, karena kami harus kembali ke rute awal dan melewati
Pantai Kuta lagi. Jarak dari Tanjung Ann kurang lebih sekitar 17 km, sedangkan
dari Pantai Kuta sekitar 9 km. Cukup jauh dan jalannya juga menanjak serta
menurun. Namun, pemandangan selama perjalanan memang sangat memanjakan mata.
Setelah beberapa saat di jalan, akhirnya kami tiba di Pantai Mawun. Pantai ini
memiliki ombak yang cukup tenang, bibir pantai yang luas dan panjang serta
terlihat seperti diapit oleh dua bukit karena berupa teluk. Hal ini juga yang
membuat ombak lebih tenang di pantai ini. Pantai ini lumayan ramai, tapi karena
cukup luas, kami masih bisa mencari tempat untuk bersantai di bawah pepohonan sambil
menikmati hembusan angin. Cukup lama kami bersantai di sini, mungkin karena
pemandangannya yang indah atau mungkin juga karena sudah cukup lelah oleh
perjalanan yang cukup panjang. Setelah dipikir-pikir, sepertinya kami
mengurungkan menuju pantai selanjutnya yakni Pantai Semeti dan Pantai Selong
Belanak. Sehingga, setelah dari sini, kami akan segera pulang ke Mataram.
Pantai Mawun |
Taman Mayura,
Mataram
Sekitar pukul setengah 3, kami sudah tiba lagi di
Mataram. Karena teman Kak Beben baru pulang sorenya, kami pun memutuskan untuk
ke Taman Mayura yang berada di Kelurahan Cakranegara Timur. Tepatnya berada di
pertigaan Jalan Purbasari dan Jalan Selaparang. Gerbang masuknya berada di
Jalan Purbasari. Ketika pertama masuk, kami dipersilahkan untuk menulis buku
tamu kemudian di suruh memakai selendang berwarna kuning yang diikatkan ke
pinggang. Tiket masuk per orangnya adalah Rp. 10000.
Taman Mayura |
Taman ini dibangun oleh Raja Anak Agung Ngurah
Karangasem sekitar tahun 1744 dengan nama awalnya disebut Taman Kelepug.
Sayangnya, banyak masyarakat yang khawatir saat beribadah di pura ini
dikarenakan ada banyak ular yang menghuni taman pada saat itu. akhirnya
didatangkanlah burung merak untuk mengusir ular-ular, sehingga nama tamanpun
berubah menjadi Taman Mayura karena dalam bahasa sanskerta, Mayura adalah
Burung Merak.
Taman ini terbagi menjadi dua area yakni area taman
dan area pura. Oleh karena itu pengunjung harus menggunakan selendang yang
diikatkan di pinggang ini, karena ketika berada di kawasan suci, diharapkan
dapat mengikat niat ataupun segala hal yang kurang baik. Di area taman terdapat
sebuah kolam besar dan ditengahnya terdapat sebuah bangunan yang disebut dengan
Bale Kambang. Dari pinggir kolam menuju Bale Kambang, terdapat sebuah gerbang
dan didalamnya terbentang jalan lurus setapak menuju tempat tersebut.
Area Taman Mayura |
Kunjungan kami lanjutkan ke area pura atau di sebut
juga Komplek Pura Jagatnatha Mayura.
Terdapat empat buah pura utama di sini yakni Pura Gedong, Pura Padmasana, Pura Gunung Rinjani dan Pura Ngelurah. Tidak banyak orang di
area pura tersebut sehingga kamipun tidak berlama-lama dan kembali ke area
taman untuk bersantai menikmati sore.
Area Pura Taman Mayura |
Perjalanan selesai, kamipun segera pulang untuk
bersiap keberangkatan kembali ke Ibukota esok hari dikarenakan besok kami
menaiki penerbangan yang pertama.
Senin, 22
Agustus 2016
Sekitar pukul 04:00 WITA kami sudah siap dan segera
berangkat menuju Bandara Internasional Lombok untuk penerbangan menuju Jakarta
pukul 06:00 WITA. Beruntung adanya perbedaan waktu, sehingga walaupun menempuh
dua jam perjalanan, setibanya di Jakarta masih pukul 7 pagi. Selain itu jarak
bandara dan kosan yang dekat memungkinkan untuk istrahat sejenak kemudian
langsung kembali bekerja dan bergelut dengan rutinitas.
Semoga bisa kesana juga.
BalasHapuspaket wisata jogja