Bogor merupakan salah satu alternatif wisata
khususnya bagi wisatawan dari Ibukota karena jarak yang tidak begitu jauh.
Bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha yang jatuh pada hari Senin tanggal 12
September 2016, aku berencana untuk berlibur ke Bogor karena tiket pulang ke
Palembang saat itu sangat mahal. Sabtu sore aku berangkat bersama Yayang teman
kantorku dan menginap di rumahnya yang berlokasi di Ciomas, Bogor. Esok paginya
Citra (teman kuliahku dulu dan juga teman sekolahnya Yayang), akan datang
menyusul.
Sabtu, 10 September 2016
Sore hari, aku mulai bergerak dari kost menuju meeting point, halte busway Sumur Bor
dan Yayang sudah tiba lebih dulu di sana. Perjalanan kami lanjutkan menuju
Halte Juanda karena kami akan naik KRL menuju Bogor dari Stasiun Juanda.
Sekitar pukul 7 kereta pun datang, kami segera naik dan tiba di Bogor sekitar
pukul setengah 9 malam. Sebelum menuju rumah Yayang, kami sempat mencari
makanan di daerah Jembatan Merah dan di tempat ini ada begitu banyak jenis
makanan yang cukup menggugah selera, apalagi jika sedang lapar seperti ini.
Setelah bingung mencari makan malam, akhirnya pilihan jatuh ke Sate dan
setelahnya memesan ojek untuk mengantar kami ke daerah Ciomas.
Stasiun Juanda |
Ojek pesananku datang terlebih dahulu kemudian
diikuti Ojek Yayang. Sayangnya, mungkin kang ojek ku tidak mendengar bahwa aku
memintanya mengikuti ojek satunya dan terus berjalan. Saat di jalan, ia pun
bilang bahwa dia tau jalan ke kompleknya dan nanti kami akan menunggunya di
gerbang komplek. Setibanya di gerbang komplek, Yayang belum juga muncul sampai
akhirnya kang ojek pun melihat bahwa saat memesan, Yayang mengetikkan blok dan
nomer rumahnya, akhirnya kami pun bergerak menuju blok yang dimaksud. Kami berjalan
semakin kedalam dan tiba di blok yang sama, kemudian dilanjutkan mencari nomer
rumahnya. Tetapi, belum sampai nomer yang dimaksud, jalan sudah habis dan di
ujung jalan kami melewati tempat yang sepi dan masih banyak kebun penduduk.
Lumayan ngeri pikirku tapi sukurlah kang ojeknya orang baik. Ketika Yayang
memesan ojeknya, dia juga menggunakan handphoneku
karena ia kehabisan batre, oleh karena itu, kami tidak bisa menghubunginya.
Tiba-tiba notifikasi ojek milik
Yayang sudah tiba di lokasi tujuan dan terpikir untuk menelpon nomer ojek yang
dinaiki Yayang. Akhirnya, setelah di instruksikan kami pun mulai mengarah ke
jalan yang benar dan saat di perjalanan Yayang menelpon karena Hp nya sudah
menyala. Aku memintanya menunggu di depan rumah, dan tak lama kami pun tiba di
depan rumahnya. Tiba di rumah Yayang, kami menghabiskan makan malam yang telah kami
beli tadi kemudian bersiap istirahat walaupun tertidurnya cukup larut karena
diisi acara mengobrol terlebih dahulu.
Minggu, 11 September 2016
Kampung Budaya Sindangbarang
Setelah bangun pagi, aku dan Yayang masih
bermalas-malasan sambil menunggu Citra berangkat. Setelah Citra menginfokan dia
akan segera naik kereta, kami mulai bergerak dan menggoreng Pempek. Kebetulan
beberapa hari yang lalu aku dikirimi pempek dan kami bertiga, juga sama-sama
orang Palembang. Setelah sarapan aku bergegas mandi dan tak lama terdengar
suara Citra yang sepertinya baru saja datang. Hari ini, kami berencana pergi ke
Kampung Budaya Sindangbarang di Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari. Tapi,
karena belum semuanya bersiap, kami baru bisa berangkat pukul 1 siang. Rencana
awal memang naik motor, tapi karena motor yang satunya khawatir tidak mampu
menanjak, kami pun memesan taksi online. Setelah taksi didapat, kami mulai
bergerak ke tujuan kami. Ternyata, sopirnya orang Jakarta dan belum paham
daerah sini, belum lagi tidak satupun diantara kami yang pernah ke Kampung
Budaya Sindangbarang, sehingga kami pun bergerak menggunakan instruksi dari Google Maps. Semula jalan yang kami
lalui beraspal seperti biasa, namun semakin lama semakin menyempit dan berubah
menjadi jalanan menanjak dan berbatu. Ada rasa tidak enak hati karena
membiarkan pak sopir mengantar kami melewati jalan yang seperti ini, namun mau
berputar pun sulit hingga akhirnya kami pun tiba di depan kawasan Kampung
Budaya ini. Ternyata, ada jalan lain yang lebih nyaman dilalui, sehingga pak
sopir pun bisa pulang dari jalan tersebut.
Kondisi jalan mirip seperti ini saat masih di mobil |
Dari area parkirannya, kami harus berjalan kaki
melalui jalanan yang menanjak dan menurun dengan mengikuti pagar pembatas
kampung ini untuk masuk ke pintu gerbang kampung. Tepat sebelum masuk kampung
ada dua persimpangan yakni ke kanan dan ke kiri. Ke Kanan jalannya menurun ke
bawah dan di sana terdapat kebun, bangunan Musholla serta penginapan seperti
villa sederhana. Tujuan utama kami adalah ke Kiri dengan menaiki beberapa anak
tangga dan untuk masuk ke sini, dikenakan biaya karcis sebesar Rp 10000 per
orang.
Sebelum Masuk Kampung - Gerbang Menuju Area Kampung Jalan ke Kanan (ke Villa, dll) - Tangga ke Kawasan Wisata |
Di tengah kampung ini terdapat lapangan hijau yang luas, bersih dan
indah di pandang mata. Hampir sekelilingnya terdapat bangunan yang menjadi daya
tarik wisata di kampung ini. saat pertama masuk, di sebelah kanan ada pendopo
besar yang disebut Bale Riungan atau
sama fungsinya seperti aula. Di sebelah kiri berjejer beberapa bangunan di sepanjang
pinggiran lapangan yakni Imah Panengen,
Pesanggrahan, 6 buah leuit
(lumbung), dan satu saung lesung di
paling ujung. Di ujung seberang, tedapat Imah
Gede, Girang Serat dan Saung Talu.
Peta Kawasan Kampung Budaya Sindangbarang |
Awalnya kami bingung harus kemana dahulu, sehingga kami hanya berfoto-foto saja
di sekitar lumbung dan saung lesung. Setelahnya,
kami bergerak ke arah Saung Talu
dimana terdapat banyak alat musik tradisional. Ketika Citra dan Yayang berjalan
ke dalam Saung Talu, aku penasaran
dengan bangunan rumah di sebelahnya (mungkin bangunan Girang Serat) yang di terasnya terdapat banyak bingkai
yang berisi informasi seputar kampung ini. Ketika sedang membaca-baca
informasi, seorang ibu datang dan duduk di bangku teras. Beliau bernama Bu
Ella, semula aku hanya tau beliau adalah salah satu pengurus kampung budaya ini
karena beliau yang memberikan kami tiket saat masuk tadi. Aku memberanikan diri
untuk menyapanya dan berbincang singkat, tak lama Yayang datang dan memulai
beberapa pertanyaan seputar kampung ini.
Atas: Saung Talu - Girang Serat - Imah Gede Bawah: Saung Lesung - Leuit (Background) - Pesanggrahan |
Beliau memulai ceritanya dari kegiatan
adat yang rutin diselenggarakan tiap tahun yakni Seren Taun yang merupakan acara syukuran hasil panen. Biasanya
acara ini diselenggarakan tiap bulan Oktober dan tebuka untuk umum. Ketika
acara sedang diselenggarakan, wisatawan bebas datang dan memakan makanan yang
tersedia secara gratis. Sebelum dimulainya acara untuk umum, sudah dilakukan
prosesi Neutepkeun dan Ziarah. Neutepkeun merupakan acara yang
dimaksudkan untuk memanjatkan niat agar acara Seren Taun berlangsung dengan lancar. Prosesi ini dilaksanakan di Imah Gede. Kemudian dilanjutkan dengan ziarah ke makam Sang Prabu Langlangbuana dan Prabu Prenggong
Jayadikusumah di Gunung Salak. Saat acara Seren
Taun berlangsung, ada prosesi pengambilan air dari 7 mata air (Ngangkat Ngakuluan). Perjalanan
pengambilan air ini diiringi dengan kesenian Angklung Gubrag, Sedekah Kue, Nugel Mbe dan Munday Lauk. Sedekah Kue dilakukan dengan menyiapkan 40 tampah
berisi beraneka kue dan setelah acara pembacaan doa barulah warga dan anak-anak
memperebutkan kue-kue yang ada. Selanjutnya dilakukan kegiatan Nugel Mbe atau pemotongan domba. Kemudian,
ada pula acara yang sangat sayang untuk dilewatkan yakni Munday Lauk (menangkap ikan di kali). Ratusan warga masuk ke kali
untuk menangkap ikan sambil diiringi alat musik tradisional. Acara ini memakan
biaya yang tidak sedikit, sehingga setiap iuran tiket yang dibayar oleh wisatawan
dipergunakan untuk rangkaian acara Seren
Taun ini. Walaupun sudah ada dana dari pemerintah, tapi belumlah cukup
untuk membiayai seluruh rangkaian kegiatan yang ada. Bahkan, warga pun ikut
menyumbang agar kegiatan ini dapat terlaksana dengan baik.
Di wilayah Kampung Budaya Sindangbarang terdapat
beberapa penginapan berupa rumah dengan kapasitas sekitar 7-10 orang. Harga
sewanya Rp 1.700.000 per hari. Selain itu, ada 1 rumah yang lebih besar dengan
kapasitas 15-20 orang dengan harga sewa Rp 3.500.000 per hari. Hanya ada
beberapa rumah yang menyediakan fasilitas toilet di dalam rumah, karena menurut
adat tidak diperbolehkan adanya toilet di dalam rumah. Oleh karena itu, kampung
ini tidak lagi disebut sebagai kampung adat seperti dahulu karena tidak
diperbolehkan melakukan hal-hal yang dilarang adat, sehingga diubah fungsinya
menjadi kampung budaya agar bisa membangun penginapan yang didalamnya terdapat
toilet serta diperbolehkan untuk mengadakan kegiatan lain seperti praktik
menanam padi.
Wilayah kampung ini merupakan kampung tertua di zaman
Kerajaan Padjajaran, sehingga tersebar banyak situs-situs bersejarah. Kurang
lebih terdapat 36 situs, walaupun baru ada 6 situs yang telah diakui. Kunjungan
ke situs-situs ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan di pagi hari bagi
wisatawan yang menginap di Kampung Budaya ini, sembari berjalan berkeliling di
sawah dan kebun. Selain itu, ada banyak paket wisata yang ditawarkan untuk
merencanakan liburan yang lebih berkesan di kampung ini. Berbagai informasi
paket bisa dilihat langsung di situs resmi Kampung Budaya Sindangbarang.
Setelah selesai berbincang-bincang
dengan Bu Ella, kami sempatkan berjalan-jalan lagi dan masuk ke dalam Bale Riungan. Tempat ini merupakan
pendopo yang cukup luas dan terdapat beberapa galeri foto saat sedang berlangsungnya
acara di kampung ini. Sebelum pulang, kami memutuskan turun ke bawah melihat
suasana penginapannya dan sholat dahulu di musholla dekat penginapan. Airnya
sungguh segar, namun perlahan suasana menjadi mendung dan turun hujan ringan.
Kami pun tertahan dan menunggu hujan reda di Musholla. Setelah hujan reda, kami
berencana pulang dan berjalan menuju area parkiran dimana kami pikir akan ada
kendaraan yang membawa kami pulang.
Di dalam Bale Riungan |
Setibanya di parkiran, ternyata,
tidak ada kendaraan apapun di sini kecuali kendaraan pribadi. Saat itupun
jumlah kendaran yang parkir hanya sedikit. Kami pun mencoba memesan ojek
online, tetapi tak kunjung ada yang mengambil pesanan kami. Akhirnya, kami
bertanya kepada ibu-ibu pemilik warung di dekat parkiran tentang kendaraan yang
bisa kami pakai untuk pulang dari sini. Beliau memberi tahu biasanya ada ojek
yang mangkal, tetapi saat ini sedang kosong sejak siang tadi dan tidak dapat
dipastikan apakah akan ada ojek yang datang sore ini. Kami mulai khawatir dan
berfikir untuk mulai menyusuri jalan aspal ini, barangkali ada ojek atau
angkutan lain yang bisa kami naiki. Menurut informasi jalannya lumayan jauh,
tapi tidak apa-apa jika ingin dicoba.
Kami pun berjalan kaki menyusuri
jalan menanjak dan menurun sambil melihat-lihat pemandangan yang benar-benar
asri, tapi sudah cukup jauh kami berjalan, belum ada kendaraan yang menawarkan
jasa angkutannya bahkan hari pun mulai mendung dan kekhawatiran kami bertambah
jika hujan turun. Kami pun mempercepat langkah hingga kami memasuki
perkampungan yang cukup ramai dan ada sebuah angkot di halaman rumahnya. Ternyata,
angkotnya baru akan narik penumpang dan berjalan menuju kota sehingga kami
ditawari dan langsung bergegas naik ke angkot. Belum lama kami berjalan,
tiba-tiba hujan yang sangat deras turun. Syukurlah kami tiba di angkot di waktu
yang tepat hingga kami pun tiba di kota Bogor dan mampir dahulu ke Mall BTM
Bogor untuk makan siang yang kesorean. Setelah makan, hujan tidak sederas
sebelumnya, kami berencana ke Botani Square karena ada yang akan di cari di
sana. Setelah itu, kami mencari jajanan lagi di sekitar sini kemudian pulang ke
rumah Yayang untuk beristirahat.
View Food Court BTM |
Senin, 12 September 2016
Curug Nangka, Curug Daun dan Curug Kawung
Hari ini, kami berencana pergi
ke kawasan Curug Nangka yang di dalamnya terdapat 3 curug lainnya. Kawasan ini
berada di Kaki Gunung Salak dengan ketinggian sekitar 750 mdpl, tepatnya berada
di Desa Warung Loa, Kecamatan Taman
Sari, Bogor. Setelah berbagai persiapan dan malas-malasan, kami baru siap
berangkat pukul 1 siang. Kali ini kami menggunakan ojek online dan satu persatu
ojek pesanan kami datang. Kebetulan aku dapat kang ojek yang merupakan warga
asli sehingga sepanjang perjalanan ia bercerita tentang berbagai lokasi wisata di
Bogor dan seolah sedang diantar oleh tour
guide. Sayangnya, kami tidak memiliki banyak waktu untuk berkunjung ke
tempat lainnya, karena sore ini kami harus segera ke stasiun dan kembali ke
Jakarta.
Mendekati kawasan Curug Nangka,
tepatnya di persimpangan dekat pangkalan angkot dan ojek, tiba-tiba ada yang
berteriak. Motor yang saya naiki berada paling depan dari barisan kami bertiga,
dan kukira suara tersebut hanya komando untuk memarkir mobil angkot, jadi kami
pun jalan terus sampai akhirnya kami tiba di depan gerbang Curug Nangka. Ternyata,
ada seorang tukang ojek pangkalan yang sedari pangkalan tadi mengikuti kami dan
langsung marah-marah. “Bapak ga denger saya teriak ga boleh lewat tadi?”,
begitu katanya saat pertama “menyapa” kami. Untunglah tukang ojek kami tidak
ada yang terbawa emosi dan menjawab dengan tenang. “Maaf pak, saya tidak
dengar. Saya kira sedang ngatur parkir angkot. Saya juga ga tau kalo di sini
kami ga boleh lewat, saya cuma melaksanakan kewajiban saya mengantar penumpang
sampai ke tujuan, lagian rejeki udah ada yang atur kan pak. Kita sama-sama cari
rejeki, toh kami ga narik penumpang dari sini”, begitulah kurang lebih
ringkasan penjelasan dari tukang ojek kami. Walaupun dengan raut muka yang
masih tidak senang, perdebatan tidak begitu panjang dan tukang ojek pangkalan
pun kembali ke pangkalannya dan sempat berkata “jangan ngambil penumpang di
sini”. Agak was-was juga karena ketiga tukang ojek kami harus lewat lagi ke
kawasan pangkalannya saat pulang, kami hanya berharap semoga mereka tidak
mendapat masalah lagi dan bisa pulang dengan aman.
Gerbang Curug Nangka |
Memasuki kawasan Curug Nangka, kami
membayar tiket masuk Rp 10.000 per orang dan kami masih harus berjalan lagi
sekitar 1.5 km melewati jalan aspal yang di sampingnya merupakan kawasan hutan
pinus. Sebelum tiba di area air terjun, kami melewati beberapa fasilitas wisata
seperti Parkiran, warung-warung, Mushola, Toilet serta camping ground. Kemudian,
kami langsung menuju air terjun yang pertama yakni Curug Nangka.
Peta Kawasan - Hutan Pinus |
Jalan aspal
sudah tidak ada lagi, dan kami turun menuju aliran sungai dangkal, berbatu-batu
dan ditutupi oleh tebing di kanan dan kirinya. Aliran air yang kami lewati
sangat segar dan luar biasa jernihnya. Untuk menuju Curug Nangka, kami harus
berjalan menyusuri sungai ini sampai ke ujung aliran dan menjumpai keindahan
Curug Nangka.
Menuju Curug Nangka |
Walaupun saat itu sedang ramai, tetapi suasana dinding jurang
yang tinggi dan lebar hampir mengelilingi area air terjun serta rimbunnya
pepohonan di atas tebing, menciptakan suasana yang redup, magis namun sangat
menakjubkan. Ada rasa menyesal karena tidak membawa pakaian ganti, karena
kesegaran air disini benar-benar menggoda.
Curug Nangka |
Curug Nangka dari Dekat |
Setelah puas memandangi dan
menikmati segarnya hembusan angin dan percikan air di Curug Nangka, kami
kembali menyusuri sungai yang telah kami lalui sebelumnya, dan naik ke tepian
sungai menuju Curug Selanjutnya. Menurut informasi, selanjutnya kami akan
menemukan Curug Daun, namun karena tidak menjumpai petunjuk jalan dan
sepertinya Curug Daun tidak begitu tinggi, kami melewatkannya, walaupun aku
mencurigai satu kawasan yang sepertinya Curug Daun.
(Mungkin) Curug Daun |
Kami pun terus melanjutkan
perjalanan menanjak melewati Pos Pemantauan dan akhirnya tiba di Curug terakhir
dan paling tinggi lokasinya di kawasan ini, yakni Curug Kawung. Sepanjang perjalanan
dari Curug Nangka ke Curug Kawung, terdapat banyak penjual makanan mulai dari
Mie Instan, Gorengan serta minuman hangat. Kami memutuskan untuk makan Mie di
sekitar Curug Kawung sebagai makan siang kami dan duduk bersantai di sini.
Suasananya terasa lebih ramai di sini, karena areanya lebih terbuka dibanding
Curug Nangka. Kami menghabiskan beberapa saat disini sembari menikmati kuah mie
yang hangat dipadukan dengan percikan air tejun yang terbawa angin. Lagi-lagi,
hasrat ingin nyebur pun muncul dan harus diurungkan karena tidak membawa
pakaian ganti.
Curug Kawung |
Setelah dari Curug Kawung, kami
kembali turun dan berhenti di beberapa titik untuk jajan gorengan serta
minum-minuman hangat lagi. Setelah cukup puas, kami bergerak untuk pulang dan
menyempatkan sholat terlebih dahulu di Musholla yang telah disediakan. Saat akan
berjalan pulang, kami agak bingung karena angkot masih jauh yakni berada di
persimpangan tempat pangkalan ojek tadi. Kami juga tidak berani memesan ojek
online karena insiden sebelumnya dan menjadi tidak mau memesan ojek dari sini
karena merasa tidak senang dengan cara mereka sebelumnya. Kami sempat melihat
angkot carteran mahasiswa dan mencoba peruntungan barangkali ada sisa tempat
dan bisa kami naiki. Sayangnya, supir angkotnya tidak bisa menjamin ada atau
tidak kursi lebih karena belum tahu pasti jumlah mahasiswa yang akan naik. Kami
dipersilahkan menunggu jika bersedia, dan kami pun menunggu karena angkot ini harapan
kami satu-satunya agar tidak berjalan jauh. Ternyata, rejeki belum berpihak
karena ada beberapa anak yang sakit dan harus digotong serta harus diberi
tempat yang agak luas. Kami pun mulai kehilangan harapan pada angkot dan mulai
mempercepat berjalan kaki menuju persimpangan yang berjarak sekitar 1 km lagi
dari gerbang karena hari yang mulai berubah mendung. Walaupun cukup jauh, udara
yang teduh dan segar cukup mendukung, hingga tak terasa kami tiba di pangkalan
angkot.
Kami segera naik salah satu
angkot yang sedang ngetem, namun setelah di tunggu hampir satu jam, angkot ini
belum juga berjalan. Kami sempat melihat angkot yang lewat di simpang jalan dan
langsung bergerak tanpa ngetem dahulu, segera kami keluar dari angkot dan naik
angkot yang lewat di simpangan tersebut. Kami sempat dipanggil angkot yang kami
naiki sebelumnya, tapi tak kami gubris karena sudah kesal menunggu terlalu
lama. Angkot pun melaju ke arah Kota Bogor, namun kami berhenti di Simpang
Pancasan dan dilanjutkan dengan naik ojek online menuju rumah Yayang.
Note: Untuk transportasi umum ke Curug Nangka jika dari Bogor Trade Mall (BTM), bisa naik angkot dengan jurusan Ramayana – Ciapus, dan berhenti di pertigaan sebelum Curug Nangka tempat banyak angkot ngetem. Dari sini, satu-satunya transportasi umum yang “diperbolehkan” masuk adalah ojek di sekitar. Opsi lainnya, jalan kaki 1 km ke gerbang Curug Nangka.
Setibanya di rumah Yayang, azan Magrib
telah berkumandang, sehingga kami baru bergerak ke stasiun setelah sholat
Magrib. Citra yang tiba lebih dulu, berangkat lebih dulu ke stasiun sebelum
Magrib, kemudian disusul aku yang langsung bergerak setelah sholat Magrib. Ternyata,
ojek yang aku pesan ke Stasiun ini adalah Ojeknya si Yayang saat kami menuju
Curug Nangka siang tadi. Kusempatkan bertanya kondisi saat pulang tadi, dan
untungnya tidak terjadi apa-apa hanya diperingatkan lagi oleh ojek pangkalan
bahwa jangan mengambil penumpang dari area Curug Nangka. Kami pun tiba di
Stasiun dan aku harus mengantri tiket dahulu karena saldo kartuku kurang dan
sisa di ATM pun tidak mencukupi untuk top-up... suram. Kereta Citra sudah
berangkat dan Yayang sudah masuk ke dalam Stasiun. Untunglah, walaupun ramai
aku tidak terlalu lama mengantri dan segera kami naik ke kereta menuju Stasiun
Juanda dan pulang ke kost masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar