Sejak
beberapa bulan lalu, aku dan Kak Beben telah beberapa kali menyusun rencana
perjalanan ke luar Sumatera. Sayangnya situasi dan kondisi tak memungkinkan
untuk dilaksanakan dalam waktu dekat ini sehingga harus dibatalkan dulu.
Sebagai gantinya, perjalanan dialihkan menuju Gunung Dempo di Kota Pagar Alam
dan Air Terjun Maung di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Kali ini touring
menjadi pilihan karena aku ingin mencoba menikmati perjalanan jauh dengan
menggunakan sepeda motor.
Palembang
– Pagi
ini, dengan cuaca yang masih berkabut asap, kulangkahkan kaki menuju pangkalan
Bus Khusus yang akan mengantarkan aku menuju Indralaya, Kabupaten Ogan Ilir.
Ya…beberapa minggu belakangan ini kota ku dan daerah sekitarnya sedang dilanda
bencana kabut asap akibat kemarau panjang yang disertai kebakaran hutan dan
lahan. Sekitar 15 menit menunggu, bis yang dinanti pun melintas. Segera aku
naik, duduk manis di bangku tembak selama 45 menit.
Setibanya
di Indralaya, aku turun di depan Kampus Unsri dan tak lama menunggu, Kak Beben
pun datang dengan sepeda motor dan sebuah daypack di punggungnya. Dari sinilah
kami akan memulai touring dalam perjalanan menuju pagar alam. Pukul 09.45 WIB,
motor mulai melaju meninggalkan Indralaya, melintasi Kota Prabumulih hingga
memasuki Kabupaten Muara Enim. Belum sampai di pusat kota muara enim, hujan pun
turun dengan derasnya, memaksa kami menepi dan berteduh di rumah penduduk.
Ternyata Kabupaten Muara Enim sudah mulai diguyur hujan. Sangat kontras jika di
banding Palembang yang masih belum diguyur hujan.
Sekitar
15 menit kemudian hujan mulai reda, dengan menggunakan raincoat, perjalanan
kami lanjutkan kembali hingga akhirnya tiba di pusat kota. Kami pun berhenti di
sebuah rumah makan padang untuk mengisi perut yang mulai keroncongan. Selepas
makan, perjalanan dilanjutkan kembali hingga memasuki Kabupaten Lahat dan terus
menuju Kota Pagar Alam.
Menuju Pagar Alam |
Sebelum
tiba di Pusat Kota Pagar Alam, kami berhenti sejenak di kawasan wisata Air
Terjun Lematang Indah untuk sekedar beristirahat dan menjalankan sholat.
Sekitar 30 menit beristirahat, perjalanan dilanjutkan kembali hingga akhirnya
kami pun tiba di pusat kota pagar alam dan beristirahat di depan minimarket sambil
membeli keperluan tambahan logistik. Selepas itu, perjalanan dilanjutkan menuju
pabrik teh PTPN VII dan tiba di lokasi sekitar pukul 17.30 WIB. Kembali beristirahat
dengan memilih tempat di kantin yang berada di samping pabrik, sembari memesan
minuman hangat dan mengobrol dengan Ayah Anton. Cukup panjang obrolan dengan
ayah anton dan karena basecamp di belakang rumahnya sepi maka di sepakati bahwa
kami akan langsung melanjutkan perjalanan ke Kampung IV, kampung terakhir
menuju lokasi pendakian Gunung Dempo.
Azan
Magrib mulai berkumandang, segera kami menuju mushollah dan menjalankan sholat
Magrib. Selepas waktu magrib, kami melanjutkan perjalanan menuju Kampung IV. Perjalanan
mulai menanjak dan berkelok, melintasi aspal mulus sampai akhirnya mulai masuk
ke jalan bebatuan yang kurang tersusun rapi sehingga sangat menguras tenaga dan
konsentrasi dalam membawa motor. Dengan bermodal penerangan dari lampu motor,
kami pun akhirnya tiba di Kampung IV dan berhenti di kantin Bu Tina. Di kantin
inilah kami membeli makan dan minum, sholat isya dan bermalam. Rencananya kami
ingin bermalam di Balai yang berada di samping kantin, namun melihat tidak
adanya pendaki lain, kami pun memutuskan untuk bermalam di bale-bale teras
kantin. Pukul
23.00 WIB listrik dari mesin diesel mulai padam, hanya langit yang tampak
terang ditaburi bintang-bintang. Dalam kondisi yang masih sangat sulit tertidur
karena suhu yang dingin, aku coba memejamkan mata hingga azan terdengar,
mungkin hanya 1 atau 2 jam aku terlelap.
23
Oktober 2014
Sepanjang
malam istirahat terganggu karena rasa dingin yang luar biasa, membuat kepala
terasa berat dan pusing. Sempat terpikir tidak sanggup untuk melanjutkan
pendakian, namun sinar matahari memberikan semangatnya dan aku tampak
sehat-sehat saja. Pendakian tetap dilakukan.
Usai
solat subuh dengan menahan dinginnya air, kami segera menyantap nasi goreng dan
teh hangat yang dibeli di kantin. Sayangnya nasi goreng yang dipesan ternyata
pedas. Karena tidak terlalu kuat makan pedas, aku hanya makan beberapa sendok
saja, apalagi kalau lagi travelling, si perut sulit merasa lapar.
“Paling telat jam 8 kita
jalan”, ucap Kak Beben sembari packing bawaan ke dalam daypack. Tak lama,
seorang pendaki datang dengan membawa buku untuk rumah baca di Kampung IV ini.
Ia bernama Bang Ardi, yang juga akan melakukan pendakian hari ini bersama
keenam temannya. Sepertinya tidak ada pendaki lain, selain kami dan rombongan
Bang Ardi. Karena aku dan Kak Beben sudah mulai start berangkat duluan,
akhirnya kami memutuskan jalan lebih santai dan duduk-duduk di Pintu Rimba,
menunggu mereka datang.
Setelah
semua datang, kami memutuskan untuk naik bersama, walaupun akhirnya di perjalanan
terbagi menjadi dua kelompok. Bang Ardi paling depan, aku di belakangnya dan
Kak Beben di belakangku. Sedangkan yang lainnya, berada beberapa meter di
belakang kami.
“Kak Beben, dibelakang aku. Kalo aku
ketinggalan kan ada yang menunggu”, pintaku agak memelas.
pendakian |
Perjalanan
berlanjut, setibanya di Shelter 1, kami beristirahat cukup lama sambil menikmati
segelas susu coklat hangat. Beberapa pendaki yang sedang turun sempat kami
temui di sini, sekedar bertegur sapa dan berbagi informasi kondisi di atas.
Setelah
puas beristirahat, aku sempat meminta jika Kak Beben mau ke sumber air agar aku
diajak karena ingin tau lokasinya, sekalian mengambil wudhu. Kemudian kami
berdua turun ke lokasi sumber air di Shelter 1 dan ternyata keadaannya cukup
mencengangkan. Kering tak ada setetes air pun disana. Kak Beben langsung
memanjat dan naik ke atas mengikuti aliran air, mencari kemungkinan air yang
tersisa.
“Kaaakk….?”, teriakku karena Kak Beben belum
muncul-muncul juga.
“tak ada suara balasan, mungkin jauh mengambil
airnya, mungkin belum ketemu”, pikirku dalam hati.
“Masih bisa lanjut kah? Air sudah kering begini.
Tapi… masa batal muncak sih? Ah, semoga dia dapat air dan diatas sana juga
masih ada airnya”, gumamku saat duduk sendiri, menanti Kak Beben yang sedang
mencari sisa-sisa air.
Kemudian
ia pun muncul dengan membawa botol-botol berisi air. Alhamdulillah…
Air
di dapat dari menampung sisa-sisa genangan di cerukan batuan. Memang rasa
belerangnya terasa, namun inilah modal untuk perjalanan kami selanjutnya. Dengan
tayamum, kami menyelesaikan kewajiban dan sekitar pukul 13.00 WIB pendakian pun
dilanjutkan kembali.
Dengan
melangkah perlahan namun pasti, kami pun akhirnya tiba di Dinding Lemari.
Dibukalah bungkusan nasi goreng yang dibeli di kantin pagi tadi, disinilah kami
makan siang bersama.
“huaaa..pedas juga ternyata” ujarku,
“wah iya, lupa ngomong jangan bikin yang
pedas”, ujar Kak Beben
Ternyata
nasi gorengnya sama pedasnya seperti pagi tadi. Alhasil aku cuma sanggup makan
sedikit karena memang tak tahan pedas. Setelah semua berkumpul, menyantap nasi
goreng dan beristirahat melepas lelah, perjalanan kembali dilanjutkan.
Di
tengah perjalanan, kaki mulai terasa lemas dan aku mulai kedinginan. Jaket pun
sudah ku pakai saat berjalan dari Dinding Lemari. Tujuan selanjutnya adalah
Shelter 2. Selama perjalanan, kurasa fisik mulai drop. Mual dan masuk angin
mulai menyerang, mungkin karena makan yang sangat sedikit sejak pagi tadi.
Setibanya
di Shelter 2, aku segera minum Tol*k Angin dan beristirahat. Karena suhu yang
mulai dingin, Kak Beben segera mengeluarkan Emergency Blanket, agar aku bisa
merasa lebih hangat. Kami menunggu semua tim lengkap dan setelah semua puas
beristirahat, pendakian kembali dilanjutkan. Aku dan Kak Beben memilih berjalan
di belakang dan setelah berjalan beberapa menit, aku dan Kak Beben baru ingat belum
melaksanakan sholat Ashar. Kami persilahkan yang lain untuk lanjut dan kami
mencari sedikit tempat datar untuk melaksanakan sholat. Usai sholat, kami pun
lanjut berjalan menemui teman-teman yang lain.
“Kak, perutku mules, sepertinya tak tahan
lagi, mungkin gara-gara masuk angin”, ucapku.
baru
saja berjalan, tiba-tiba perutku terasa sangat melilit. Akhirnya dengan sangat
terpaksa aku buang hajat di tepian jurang karena sudah tak sanggup lagi mencari
tempat lain. Dengan sabar, Kak Beben menunggu, menjaga dan tetap sopan dengan
tidak melihat aksi menyedihkanku di tepi jurang. Selesai buang hajat dan
menimbunnya, aku pun siap melanjutkan perjalanan kembali.
“astaga, ini badan jadi seperti ini. Sanggup kah sampai
puncak?”, pikirku dalam hati.
“Bisa...”, Seolah tau apa yang ku pikirkan, Kak Beben
berkata demikian, sambil menatap mataku. Kemudian mengajak lanjut berjalan
karena hari mulai mendekati Magrib. Beberapa menit berjalan, tampaklah
teman-teman yang lain sedang duduk beristirahat. Disana kami kembali duduk
berkumpul bersama hingga menyudahi saat-saat adzan magrib sampai akhirnya
melanjutkan perjalanan kembali.
Hari
sudah mulai gelap, karena jumlah alat penerangan yang kurang, kami pun berjalan
beriringan. Aku dan Kak Beben sendiri berada di belakang dan syukurlah aku
masih bisa mengimbangi gerakan rombongan sehingga tidak ketinggalan.
Terus
berjalan dengan perlahan, memanjat akar-akar pohon melintasi jalur yang mulai
curam, sekitar pukul 19.30 WIB kami pun akhirnya tiba di Cadas. Tak lama
beristirahat disini, perjalanan dilanjutkan kembali. Di tengah perjalanan, salah
seorang teman kondisinya sudah tidak memungkinkan untuk lanjut. Kak Beben pun
mendahului rombongan, mencari lahan datar yang layak untuk mendirikan tenda.
Kami pun akhirnya bersama-sama mendirikan tenda di kawasan hutan lumut,
lokasinya berada tidak jauh dari puncak dempo, tepatnya beberapa meter dibawah
Makam.
Karena
cuaca yang dingin serta tidak ada pemandangan yang dapat dilihat, aku pun tidak
keluar dari tenda dan bahkan sangat betah di dalam sleeping bag yang kukenakan.
Ada sedikit rasa kecewa karena tidak bisa melihat langit luas di pelataran
Dempo malam ini. Apalagi pendakian pertamaku ke Gunung Dempo bulan Maret lalu
juga kusia-siakan dengan diam di tenda, saat bermalam di pelataran. Aku ingin
melihat Milky Way dan Sunrise!
Jujur sempat ada rasa kesal, mungkin karena lelah
yang membuatku tidak memikirkan sekitar. Tapi akhirnya aku bisa berfikir
positif. Dengan kondisiku yang mungkin hanya segar sesaat, padahal sudah sangat
lelah, sepertinya sudah cukup untuk menjadi alasan bermalam disini. Lagi pula,
kami sudah bersama rombongan sejak awal mendaki dan juga menurut informasi
pendaki yang kami temui siang tadi, tidak ada pendaki lagi di atas sana. Jadi
mending disini, terasa ramai dengan bersama-sama.
Suhu
malam ini terasa lebih dingin dari kemarin, apalagi ditambah dengan hujan
kabut. Mungkin karena lelah dan memang kurang tidur sehingga setelah makan
malam, aku pun lekas terlelap dalam balutan Emergency Blanket dan sleeping bag.
24
Oktober 2014
Pagi
yang segar, tepatnya dingin! semua sudah bangun dan beraktivitas, mulai dari
menyiapkan sarapan hingga kembali packing. Hari ini kami akan naik ke pelataran
dan lanjut ke Puncak Merapi Dempo. Rombongan Bang Ardi sudah lebih dulu selesai
packing dan berangkat duluan. Sekitar setengah jam, aku dan Kak Beben menyusul
namun kali ini tidak membawa daypack. Daypack sengaja kami timbun di sekitar
hutan lumut ini, rencananya memang kami akan langsung kembali turun menuju
kampung IV karena besok akan melanjutkan perjalanan menuju Air Terjun Maung
bersama teman Kak Beben yang sudah dihubungi beberapa hari sebelumnya.
Dengan
membawa bodypack dan logistik secukupnya, kami mulai berjalan melanjutkan
pendakian. Tidak begitu lama berjalan, kami pun tiba di puncak dan langsung
turun menuju pelataran. Tiba di pelataran, kami istirahat sebentar sembari
mengobrol dengan teman-teman yang telah lebih dulu tiba. Setelah beristirahat,
aku dan Kak Beben bergegas ke Puncak Merapi karena kami harus segera turun
siang ini. Berbeda dengan rombongan Bang Ardi yang akan camp satu malam lagi di
pelataran.
Berjalan
perlahan menyusuri jalan setapak yang ada, akhirnya aku berhasil kembali menjejakkan
kaki di puncak ini. Tak ada orang lain di atas sini kecuali hanya kami berdua. Walaupun
disekitar penuh kabut, pemandangan sangat tertutup, namun aku merasa puas.
Segala keraguan kemarin akhirnya terjawab. Sesuai permintaanku kemarin-kemarin,
Kak Beben mengajakku berjalan menuju Seismograf. Sayang karena kabut,
pemandangan di belakang pun tak terlihat. Begitu pula dengan kawah yang hanya
sesekali saja menampakkan diri, menunjukkan warna abu-abu, mirip kulit telur
asin.
Puas
berfoto dan bersantai, Pukul 12.00 WIB kami mulai turun ke pelataran, karena
rencananya kami akan turun gunung sekitar pukul 13.00 WIB. Di pelataran,
kembali kami menemui teman-teman yang sudah mendirikan tenda dan ternyata kami
dapat suguhan makan siang. Lumayan modal buat jalan, walaupun rencana turun
awal harus molor hingga pukul 14.00 WIB. Selesai makan siang kami berpamitan dengan
mereka dan mulai bergerak turun. Menurut pendakian sebelumnya, aku membutuhkan
waktu sekitar 4 jam untuk keluar dari pintu rimba… ya, begitu rencananya.
Awal
perjalanan semua lancar. Langkahku masih stabil meskipun tidak secepat Kak
Beben. Walaupun begitu, dia tetap menunggu agar aku tidak tertinggal. Tiba di
hutan lumut, kami mulai membawa daypack yang ditimbun sebelumnya dan langsung
melanjutkan perjalanan hingga tiba di Shelter 2. Beberapa menit melanjutkan
perjalanan dari sini, barulah kaki ku mulai terasa berat dan lemas. Semakin
lama, langkah mulai pelan dan tidak beraturan. Melihat kondisi demikian, Kak
Beben berinisiatif membawakan daypackku sehingga aku hanya membawa bodypack.
Awalnya
menurut perhitungan, sekitar pukul 18.00 WIB, kami sudah keluar dari Pintu
Rimba. Sayangnya perhitungan sepertinya akan meleset, tepat pukul 17.30 WIB
kami baru tiba di Shelter 1. Sedangkan kaki benar-benar sudah lemas, meskipun
tetap kuupayakan untuk melangkah.
Di
Shelter 1, kami sholat asar sejenak dengan di jama’ zuhur dan dalam doa aku
berharap tenaga ini bertambah dan langkah kaki ku semakin membaik. Mungkin doa
tersebut agak aneh kalau benar-benar terwujud, sejenis keajaiban. Tapi ada cara
lain dari Allah untuk memberi pertolongan. Di Shelter 1 aku menemukan sebuah
tongkat kayu yang pas untuk membantuku berjalan turun. Walaupun pelan,
setidaknya terasa lebih tertolong.
Perjalanan
berlanjut, berkali-kali aku terjatuh karena kaki semakin lemah. Perjalanan
menuju pintu rimba kali ini benar-benar memakan waktu dan tenaga. Hari mulai menjelang
magrib, kami pun beristirahat sejenak di jalur, sembari mempersiapkan sarana
penerangan.
“Astaga, patah…”, ucap Kak Beben lirih, sambil
mengeluarkan slot baterai cadangan headlamp. Baterai bawaannya sudah habis
untuk penerangan saat di atas dan baterai cadangan terpaksa tidak bisa
digunakan karena wadahnya patah, terjepit oleh barang bawaan di dalam daypack.
Masih ia mencoba memperbaikinya, namun nihil. Dengan tidak mematahkan semangat,
Ia mengeluarkan handphonenya dan menghidupkan flash untuk pencahayaan kami di
jalur pendakian. Namun daya baterai sudah menipis. Jadilah handphone tersebut
digunakan sambil dicolok powerbank yang ternyata dayanya juga menipis.
“Semoga baterai
handphonenya bisa bertahan hingga kami tiba di kampung IV, setidaknya keluar
dari titik awal pendakian”, harapku dalam hati.
Usai
adzan magrib, kembali kami berjalan beriringan dengan langkahku yang tertatih. Pikiran-pikiran
rasa takut akan cerita yang pernah kudengar disini sejujurnya mulai terbesit di
otakku. Bayangkan saja… kami hanya berdua di dalam hutan rimba yang gelap,
dengan penerangan minim pula. Hanya semangat dari setiap kami dan ingat akan
Tuhan yang masih membuat otakku tetap berpikir positif hingga membuat kaki ini mampu
terus melangkah.
Di
tengah perjalanan kami beristirahat sejenak. Ku lihat Powerbank sudah
benar-benar tidak bisa digunakan lagi, jadilah flash handphone menjadi satu-satunya
penerangan kami. Entah karena tertarik atau apa, pandanganku mengarah ke
sekitar, melihat ke atas pohon yang satu ke pohon yang lain. Dengan lirih Kak
Beben berbicara “Dek…matanya lihat ke arah sinar saja” sambil menyorot flash
handphonenya ke tanah. Kami pun mulai ngobrol, bersenda-gurau hingga akhirnya
siap melanjutkan perjalanan kembali.
Hampir
sepanjang jalan mulai dari Shelter dua, Kak Beben membawa daypackku, sehingga
ia membawa dua daypack. Sedikit khawatir ia juga lelah, karena saat ini
sejujurnya hanya dia yang bisa memberi semangat.
“Kaaakk… vapur hilang..!”, ucapku sontak kaget. Satu-satunya
botol air minum kami untuk diperjalanan, lepas dari gantungan bodypack yang kubawa.
Entah terjatuh dimana, mungkin tak terasa lepas saat aku ngesot dan memang
tidak terlihat karena gelap.
“tunggu di sini sebentar ya, sebentar saja…cuma mau
cek ke atas dikit, mungkin jatuhnya barusan. Kalau tidak ada, ya apa boleh
buat. Coba mainkan Handphone saja agar lumayan terang”, instruksi Kak Beben,
saat akan coba mencari botol air minum tersebut.
Sayangnya
Handphone ku harus install aplikasi dulu agar bisa jadi senter dan pada saat
itu, aplikasinya belum terinstall. Alhasil, hanya sinar dari layarnya saja yang
menerangiku.
Selang
beberapa detik menunggu, Kak Beben pun turun dan botol vapur tidak ditemukan. Seperti
ada tambahan semangat, kami baru teringat bahwa di samping daypack ada botol
air yang dibawa Kak Beben, yang ditemukannya saat di jalur pendakian kemarin. Alhamdulillah….walaupun
isinya jauh dari cukup, hanya sebatas dua ruas jari. Kami pun mulai
menghemat persediaan air, dengan minum hanya sebatas membasahi tenggorokan.
Perjalanan
dilanjutkan kembali. Di tengah perjalanan, masalah pun muncul kembali, handphone
Kak Beben yang menjadi sumber penerangan kami mulai kehabisan daya. Segera dia
mengambil baterai cadangan untuk berjaga-jaga. Selang beberapa detik, handphone
pun mati dan segera diganti dengan baterai cadangan yang dibawa.
Tombol
power ditekan….
…
Handphone masih belum nyala…
……
“Baterainya kosong kak?”, tanyaku….
“Sepertinya begitu..mungkin kena suhu dingin”,
jawabnya
Perasaanku
mulai bercampur. Namun seperti tak kehabisan akal, kami pun menggunakan layar
handphoneku sebagai penerangan. Dengan mengandalkan penerangan ini, kami
melanjutkan perjalanan dengan tetap beriringan meskipun jalan semakin lambat
karena kondisi kaki ku yang semakin lemas.
Hanya
doa yang keluar tak bersuara dari mulutku, berharap bisa cepat keluar dari hutan
rimba malam ini. Kulihat wajah Kak Beben yang sudah mengisyaratkan kelelahan,
bahkan sesekali kulihat dia tampak tak seimbang. Seperti sudah sangat lelah,
namun tetap ingin tampak kuat.
Sempat
ia memintaku untuk memberitahunya kalau aku sudah tidak sanggup berjalan. Jika
sudah begitu, mau tidak mau harus camping di jalur untuk recovery diri. Tapi
aku terfikir, air sudah sangat menipis, perut sudah mulai lapar. Aku harus
kuat, jangan sampai ngecamp lagi. Perjalanan pun tetap dilanjutkan…
Dengan
penuh kesabaran, doa dan usaha yang entah telah berapa kali dilakukan, akhirnya
kami pun tiba di Pintu Rimba tepat pukul 20.00 WIB. Alhamdulillah…
“Assalammualaikum”,
ujar Kak Beben di depan Pintu Rimba. Terdengar jelas ada suara dahan pohon yang
patah. Barangkali monyet, ujarnya. “Assalammualaikum”, sekali lagi Kak Beben
berucap, …”kemudian hening”.
Baru
saja hendak beristirahat di lahan lapang dekat pintu rimba, tiba-tiba kami
dikejutkan dengan suara grasak-grusuk di semak. Seketika Kak Beben mengeluarkan
pisau sambil memperhatikan arah sumber suara. Terdengar suara hewan seperti
Babi Hutan. "Hussh!!!...Hussh!!...", Usir Kak Beben… “kemudian kembali hening”.
Kami
pun kembali beristirahat sejenak di lahan lapang sambil membasahi tenggorokan.
Cukup lega rasanya.
“Nanti, kalau sudah lewat di plang titik awal
pendakian, Kakak duluan saja ya, biar bisa ambil motor di kampung IV dan menjemput”,
tawar Kak Beben kepadaku membuka obrolan.
“Atau nanti kita berjalan ke goa dulu, disana masih ada anak
Palembang yang sedang pendidikan. Bisa menumpang istirahat sebentar, baru kakak
lanjut jalan duluan ke kampung IV mengambil motor”, ucapnya lagi…
“hmm.. bareng saja kak…kurang nyaman sendiri. Sepertinya
bisa dibawa jalan agak cepat, kan jalannya sudah datar, tidak seperti di dalam
hutan tadi”, aku menolak, mungkin karena takut sendiri.
“Lanjut yok…”, ajaknya.
Perjalanan
pun dilanjutkan, melewati jalan setapak kebun teh yang terasa sangat curam kali
ini. Masih beriringan pelan, sesekali beristirahat karena aku kembali terjatuh.
“Kak, nanti dibawah langsung ambil motor duluan
saja ya, sepertinya kaki mulai berat untuk terus jalan, nanti tambah lama kita
tiba di kampungnya”, akhirnya aku mulai menyerah karena kaki sudah sangat sakit
dan lemas.
Awalnya
ia menolak untuk meninggalkan aku sendiri, namun aku sedikit memaksa hingga
akhirnya di iya kan.
Seperti
terasa cukup lama melewati kebun teh ini, sekitar pukul 21.00 WIB kami pun
akhirnya tiba di plang Titik Awal Pendakian Gunung Dempo. Beristirahat sejenak
di bawah tiang plang ini. Air minum yang tersisa pun kami minum kembali.
Awalnya
aku menolak untuk minum, kupikir Kak Beben lebih membutuhkan karena akan
berjalan ke kampung, sedangkan aku hanya duduk menunggu. Kalaupun aku haus, ya
tinggal duduk menikmati suasana malam.
Namun
Kak Beben memaksa agar tetap berbagi, jadilah sisa air di botol kami habiskan.
Perjalanan
pun dilanjutkan kembali. Kunyalakan handphone satu lagi, agar kami bisa berbagi
penerangan. Meskipun redup, namun cukup membantu untuk menerangi jalan. Dari
Plang ini kami masih berjalan beriringan, melewati satu tikungan di lembahan
hingga tiba di lokasi yang cukup indah untuk dinikmati karena pemandangan
kerlip lampu kota bisa terlihat. Dari sini Kak Beben mulai berjalan duluan.
“Kakak jalan dulu ya,
kalau ada apa-apa, teriak!”, ucapnya sebelum ia berjalan lebih dulu ke Kampung
IV.
Aku
duduk sejenak untuk beristirahat, sembari memandangi lampu-lampu kota dan
perkebunan teh yang terlihat hitam saja, kala malam. Masih tampak Kak Beben
yang belum terlalu jauh, berhenti di sebuah bak penampungan air, terlihat ia memasukkan
kepalanya disana. Aku pun baru tahu saat sudah di kampung IV, bahwa ia minum sisa
air yang tergenang disitu.
Takut
cuaca mulai dingin, aku kembali mengangkat tongkat dan berjalan pelan dalam
sendiri. Ada rasa takut yang kucampur dengan doa. Kudengar suara-suara nyanyian
orang ramai, sepertinya itu pendaki yang sedang camping di sekitar sini. Aku
merasa lelah, ingin istirahat, tapi tempat ini terlalu gelap. Kupaksa berjalan
sedikit lagi hingga menemui tempat yang cukup terbuka dan ada sedikit cahaya.
Aku duduk dan menunggu, sembari mengusir takut dengan mendengarkan nyanyian
para pendaki yang kudengar dari jauh.
Suara
mesin motor mulai terdengar, lampu yang bergerak mulai terlihat mendekat. Syukurlah,
akhirnya Kak Beben datang. Segera aku naik ke motor dengan perasaan sangat
lega. Ia membawa motor milik Bapak Kantin tempat kami menitipkan motor. Ia dipinjamkan
motor tersebut agar bisa lebih cepat karena trek jalanan yang
berbatu-batu.
Baru
saja melewati jembatan Resort, tiba-tiba mesin motor mati. Beberapa kali dicoba
untuk dihidupkan namun mesin tak kunjung menyala. Menyala sebentar, di gas
sedikit langsung mati. Motor pun kemudian di dorong, dengan kondisi jalan yang
menanjak sepertinya menyulitkan Kak Beben. Akhirnya motor kembali di otak-atik
sampai berulang kali hingga akhirnya mesin berhasil menyala sempurna, walau
bensin menjadi lebih boros.
Kami
pun tiba di Kampung IV dan aku langsung beristirahat sambil menyantap makan
malam dan teh hangat yang sudah di pesan Kak Beben saat tiba duluan tadi.
Malam
ini, pendaki sudah mulai ramai di Kampung IV karena sepertinya memang sudah
memasuki Long Weekend. Malam ini pula tanggal 1 Muharram (Malam 1 Suro) yang
sempat menjadi pikiran saat masih di dalam hutan tadi.
Sebelumnya
rencana kami malam ini akan lanjut ke Basecamp Ayah Anton, karena sudah
berjanji akan menemui Budi, teman Kak Beben yang akan mengantar ke Curup (Air
Terjun) Maung. Namun ternyata Budi sudah berada di Kampung IV bersama dengan
rombongannya, sehingga malam ini kami pun menginap di balai kampung IV bersama
mereka.
Selesai
makan dan beristirahat, aku segera mengambil posisi di dalam Balai untuk melaksanakan
sholat kemudian merebahkan diri, memanjakan tubuh yang keletihan ini.
25
Oktober 2014
Pagi
hari aku bangun dan kali ini akan dilanjutkan perjalanan menuju Curup Maung.
Berkali-kali aku terfikir bahwa jalannya bakal tambah sulit karena kaki yang
belum pulih. Kantin pagi ini tutup karena ibu dan bapak pemilik kantin berangkat
ke Kampung I menghadiri perlombaan rabana. Untungnya motor sudah dikeluarkan
bapak, namun helm dan pakaian yang dititipkan masih di dalam rumahnya. Meski
begitu, perjalanan masih dilanjutkan menuju Curup Maung dan sepulangnya nanti akan
naik lagi ke Kampung IV, mengambil barang yang tertinggal.
Untuk
mengisi pagi, usai sarapan aku coba berjalan-jalan di sekitar Kampung IV agar
kaki terbiasa lagi dibawa berjalan. Sekitar pukul 09.00 WIB, kami mulai bergerak
menuju Kampung I, bersama Budi dan satu orang lagi yang memang hendak turun
sebentar dengan meminjam motor bapak kantin. Tiba di kampung I, aku, Kak Beben
dan Budi sarapan di kantin sebelah Pabrik Teh PTPN VII, sembari menunggu Heri,
seorang teman Kak Beben lagi yang memang berdomisili di Pagar Alam.
Beberapa
menit kemudian Heri pun tiba, kami diajak ke rumahnya terlebih dahulu. Disana
kami disuguhkan sarapan oleh Ayah dan Ibunya, sembari menunggu kedatangan teman
lainnya yang akan ikut ke Curup Maung. Akhirnya, ada 6 orang yang ikut dan
dijalan kami pun bertemu dengan dua orang lagi hingga semakin ramailah
rombongan.
Sekitar
pukul 11.30 WIB, kami bergerak menuju Curup Maung. Menurut bahasa penduduk setempat,
Maung berarti bau keringat. Hal ini dikarenakan memang membutuhkan perjuangan
dan keringat untuk mencapai air terjun ini.
Hampir
satu jam di jalan, melewati jalan aspal yang berganti menjadi jalan batu dan
tanah, akhirnya kami tiba di area parkir Curup Maung. Ternyata air terjun ini sudah
komersil dan sangat ramai. Padahal baru tahun kemarin lokasinya masih sepi dan
tenang. Sudah ada tarif parkir sebesar Rp 5.000 untuk sepeda motor, biaya
kebersihan sebesar Rp 2.000 per orang serta sudah banyak penjual makanan dan
minuman di sepanjang jalur menuju air terjun ini.
Tetap
dengan berjalan pelan dan dibantu oleh Kak Beben, jalanan turun yang curam
menuju air terjun ini cukup menguras tenaga. Beberapa kali aku memilih untuk
ngesot, ketimbang turun secara normal. Sedikit rasa malu karena terlihat seperti
seorang yang manja, namun apa boleh buat, kemampuanku benar-benar sedang
terbatas. Akhirnya dengan sabar dan sangat pelan, kami tiba di tepian air
terjun. Air terjun ini sangat cantik dan indah, bahkan saat sudah sangat ramai
begini, masih juga mengundang rasa ingin segera berenang dan menikmati percikan
airnya. Kalau kata teman, air terjun ini mirip seperti di iklan “Ad*m
Sari”.
Karena
kondisi yang sudah ramai, akan lebih aman jika membayar jasa penitipan tas,
hanya Rp 5000 setidaknya bisa lebih aman menikmati segarnya air terjun ini.
Puas bermain air dan berfoto, kami
segera naik kembali menuju parkiran. Jalan pulang yang menanjak terjal cukup
melelahkan walaupun terasa lebih nyaman untuk kakiku jika dibanding saat turun.
Tiba di parkiran, kami menyantap makan siang dan dilanjutkan pulang menuju
rumah Heri kembali. Tiba di sana, kami menyempatkan diri menonton Kuda Lumping
yang menurut Ayah Heri, Seni Budaya Kuda Lumping ini rutin diadakan setiap hari
1 Suro. Tak lama menonton, aku dan Kak Beben pamitan dengan kawan-kawan disana
karena harus kembali menuju Kampung IV untuk mengambil barang-barang yang
tertinggal.
Sebelum
ke Kampung IV, kami menyempatkan diri untuk melihat dan bersantai di Tugu Rimau
sambil menikmati gorengan yang dibeli di kantin pabrik teh PTPN VII. Suasana di
Tugu Rimau cukup ramai, memang biasanya saat hari sabtu-minggu tempat ini
selalu ramai dikunjungi wisatawan. Karena hari mulai mendung dan sepertinya akan
turun hujan, tak berlama kami kembali naik motor untuk menuju Kampung IV.
Rencananya malam ini kami akan ngecamp di Tugu Rimau karena suasananya cukup nyaman
dan kebetulan juga ada sekelompok anak-anak pramuka yang mendirikan tenda di
sana.
Menjelang
Magrib, kami tiba di Kampung IV. Setelah mengambil barang-barang dan menjalankan
sholat magrib, hujan pun turun. Barulah setelah hujan reda, kami mulai bergerak
kembali menuju Tugu Rimau untuk mendirikan tenda disana.
“Dek, HP kakak
dimana ya?”, tanya Kak Beben, saat baru akan mendirikan tenda di Tugu Rimau.
“hmmm…di daypack sudah di cek ? waktu di
kampung IV ngecas ?”, tanyaku
“Astaga…iya di cas. Kakak balik lagi kesana
ya” Ujar Kak Beben.
“Besok pagi kan bisa, sekarang sudah malem. Hubungi
Bang Ardi coba, minta diamankan dulu HP nya, kan dia masih di kampung IV”,
ucapku.
Akhirnya
Kak Beben tidak jadi naik lagi malam ini dan mencoba menghubungi Bang Ardi.
Sayangnya nomer Bang Ardi sedang tidak aktif sehingga dicoba menghubungi
teman-teman lain untuk mendapatkan kontak teman Kak Beben yang sedang di
Kampung IV.
Kontak
berhasil di hubungi, HP pun berhasil di evakuasi dan besok pagi rencananya akan
kembali melewati jalanan ke Kampung IV.
Malam
ini hanya sebentar kami menikmati suasana malam di kawasan aspal tertinggi Kota
Pagar Alam (1820 mdpl) karena sempat turun hujan, walaupun hanya sebentar. Kami
beristirahat lebih cepat karena harus mempersiapkan fisik untuk perjalanan
pulang esok hari.
26
Oktober 2014
“Kak, kan Bang Ardi sama rombongannya kemungkinan
turun pagi ini. Kenapa tidak dititipkan saja HPnya ke dia, kemudian ketemuan di
Kota, jadi tidak perlu repot-repot harus ke Kampung IV lagi”, saranku pagi itu.
Kak
Beben pun kembali menghubungi nomer Bang Ardi namun tetap tidak aktif, begitu
juga dengan nomer kawan lainnya yang berada di Kampung IV. Untungnya, semalam
sudah dapat kontak Ayah Rohim, pemilik kantin tempat Kak Beben ngecas HP. Setelah
dihubungi, ternyata Bang Ardi belum turun hari ini dan teman-temannya sudah
turun lepas magrib kemarin. Selain itu, tak ada juga yang berencana untuk turun
pagi ini. Alhasil, kami pun mulai berkemas dan packing pagi itu juga kemudian
langsung kembali menuju Kampung IV.
Tiba di Kampung IV, kami segera mengambil HP dan ngobrol-ngobrol sebentar. Kemudian, perjalanan dilanjutkan turun menuju Kota. Tiba di Pabrik Teh kami beristirahat sebentar untuk mengisi perut. Pukul 11.30 WIB kamu mulai melanjutkan perjalanan menuju Palembang.
Setibanya
di Lahat, Kak Beben mengajakku ke Gajahan, kawasan di bawah Bukit Serelo,
tempat yang pas untuk berfoto. Sayangnya gerbang ditutup sehingga hanya bisa
mengambil background foto bukit serelo hanya dari depan gerbangnya saja.
Setelah selesai berfoto, kami pun kembali pulang.
Dalam perjalanan pulang, hujan sempat turun, memaksa kami berteduh di sebuah pondokan pinggir jalan. Untungnya hujan tidak begitu lama dan perjalanan kami lanjutkan, walaupun sempat kehujanan lagi di daerah Muara Enim.
Sekitar
pukul 18.30 WIB kami tiba di Kota Prabumulih dan berhenti makan malam di Rm.
Cambai Jaya. Selesai makan, kembali perjalanan dilanjutkan dan tiba di Kota
Palembang sekitar pukul 21.00 WIB. Setelah mengantarku pulang ke rumah, Kak
Beben melanjutkan perjalanannya pulang menuju Indralaya.
* * *
…Sejujurnya pendakian kali ini menjadi yang tersulit dibanding sebelumnya dan bagian cerita perjalanan yang sangat aku ingat adalah saat perjalanan turun dari Gunung Dempo...
....Di saat kaki mulai letih berjalan
....Di saat headlamp mulai tak bisa digunakan
....Andalkan flash HP yang mulai kehabisan baterai
....Baterai cadangan pun tak bisa digunakan
....Powerbank yang hanya tersisa sekian persen
....Hingga akhirnya mengandalkan sinar layar HP
....Menahan rasa haus, karena persedian air minum yang hilang
....Berjalan perlahan dengan sejuta rasa
....Ditengah hutan rimba, hanya kami bedua, berteman tuhan di dalam jiwa
Sebuah Langkah Kecil yang Bercerita…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar