Bermula dari skripsi yang belum ada pergerakan secara signifikan dan
anjuran dosen pembimbing untuk mengganti kasus tapi belum juga mendapatkan
titik terang, tiba-tiba datanglah ajakan seorang teman untuk ke Gunung Dempo,
Pagar Alam, Sumatera Selatan. Seketika ide yang buntu pun dapat pemecahan untuk
mengganti kasus skripsi yang awalnya meneliti tentang daun padi diganti dengan
daun teh, karena di Pagar Alam merupakan lokasi perkebunan teh yang sangat
luas.
4 Maret 2014
Start hari selasa sore, aku dan 4 orang teman, 3 laki-laki dan 1
perempuan, bergerak dari sekret mapala Pajarpala menuju terminal karya jaya.
Sekitar pukul setengah 4, bis telaga biru yang kami naiki, segera berangkat
menuju Pagar Alam. Tak banyak cerita selama perjalanan, aku tertidur hampir di
sepanjang jalan yang menghabiskan waktu sekitar 7 jam. Pukul 11 malam, kami
tiba di Basecamp Ayah Anton di Kampung I, istirahat sebentar dan tepat pukul 12
malam, kami memulai perjalanan menuju Kampung IV. Untuk latihan fisik, dari
kampung I menuju kampung IV, kami berjalan kaki melipir melewati jalan aspal.
Maklum, aku dan teman cewek yang satu lagi, bukan anggota mapala dan aku
pribadi baru ini benar-benar mendaki gunung, karena sebelumnya rata-rata hanya
mencoba gunung yang sudah beraspal hingga puncak.
5 Maret 2014
Sekitar pukul 3 dini hari, kami istirahat dan mendirikan tenda di
sebuah tanah yang cukup lapang di kawasan kebun teh. Tak lama, aku tertidur dan bangun sekitar jam
9 pagi, kemudian mengambil beberapa sampel daun teh untuk bahan skripsi sembari
menikmati pagi diantara hijaunya kebun teh yang terhampar luas.
Sekitar pukul 09:55, tenda dan peralatan lainnya sudah di packing,
kami pun melanjutkan perjalanan menuju kampung IV dan tiba di sana sekitar
pukul 11:50. Langsung makan dan membeli logistik di warung, sambil sedikit
beristirahat di warung ini. Selanjutnya, kami bergerak ke Shelter Kampung IV (Resort) untuk
ngecamp 2 malam di lokasi tersebut, dengan tujuan adaptasi dengan suhu dingin gunung.
Selama di sini, kami hanya menikmati suasana dingin sejuk di
kaki gunung ini, dan di isi dengan bernarsis serta menghangatkan diri dengan kehangatan api unggun saat malam.
Sayangnya, kebiasaan tidur cepat masih melekat, hari belum terlalu malam,
tapi mata sudah berat. Ya, sejak kemarin, aku menjadi penghuni tenda yang
pertama, karena rasa ngantuk yang hadir duluan. Pukul 9 malam aku langsung
ngacir ke tenda dan tidur.
Resort |
6 Maret 2014
Tidur cepat, bangun juga lumayan cepat dan lebih dulu. Pukul 7 pagi
aku bangun lalu menuju kampung IV bersama seorang teman untuk belanja bahan
masak. Berhubung perut sudah lapar, jadi sarapannya duluan di warung. Sekitar
setengah 9, kami kembali ke tenda dan hari ini ternyata hujan turun cukup
deras. Kami hanya duduk, berceloteh, berfoto dan masak-masak di sebuah pondok
kayu yang tersedia di sini. Cukup lama hujan mengguyur hingga petang, sehingga
membuat suhu semakin dingin.
Untunglah malam ini cerah, bintang bertaburan di langit dan
disempatkan untuk belajar sedikit ilmu navigasi dari bintang lalu di lanjutkan
dengan acara api unggun. Menghangatkan diri dari hari yang dingin pasca hujan
yang hampir seharian. Kali ini, aku berhasil tidur sedikit lebih malam, hahaha.
Resort |
7 Maret 2014
Hari ini kami akan melanjutkan perjalanan mendaki Gunung Dempo. Pagi
pukul 8, aku bangun dan tak lama aku dan seorang teman kembali menuju Kampung
IV untuk belanja logistik, sedang para lelaki packing tenda, peralatan dan
lain-lain.
Pukul 11 pagi kami baru bergerak menuju pintu rimba, melewati kebun
teh. Karena permulaan dan tubuh belum panas, rasanya cukup sulit melewati kebun
teh yang berjalan sempit, licin serta menanjak. Jujur, sejak dari bawah dan
melihat puncak Dempo, aku tidak yakin akan menjejaki puncaknya, saat memulai
pendakian pun aku terlalu malas untuk menyemangati diri. Setiba di Pintu Rimba,
sebuah tulisan terbaca “Ingatlah Tuhan Bersama Orang-orang Pemberani”.
Terlintas di pikiran, tidak ada yang tidak mungkin, yang penting usaha, tuhan
bersamaku. Perjalanan pun di mulai menuju Shelter I, semangat mulai muncul,
terutama setelah tiba di Shelter 1, belum ada rasa lelah yang sangat, hanya
nafas yang kadang menderu selama di jalur pendakian.
Kami |
Di shelter 1, sebuah tempat datar, namun tak begitu luas, kami
istirahat sejenak kemudian perjalanan di lanjutkan melewati dinding lemari yang
memaksa sedikit memanjat. Perjalanan dari dinding lemari menuju Shelter 2
terasa cukup panjang namun terasa cukup mengasyikkan. Mungkin karena mesin di
kaki sudah panas, hahaha.
Setelah berjalan dan berjalan, akhirnya tiba juga di Shelter 2. Jam
menunjukkan pukul 4 dan kami memutuskan untuk bermalam di sini. Sebenarnya ada
rasa ingin lanjut saja, karena tak sabar ingin melihat puncak, tapi karena ini
memang niatnya nyantai dan menikmati perjalanan, kami pun mendirikan tenda di
sini.
Malam hari dihabiskan ngobrol-ngobrol di tenda, dan hampir semua dari
kami kadang-kadang mencuri-curi kesempatan tiduran, dengan alasan “ga tidur,
Cuma lurusin pinggang” atau “ga tidur, Cuma merem bentar” dan beragam alasan
lainnya, hingga tercetus kalimat “pendakian modus”, modus biar bisa tidur.
Musuh utama yang tidur-tiduran adalah senter dengan bahan yang terbuat dari besi. Berhubung
suhu yang dingin, badan senter pun jadi sangat dingin dan bisa dipastikan, yang
terbuai tidur tiba-tiba kaget dan bangun saat pipi di tempel dengan dinginnya
badan senter. Malam semakin larut, dan akhirnya semua tertidur dengan posisi
kaki di tengah dan bertumpuk-tumpuk. Sangat tidak recommended Hahaha
8 Maret 2014
Pagi ini, hampir semua bangun pagi, tapi masih bermalas-malasan di
tenda dan mengisi waktu dengan foto-foto. Bahkan, para cowok-cowok malah selfie dengan gaya sok imut. Haahaha.
Setelah sarapan dan ngopi campur ngeteh, persiapan menuju top dempo dan pelataran pun
di mulai. Perjalanan dari shelter 2 menuju top dempo, dimulai sekitar pukul
setengah 11. Ketika melewati cadas, kami berjumpa dengan pendaki yang
sebelumnya kami temui di kampung IV, sewaktu kami membeli logistik. Mereka akan
turun, dan benar-benar rejeki karena mereka masih ada sisa logistik berupa roti
kacang untuk mengisi perut kami yang lapar.
Sebenarnya logistik ada di daypack teman di belakang, kami bertiga
berada di depan jalan lebih dulu. Jadi, kalau lapar kalau ga nunggu ya tahan.
Dengan perjumpaan ini, perut terselamatkan oleh sang roti kacang. Mereka juga
memberi tahu, bahwa mereka meninggalkan beras, minyak dan jelly di pelataran,
lumayan buat tambahan logistik. Cukup lama beristirahat di sini sambil makan
dan ternyata, teman yang di belakang juga dapat pengisi perut berupa coklat
dari pendaki yang tadi. Di cadas inilah juga aku dapat nama gunung “Buduk” yang
berarti “Budak Tiduk” (Bocah Tidur), oleh teman yang sebelumnya berada di
belakang. Nama ini diberikan karena memang aku yang paling hobi tidur. Saat
mereka tiba di tempat kami, tak lama kami lanjut ke atas lagi.
Cadas |
Pendakian menuju Top dempo terasa benar-benar melelahkan, kaki pun
mulai terasa lemas. Saat harus memanjat rasanya harus benar-benar mengumpulkan
tenaga dan semangat. Sempat rasanya ingin tidur saja. Satu tanjakkan sedikit
lebih tinggi dari dengkul harus di panjati dan karena kaki yang sudah cukup
lemas, aku hampir terjatuh. Di sini aku benar-benar malas untuk lanjut, tapi
rasa ingin menikmati puncak yang sedari kemarin ku jejaki masih mengganjal di
hati. Teman-teman pun meneriakkan kata-kata yang cukup menyebalkan tapi memang
cukup membakar semangat. “Sa, ayoo terus! Ini tanah lo, lo orang Sumatera, masa
kalah semangat sama yang dari Jawa. Nanti sampe top bisa tiduran sambil
nunggu”, kebetulan teman yang satu lagi berasal dari Bandung. Sempat aku bantah
dengan jawaban “jangan rasis!”, tapi saya tahu maksudnya hanya untuk
menyemangati karena ternyata, hanya berjalan sedikit, tulisan “DEMPO 3159 MDPL”
sudah di depan mata. Aku berhasil tiba di puncak ini, sesuatu yang
hampir mustahil kurasa. Tiba di sini, justru bukan ingin tiduran, tapi semangat
mulai muncul lagi, ada rasa yang membuat semangat terbakar lagi, untuk melihat
kawah di puncak merapi.
Top Dempo |
Tiba di Top sekitar pukul 1 siang dan tak lama menunggu, dua teman
kami pun muncul. Istirahat sebentar lalu kami turun ke pelataran untuk
mendirikan tenda. Rencana hari ini, sore nanti kami akan ke puncak merapi untuk
menikmati sunset, sayangnya hujan turun cukup deras, sehingga matahari tak
muncul senja ini. Sore setelah hujan berhenti, saya menikmati sore dengan
berjalan sendiri di pelataran menyusuri sebuah belahan yang merupakan bagian
dari Telaga Putri. Karena berbahaya dan kabut, seorang teman berteriak
memanggil saya untuk jangan terlalu jauh dan saat kembali sedikit ngobrol
dengan pendaki di tenda lain yang baru sampai.
Malamnya saya ketiduran, mungkin juga karena lelah. Mungkin saya melewatkan
malam yang tak biasa, tapi tubuh juga
punya hak. Aku tertidur dan terbangun fajar.
9 Maret 2014
Rencana kami ingin melihat sunrise, sayangnya masih ada yang tidur dan
belum juga mau bangun setelah dibangunkan. Alhasil, semua tidur lagi. Setengah
8, aku mulai bosan di tenda dan keluar untuk berjalan-jalan di pelataran
menikmati segarnya pagi ini. Untunglah hari ini cerah, tak sabar rasanya menuju
ke puncak merapi. Sekitar pukul 10, barulah kami bergerak menuju Puncak Merapi
untuk melihat kawah dan menikmati suasana di sini.
Menuju Puncak Merapi |
Setibanya di Puncak Merapi, akhirnya salah satu keinginan untuk
melihat kawah di atap Sumatera Selatan ini terwujud. Hari pun sangat cerah dan
kawah yang kami dapat berwarna cantik, hijau kebiruan. Kabut hanya sebentar
muncul kemudian hilang, sehingga pemandangan luas baik ke kawah maupun ke
pelataran tampak jelas. Sayang, tidak sempat menuju pintu langit yang mana
katanya, pemandangannya lebih indah.
Puncak Merapi |
Puas berfoto dan bersantai-santai di sini, kami turun sekitar pukul 12
untuk packing dan persiapan turun. Sekitar pukul 1 siang, kami mulai bergerak
turun menuju Kampung IV. Turun ternyata lebih mengerikan dari naik, walaupun
tidak terasa. Sesekali turun dengan berlari dan meloncat, sampai akhirnya kaki
kiri di dalam sepatu agak lecet dan membuat mobilitas kurang. Banyak
mengandalkan kaki kanan yang akhirnya membuat kaki kanan terasa sangat lemas.
Puncak lemas kaki terasa saat dari Shelter 1 menuju pintu rimba. 2
kali terpeleset saat melewati jalan tikus yang membuat kedua sepatu terendam di
dalam kubangan tanah yang becek. Pelan tapi pasti, dengan semangat
“sampe kampung IV, nasi goreng pake telor” barulah sekitar pukul 4, kami tiba di Pintu
Rimba. Beristirahat yang memang sedikit lebih lama, membuat kaki terasa
lebih lemas saat kembali di gerakkan. Baru saja berdiri dan berjalan, kaki
seperti ingin terlipat dan teman yang cewek melihat kejadian tersebut, kemudian menertawai saya.
Lucunya, saat dia tertawa, kakinya juga sedang lemas yang membuatnya justru terduduk. Akhirnya
kami saling menertawakan bahkan saat melewati kebun teh untuk menuju Kampung
IV, kami sering menertawakan diri sendiri ataupun saling menertawakan. Dengan
sedikit terseok, akhirnya kami tiba di Kampung IV, langsung memesan makan dan
membersihkan kaki yang penuh tanah.
Pintu Rimba (kiri) dan Titik Awal Pendakian (kanan) |
Sepiring nasi goreng pake telor dan teh hangat, mengisi perut
insan-insan yang kelaparan. Malam ini, kami tak langsung ke Basecamp Ayah Anton.
Kami menginap semalam di balai desa dan rejeki masih ga kemana. Nemu juga
logistik di dalam balai walaupun yang kami pakai cuma spiritus untuk membuat
kopi dan teh.
Malamnya, yang cewek tertidur lebih dulu dan ternyata saat aku tidur
ada sedikit insiden mistis. Untunglah aku tidur dan tidak tahu walaupun
keesokan harinya mendengar ceritanya.
10 Maret 2014
Pagi hari, aku bangun lebih dulu. Karena bosan tiduran, aku keluar dan
menikmati hamparan kebun teh serta sejuknya udara pagi. Tak lama, seorang teman
mengajak masuk untuk ngeteh. Kabut juga mulai turun dan di luar terasa semakin
dingin. Setelah mandi dan santai-santai, kembali ke warung untuk sarapan. Kami
hanya bertiga awalnya, karena dua orang masih tidur. Kali ini, kami pesan 3
nasi goreng, 2 mie kuah. SANTAP!
Saat akan kembali ke balai, yang tertidur tadi muncul ke warung dan
ikut sarapan. Tak lama, ada mobil pick up pengangkut kubis yang sama pada saat
kami ngecamp di resort kemarin. Setelah di tanya, dia memperbolehkan untuk ikut
ke kampung 1. Lumayan gratis~
Pukul 11 kami packing barang dan bersiap menunggu mobil pick up
selesai meletakan kubis-kubisnya di bak. Ada 2 mobil, jadi saya dan seorang
teman ikut mobil yang belakang. Ada miskomunikasi di sini, sehingga 2 mobil
terpisah dan kami malah di bawa ke pasar. Namun, abang yang nyetir ternyata
sangat baik, dia bersedia mengantarkan kami kembali ke kampung 1 untuk menemui
teman kami yang lain setelah beliau menyerahkan kubis-kubisnya di truk yang ada
di pasar. Sekitar pukul 3 kami tiba di kampung 1, nyantai di warung di sebelah
pabrik pengolahan teh milik PTPN. Tak lama, ada Ayah Anton datang untuk ngopi.
Kami pun ngobrol-ngobrol di satu meja sebelum lanjut ke basecamp. Sekitar pukul
setengah 5 barulah kami ke sana dan istirahat menunggu bis yang menjemput untuk
kembali ke Palembang.
Jam 8 kurang kami duduk di pinggir jalan dan tak lama bis pun datang.
Perjalanan kembali ke Palembang pun di mulai.
11 Maret 2014
Bis tiba di Bungaran (Palembang) sekitar pukul setengah enam pagi. Setelah di jemput dengan motor, aku
beristirahat sebentar di sekret Mapala Pajarpala dan kemudian ketiduran. Pukul
10 saya dibangunkan dan diantar pulang ke rumah.
Mungkin rada pasaran, tapi benar kata orang. Alam mengajariku banyak hal, baik secara logis maupun yang tak logis. Mengajarkan beragam hal yang sudah pasti tidak akan pernah aku dapatkan di bangku sekolah ataupun kuliah. Mungkin jika di jelaskan, terlalu rumit dalam rangkaian kata atau mungkin bisa jadi lebay. Biarlah ini jadi pelajaran hidup, yang kelak bisa melatih diri menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Ya, perjalanan kali ini sebenarnya bertujuan untuk langkah penyelesaian akademik, tapi bonus yang aku dapat, lebih dari itu. Terimakasih semesta, Terimakasih 3159 mdpl J
Hal yang kurindukan mungkin bukan puncaknya. Tapi jalur pendakian yang menjadi saksi atas apa yang terbesit dalam hati. Puncak adalah pencapaian yang menjadi titik pertanda untuk persiapan kembali. Kembali melintasi jalur dengan rasa berbeda, pandangan berbeda dan tujuan yang berbeda. Kembali mencapai kesuksesan, pulang ke rumah dengan selamat, berjumpa keluarga :)
manta,,, jadi bisa bernostalgia lagi dengan dempo lewat tulisan ini,,, thanx
BalasHapusSama-sama mas :)
Hapus