Denting gitar
bermain mengiringi dan mengisi kekosongan suara di malam cerah…
Bahasan yang saat ini sangat menarik untuk kudengar mulai mengisi
suasana sehari-hari. Mungkin aku sedang asik-asiknya menikmati sesuatu yang
cukup baru untuk ku yaitu naik gunung. Ya, aku anak kemarin sore yang jatuh
cinta pada kegiatan yang satu ini setelah mencoba menikmati kuasa alam di
Gunung Dempo, Pagar Alam, Sumatera Selatan. Entah takdir atau apa, dalam
bulan-bulan ini, aku mulai mengenal beberapa anggota pecinta alam dan mulai masuk
ke obrolan mereka.
Ini hanya postingan curcol yang mungkin banyak basa basinya. Hanya
saja, tangan sedang gatal-gatalnya ingin menuliskan sesuatu di halaman ini.
hahaha
Kemarin sore, aku main ke landmarknya kota Palembang bersama seorang
teman cewek yang beberapa kali sempat jadi travel
mate, kemudian main ke rumahnya. Kebetulan di depan rumahnya merupakan rumah
salah seorang dari anggota mapala dimana tempatnya sering dijadikan tempat
kumpul. Hari ini sedang sepi dan hanya ada satu orang lagi yang akan datang.
Rencananya, dia bersedia untuk menemani aku dan temanku tadi untuk ke Pagar
Alam lagi dengan tujuan ambil data lagi sekalian naik Gunung Dempo lagi jika
Tuhan kembali mengizinkan pertengahan bulan depan.
Tak ada maksud khusus untuk berteman dengan mereka, semua mengalir begitu
saja dan tanpa sengaja beragam ilmu aku petik sebagai masukkan kelak. Sudah
sangat jelas, mereka yang berada di organisasi pasti memiliki skill serta teori
yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan aku yang masih sangat awam dan hanya
tau rasanya naik gunung saja. Benar obrolan semalam, semua bisa naik gunung asal
siap. Semua bisa naik gunung asal ada Uang, Alat serta Belas Kasihan, belas
kasihan dari Tuhan tentunya. Tapi, jika terjadi sesuatu yang tak di inginkan…aku
bisa apa?
Mulai dari dasar navigasi standar, sedikit ilmu survival, bahkan
interaksi baik dengan yang kasat mata maupun yang tidak sedikit demi sedikit
masuk ke dalam pikiran.
Sempat ditanya alasan mengapa naik gunung?
Aku hanya bisa jawab “awalnya hanya penasaran dan ingin menikmati
rasanya berada di puncak, tapi setelah mencoba sendiri, seperti tulisan
sebelumnya, ada kerinduan tersendiri saat berjalan dan berjalan menuju puncak
itu. Entah bagaimana mengatakannya, aku lebih merindukan prosesnya, dan puncak adalah bonus yang kuterima...yang pasti ini seperti ketagihan”.
Terdengar juga ucapan naik gunung bukan untuk pamer kegagahan atau gaya. Filosofi kehidupan
selama pendakian mungkin sudah sering terdengar, tapi memang benar adanya. Agak
bingung untuk merangkai katanya di sini, salah satunya yakni memaknai kerendahan
hati. Ya, aku pribadi jika ingin gagah-gagahan, apalah yang harus di
sombongkan? Skill payah, teori jauh di bawah. Mau gaya? Alat banyak minjem,
sekalinya ada masih sangat standar. Bahkan jikapun dikemudian hari sudah banyak
pengetahuan yang di serap, di atas langit masih ada langit. Seperti halnya tiba
di puncak, ingin mendekati matahari? Bahkan melihatnya saja tak sanggup apa
lagi menggapai. Menembus awan, merasa sudah menembus langit? melihat ke atas,
ternyata masih ada langit.
Selain kerendahan hati, ada juga hal yang aku simpulkan sendiri yakni
kesopanan. Berdasarkan interaksi tadi, salah satunya dengan mereka yang tak
kasat mata. Intinya, aku datang dan bertamu lalu bagaimana caranya agar tidak
berperilaku tidak menyenangkan selama di sana. Menghormati dan sopan bertindak
pada alam serta semua isinya, niscaya ada kemudahan di balik itu semua.
Satu hal yang tampaknya sangat menarik dan menjadi penutup obrolan.
Soal navigasi. Tampaknya menarik dan di lain waktu mungkin ada kesempatan untuk
mempelajarinya atau mencoba mencari tahu sendiri dasar-dasarnya yang lebih
banyak lagi. Setidaknya, aku tidak hanya naik, sampai puncak, turun. Tetapi,
siap mengantisipasi hal-hal yang tidak di inginkan serta bisa lebih mengenal
alam. Mungkin, dengan beragam pengetahuan yang aku dapat, aku juga bisa ikut
berkontribusi untuk alam, bukan hanya alam yang memberikan aku kepuasan batin
serta pelajaran kehidupan yang lebih banyak.
Tulisan ini hanya sedikit celoteh kisah yang mungkin saja kedepannya
aku menjadi salah, dan saat membacanya mungkin bisa sedikit mengingatkan ketika
aku hanya anak awam yang ingin mencapai awan. Intinya, semoga terhindar dari
segala jenis kesombongan atau kata lainnya, kacang lupa kulit.
J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar