Thailand bukan hanya Bangkok, Phuket atau Pattaya. Beragam pengalaman menarik dan berbeda, bisa saya dapatkan di Thailand Utara yakni Provinsi Chiang Mai dan Chiang Rai yang merupakan provinsi paling utara. Tepatnya tanggal 16 Januari
2014, hampir seluruh rombongan NGS dari Unsri, Palembang pulang ke tanah air karena sudah menyelesaikan studi satu semester di UTM, Johor, Malaysia. Beberapa orang diantaranya, pulang di tanggal berbeda dan salah satunya saya yang akan menuju bagian utara
Thailand hingga Golden Triangle, perbatasan 3 negara yakni Thailand, Myanmar
dan Laos.
- 16 Januari
Pukul 08:00 pagi, semua diantar menuju LCCT dan sebagian yang pulang
esok hari diantar menuju UTM Kuala Lumpur untuk menginap semalam. Saya ikut ke
UTM KL untuk repacking. Malamnya, diantar menuju KL Sentral dan saya langsung
bergerak menuju PODs The Backpacker Home yang berada tepat di belakang KL
Sentral untuk menitipkan koper karena hanya akan membawa satu ransel menuju Thailand.
Kali ini saya hanya pergi sendiri, mencoba untuk solo travelling walaupun
awalnya agak ragu karena sedang gencarnya demo di Bangkok serta belum tau
bagaimana keadaan Thailand jika pergi sendiri. Namun, akhirnya setelah
membulatkan tekad, perjalanan di mulai. Dari KL Sentral, saya naik Keretaapi
Tanah Melayu (KTM) pukul 21:30 waktu Malaysia (GMT +8) menuju Hat Yai, Thailand
Selatan.
- 17 Januari
Perjalanan memakan waktu cukup lama dan cukup beruntung saya bisa
menyaksikan sunrise dari atas kereta. Sekitar pukul 9 pagi, tiba di Padang
Besar untuk keperluan imigrasi keluar Malaysia dan masuk Thailand. Di sini juga
ada food court jika ingin sarapan terlebih dahulu karena kereta baru akan
bergerak lagi sekitar 1 jam kemudian. Tiba di Hat Yai sekitar pukul 10:30 waktu
Thailand (GMT +7), tepat waktu dengan yang tertera di tiket.
Hatyai Junction |
Setibanya di stasiun Hatyai, tiba-tiba blank saat di datangi
calo-calo. Langsung ikut dan lupa tujuan awal untuk membeli tiket kereta dulu.
Alhasil malah minta refill top-up tetapi malah di paksa beli kartu seharga 315
baht. Saya kira sudah dipasang paket internet, ternyata belum. Naas, baru
dateng langsung ketipu. Tapi kali ini harus jadi pelajaran di kemudian hari.
Akhirnya saya langsung membeli tiket kereta menuju Bangkok dan mencoba sleeper
train dengan tiket seharga 845 baht untuk keberangkatan pukul 15:39. Lanjut ke
informasi dan bertanya tempat refil top-up dan di arahkan menuju Robinson
didepan stasiun. Di sana saya menemukan outlet DTAC dan segera minta
dipasangkan paket internet satu minggu dengan biaya 199 baht.
Untuk mengisi waktu sebelum kereta berangkat, saya hanya
keliling-keliling dekat stasiun menuju tempat makan di depan stasiun yang
rata-rata halal serta perkampungan di belakangnya. Berhubung takut nyasar, saya
kembali lagi ke robinson untuk sekedar cuci mata. Pukul 15:00 kembali ke
stasiun dan ternyata kereta terlambat. Bingung kereta mana yang akan saya
ambil, bertanya ke sana kemari tidak dapat juga info yang jelas. Bahkan
sekuriti pun tidak dapat menjelaskan dengan bahasa inggris. Sangat mengejutkan,
justru seorang bapak-bapak yang cukup berumur yang bisa membantu saya
menjelaskan dengan bahasa Inggris, bahkan menemani hingga kereta datang sekitar
pukul 16:40.
Sleeper train ternyata sangat nyaman. Sekitar pukul 6 sore, kursi di
ubah menjadi tempat tidur dan kebetulan saya mengambil lower berth sehingga
bisa sambil melihat pemandangan. Kawasan bagian selatan Thailand ini memiliki
banyak sekali tebing” tinggi dan sangat cantik untuk dipandang selama
perjalanan. Di kereta ini, setiap tempat tidur, di tutup dengan tirai untuk
menjaga privasi. Pokoknya top banget!
Sleeper Train |
- 18 Januari
Saya kira bakalan dibangunkan pagi hari untuk mengembalikan posisi
kursi, tapi ternyata tidak. Tempat duduk justru baru dibereskan saat hampir
tiba di Bangkok dan kereta ini tiba sangat terlambat sekitar 4 jam karena baru
tiba di Bangkok sekitar pukul 15:30. Sayangnya, pagi ini saya tidak menyaksikan
sunrise karena bagian tempat tidur saya, jendelanya menghadap barat.
Tiba di Stasiun Hua Lamphong, Bangkok, tidak di sangka-sangka saya
justru mendapatkan teman seorang mahasiswa dari Jogja yang juga travelling
sendiri. Berhubung belum izin pada orangnya untuk mencantumkan identitas diri,
maka nama akan saya samarkan menjadi “Budi”. Kebetulan Budi sudah bingung ingin
kemana karena menuju phuket atau pataya harus menggunakan bis dan untuk menuju
terminal, banyak jalan yang di tutup karena #BangkokShutdown. Akhirnya, dia
memutuskan untuk bareng menuju Chiang Mai. Segera memesan tiket kereta kelas 3
menuju Chiang Mai dengan harga 271 baht/orang. Kereta berangkat pukul 22:00 dan
untuk menunggu keberangkatan, kami mengisi daya baterai yang ternyata
colokannya bisa kami temukan di Musholla stasiun. Di food court Stasiun Hua
Lamphong, juga teresdia satu tempat yang menjual makanan hallal dengan beragam
menu dan salah satunya nasi goreng dengan rasa yang cukup lezat.
Hua Lamphong Railway station - Bangkok |
Pukul 21:30 selepas membeli perbekalan makanan untuk di jalan, kami
segera masuk ke kereta dan ternyata keadaan keretanya lebih mengerikan
dibanding kereta ekonomi di Indonesia. Ya, nikmati sajalah. Semakin malam dan
subuh, suhu terasa sangat dingin, belum lagi sudah memasuki kawasan utara
Thailand di bagian pegunungan. Bahkan, di dekat kami bule-bule pun pada pake
sleeping bag untuk tidur.
3rd Class Train |
- 19 Januari
Menjelang siang pun masih terasa dingin, hingga sekitar pukul 13:30
kami tiba di Stasiun Kereta Chiang Mai. Hanya terlambat sekitar setengah jam
dari waktu yang tertera di tiket. Dengan menggunakan Songtaew, kami menuju old
town dan mencari guest house di kawasan tersebut. Rata-rata semua full,
khususnya single room. Karena tak kunjung menemukannya, akhirnya kami hanya
mendapatkan dormitory di Same same guest house, dengan 100 baht per orang dan 4
orang dalam satu kamar. Untungnya salah seorang penghuni kamar yang berasal
dari China sangat ramah dan yang satunya lagi hanya muncul saat waktunya tidur,
sehingga kami tidak begitu mengenalnya.
Selepas beristirahat sebentar dan mandi, kami langsung berjalan menuju
wat-wat di sekitar Old Town. Ternyata oh ternyata, hari ini minggu dan waktunya
“Sunday Walking Market” di Old Town Chiang Mai. Rata-rata produk yang di jual
adalah handcraft dengan kesan etnik yang kental. Benar-benar menggoda mata. Parade budaya di jalanan juga dihadirkan di sini seperti drama boneka, parade dengan baju adat sambil memainkan alat musik sambil menari dan berjalan, serta pentas seni tari oleh anak-anak. Pasar mingguan ini, ternyata sangat luas dan membuat kami bingung untuk menahan
rasa ingin membelinya, karena harganya yang sangat murah. Akhirnya, sebelum
banyak berbelanja, kami mencari makan dulu di Anusarn Market dan menemukan
makanan yang rasanya kurang selidah dan harganya mahal. Namun, tetap di santap
juga karena lapar.
Setelah makan, kami kembali menuju Sunday Walking Market untuk membeli
beberapa barang. Menjelang malam, saya pulang duluan ke guest house untuk
beristirahat, sedangkan Budi masih berkeliling sendiri.
Kota Tua di Dalam Tha Pae Gate, Chiang Mai |
- 20 Januari
Pukul 08:00 pagi, kami segera keluar untuk menyewa motor menuju Doi
Inthanon National Park. Suhu pagi yang dingin, membuat kami tidak sanggup untuk
mandi pagi di provinsi ini. Sewa motor 200 baht per hari dan setelah membeli
beberapa roti kami langsung bergerak ke Doi Inthanon dengan waktu tempuh
sekitar 2 jam. Suhu yang dingin menjadi tantangan yang berat, bahkan terasa
sampai ke kepala. Pagi itu, suhu sekitar 13˚C saat masih di kawasan yang tak
jauh dari Old Town. Memasuki national park, harga tiket dewasa 200 baht dan
anak-anak 100 baht. Untuk motor 20 baht dan mobil 40 baht. Kagetnya, kami
seperti dikira anak-anak dan hanya dikenakan tarif 100 baht/orang dan motor 20
baht.
Perjalanan menuju puncak, di suguhi beberapa spot keren yang membuat
kami berhenti sesekali sebelum akhirnya benar-benar mencapai puncak. Banyak
lokasi untuk camping serta tak disangka-sangka, kami melihat banyak sekali
bunga sakura yang tumbuh di sini. Doi Inthanon merupakan Puncak pegunungan
tertinggi yang di miliki Thailand dengan ketinggian sekitar 2565 meter di atas
permukaan laut (mdpl). Suhu di kawasan pegunungan ini benar-benar dingin,
dengan suhu terendah 2˚C. Saat kami berada di sini, termometer menunjukkan suhu
8˚C, sangat dingin bahkan saat berbicara mulut mengeluarkan asap.
Pemandangan di Perjalanan Menuju Doi Inthanon Summit, Chiang Mai |
Puncak Doi Inthanon, Chiang Mai |
Di atas sini juga terdapat sejenis souvenir shop dan kedai kopi untuk
menghangatkan diri. Ada juga visitor center berupa ruangan kecil dengan beragam
penjeleasan tentang flora dan fauna di taman nasional ini. Pusat pelaporan juga
berada di puncak, namun dilarang di foto dan mungkin juga di larang masuk.
Setelah puas mengambil beberapa foto serta menghangatkan diri dengan segelas
kopi, kami segera turun karena kabut semakin turun dan suhu semakin dingin.
Sembari turun ke bawah, kami menyempatkan diri mengunjungi the great
holy relics pagoda of Naphamethanidon dan Naphapholphumisiri yang berada tak
begitu jauh dari puncak. Biaya masuk 40 baht untuk dewasa. Kali ini, kami
dikenakan tarif yang tepat walaupun berharap dikira anak-anak lagi. Hahaha.
Komplek pagoda ini sangat luas dan menyuguhkan pemandangan indah dari
ketinggian. Kawasan taman juga ditata sangat rapi dengan beragam bunga warna
warni serta sayur-sayuran seperti kol dan kubis yang terlihat sangat cantik.
Sangat indah, namun tetap saja, suhu dingin sangat terasa, apalagi saat naik ke
kawasan dekat pintu masuk pagoda.
Lanjut turun ke bawah untuk menuju air terjun. Berhubung terlalu
banyak, dan waktu sudah siang dengan perut yang lapar, kami memutuskan untuk
masuk ke satu air terjun saja yakni Mae Klang. Tapi sangat disayangkan,
ternyata masuk air terjun harus bayar lagi 100 baht per orang, akhirnya kami
membatalkan menuju air terjun, karena rencananya hanya sebentar saja menikmati
nuansa air terjun. Jadi, kami hanya duduk di dekat aliran sungai di luar
gerbang masuk air terjun, sembari mengganjal perut dengan roti, karena jarak
menuju tempat makan halal masih jauh.
Sekitar pukul 15:00, kami tiba di guest house untuk mandi dan
istirahat sejenak sebelum mencari tempat makan. Sayangnya, tubuh terasa lelah
dan rasa ingin makan masih kalah dibanding lelah. Alhasil keluar makan, hanya
untuk makan malam.
Malam ini, kami mencari makan di sekitar jalan Chang Klan. Kami
menemukan masjid dan bertanya pada orang didepannya yang tampaknya berbusana
muslim. Beliau memberikan informasi makanan halal, walaupun hanya dengan bahasa
isyarat. Akhirnya, kami menemukan rumah makan Bismilla di Chang Klan Rd dengan
banyak sekali menu dan kami memesan nasi goreng daging yang rasanya sangaat
enak. Hanya 40 baht saja, perut sudah terisi dengan lezatnya nasi goreng,
bahkan Budi sampai memesan 2 piring nasi goreng.
lanjut ke Part 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar