Blog ini dibuat untuk mendeskripsikan berbagai potensi yang ada di bumi ini. mulai dari panorama, seni budayanya, makanan khas, hingga adat istiadatnya.

Tujuan saya menulis blog ini, tak lain untuk membiasakan diri untuk sering menulis dan semoga tulisan ini bisa menjadi referensi bagi pembaca dan saya sendiri. Maka dari itu, saya berusaha merangkum kondisi tempat yang bagi saya menarik serta pengalaman saya mengunjungi suatu tempat.

Semoga berguna bagi kita semua. :)

Rabu, 24 Agustus 2016

Gunung Rinjani 3726 MDPL, Lombok (13 – 19 Agustus 2016)

“ Dulu, aku hanya bisa melihatmu dari jauh, kini aku bisa menjejakimu… lebih dekat”


17 Agustus 2016 yang jatuh pada hari Rabu, lebih akrab diingat sebagai hari peringatan kemerdekaan Indonesia, tapi sejak menjadi pekerja kantoran yang rutin dari Senin sampai Jumat harus mencari pundi-pundi rupiah, hari tersebut juga menjadi kesempatan untuk cuti dan melepaskan kepenatan suasana kantor.

Cuti di terima, saatnya kita berangkat. Kali ini Gunung Rinjani menjadi tujuan utama. Aku berangkat berdua bersama Kak Beben dari Jakarta dengan rencana pendakian 6 Hari 5 Malam, naik dari Jalur Sembalun dan turun dari Jalur Senaru. Lama pendakian mempengaruhi persediaan logistik dan tentunya bawaan yang berat menjadi salah satu kekhawatiran pendaki pemula sepertiku. Berbekal persiapan yang cukup matang, kami pun berangkat.


Sabtu, 13 Agustus 2016
Jakarta (CGK) – Lombok (LOP) – Basecamp Sembalun
Boarding Pass dengan penerbangan dari Bandara Soekarno Hatta menuju Bandara Internasional Lombok tertulis akan berangkat pukul 20.00 WIB dengan pesawat Lion Air JT-650. Selepas magrib, kami mulai bergerak menuju bandara karena jarak bandara dengan kos ku hanya sekitar 15 menit. Syukurlah tidak ada delay, hanya saja gate yang tertulis di boarding pass tidak sesuai dengan yang di umumkan, entahlah apa penyebabnya yang penting aku tiba di tujuan yang benar. Penerbangan selama 1 jam 55 menit ini aku isi dengan membaca majalah dan tidur hingga akhirnya pesawat landing pukul 22.55 WITA di Bandara Internasional Lombok. Terlihat banyak orang dengan setelan pendakian dan sudah terbayang dalam benakku bahwa akan sangat ramai pendaki di Gunung Rinjani nanti.


Bandara Internasional Lombok

Rencana awal, kami akan menginap terlebih dahulu di Rumah Singgah di Mataram. sayangnya saat dihubungi sebelum kami lepas landas, ternyata rumah singgah sedang di renovasi. Segera Kak Beben mengontak temannya yang di Mataram untuk mencari tumpangan. Sukurlah temannya siap menampung kami dan menurut instruksi, kami bisa naik Damri menuju Terminal Mandalika dan akan di jemput disana. Setiba di Bandara, kami pun membeli tiket Damri dengan tarif Rp. 25.000 per orang dengan tujuan Terminal Mandalika.

Setelah keluar dari gedung bandara, ada mobil travel yang menawarkan untuk mengantar sampai Sembalun dengan harga Rp 250.000 untuk 2 orang. Sebenarnya mobil ini sudah disewa untuk mengantar penumpang ke Pelabuhan Lombok namun karena hampir searah pak sopir juga menawari kami untuk ke Sembalun. Melihat kondisi mobil yang tidak penuh dan kami bisa tidur dahulu di mobil selama perjalanan, kami pun setuju dengan permintaan untuk nanti berhenti di mini market karena kami harus membeli gas terlebih dahulu. Sebelum berangkat, Kak Beben mengabari temannya tentang rencana baru kami. Perjalanan pun dimulai dan sempat berhenti dua kali di minimarket karena minimarket pertama kehabisan stok gas, mungkin karena banyaknya pendaki yang datang. Sekitar pukul 03.00 dini hari kami tiba di Basecamp Sembalun

Minggu, 14 Agustus 2016
Bagian dalam basecamp sudah dipenuhi pendaki yang tidur, bahkan di teras pun sudah banyak pendaki yang tidur dengan sleeping bag nya masing-masing. Syukurlah masih ada lapak untuk kami di dekat pintu basecamp, segera kami mengeluarkan sleeping bag untuk ikut meramaikan jejeran kepompong-kepompong di teras basecamp ini.

Belum lama rasanya aku tertidur, tapi waktu subuh telah datang, ada rasa malas yang akhirnya membuatku menunda solat Subuh setengah jam dari adzan padahal saat itu aku masih terjaga. Ada sebuah musholla disini yang berada di samping basecamp. Selepas solat, kami harus mulai bersiap karena basecamp akan segera di buka untuk registrasi para pendaki. Sebelum packing ulang barang, aku sempat membeli sarapan berupa nasi dengan lauk yang bisa dibilang seadanya. Nasi putih, ayam goreng dingin yang sangat sulit digigit dan sambal kentang. Harga satu porsi Rp. 10.000 dan sesaat sebelum mulai mendaki, kami sempat membeli nasi lagi di warung lainnya yang niatnya untuk dibawa naik sebagai makan siang. Harganya sama, tapi tiap warung punya menu berbeda.
Basecamp Sembalun
Saat registasi kami harus mengisi data diri serta list bawaan yang berpotensi sebagai sampah, khususnya kaleng dan plastik. Untuk tiket masuk, wisatawan domestik dikenakan tarif Rp 5000 per orang per hari. Untuk menuju start pendakian, bisa dengan langsung jalan kaki atau menggunakan mobil pick up terlebih dahulu. Tapi akan lebih baik menggunakan pick up yang bisa menghemat waktu karena jalan cukup sempit dan menanjak, apalagi jika ada pick up yang lewat, siap-siap terkena semburan debu karena kondisi jalanan memang sangat berdebu. Karena kami hanya bedua, akhirnya coba mencari pick up yang masih bisa memuat 2 orang lagi, akhirnya kami berbarengan dengan rombongan pendaki dari Surabaya dan Malang yang berjumlah 7 orang. Ongkos Pick up ini adalah Rp. 150.000 sekali jalan.

Basecamp Sembalun – Pos 1
Start pukul 09.00 WITA kami mulai mendaki. Setelah sempat berbincang-bincang, akhirnya kami naik berbarengan dengan mereka, walaupun saat semakin ke atas, tempo langkahku semakin melambat karena barang bawaan yang terasa semakin berat. Kami mempersilahkan mereka untuk lebih dulu jalan. Dari start awal pendakian menuju Pos 1 Sembalun memakan waktu sekitar 3 jam perjalanan. Sepanjang jalan, kami melewati padang savana yang panas dan jarang sekali ditemukan pohon untuk berteduh. Cuaca yang cerah benar-benar membuat keadaan menjadi sangat terik sehingga sangat tidak nyaman untuk beristirahat agak lama. Sekitar pukul 12 siang, kami tiba di Pos 1 yang berupa lapangan dengan sebuah pondok permanen dari beton yang cukup besar. Kami bertemu lagi dengan rombongan dan beristirahat bersama walaupun kemudian kami mempersilahkan mereka duluan. Menurut informasi, tidak ada sumber air di pos 1 ini. Tidak begitu lama kami istirahat, kami pun segera lanjut menuju Pos 2.

Suasana Pos 1
Pos 1 – Pos 2
Perjalanan dari Pos 1 menuju Pos 2 memakan waktu sekitar 1 jam. Jalur pendakian masih memiliki suasana yang sama yakni padang savana yang menanjak. Sebelum memasuki Pos 2, kami melewati jembatan yang di bawahnya merupakan sumber air. Air yang keluar tidak begitu deras karena berupa tetesan, sehingga perlu waktu cukup lama untuk mengisi penuh air. Dampaknya, antrian juga panjang karena saat itu pendaki yang datang sedang banyak-banyaknya. Kami bertemu lagi dengan ketujuh anggota rombongan tadi dan menyantap makan siang bersama di sini. Selepas makan, Kak Beben bergerak ke sumber air untuk mengisi air bersama beberapa anggota rombongan. Aku sempat tertidur karena rasa kantuk serta cuaca yang cukup mendukung karena mulai dingin oleh kabut.



Suasana Sekitar Pos 2

Cukup lama beristirahat di sini karena menunggu yang sedang mengambil air, bahkan saat aku terbangun, Kak Beben juga belum pulang dari mengambil air. Setelah cukup lama menanti, akhirnya yang di tunggu datang. Selepas solat Dzuhur, kami mulai mengepak barang lagi dan bersiap melanjutkan pendakian menuju Pos 3. Rencananya hari ini kami akan camp di sana.

Pos 2 – Pos 3
Start pukul 14.45 WITA, kami bergerak menuju Pos 3. Seperti biasa kami mempersilahkan mereka bertujuh terlebih dahulu karena dapat dipastikan gerakanku akan semakin lambat dengan barang bawaan yang bertambah berat karena persediaan air yang diperbanyak. Cuaca yang mulai sejuk serta jalur yang mulai lega karena tidak begitu ramai lagi, membuat tempo perjalanan mulai rapi. Istirahat hanya hitungan detik kemudian lanjut berjalan hingga akhirnya melewati Pos bayangan. Kami memutuskan lanjut untuk menuju Pos 3 yang di ujung untuk menghemat waktu.

Menuju Pos 3
Sebelum mendapat lokasi camp, kami bertemu dengan rombongan sebelumnya walaupun jumlahnya belum lengkap. Ternyata beberapa diantaranya tidur dulu di Pos Bayangan. Setelah diputuskan lokasi camp, kami pun mengambil lokasi yang sama dan segera mendirikan tenda. Kami tiba di lokasi camp sekitar pukul 17.00 WITA.


Camp Pos 3

Setelah mendirikan tenda, kami segera menunaikan Solat Ashar lalu kemudian berbagi tugas. Aku mulai masak untuk makan malam dan Kak Beben mengambil air. Sumber air berada cukup jauh dari lokasi tenda kami. Tepatnya berada di lembahan yang merupakan daerah aliran sungai yang telah mengering (kalimati). Untuk menuju kesana, kak beben harus kembali menuju pos bayangan kemudian menuruni tebing meniti jalan setapak zigzag yang cukup terjal. Setibanya dibawah, air juga tidak bisa langsung di dapatkan, melainkan harus menggali pasir terlebih dahulu hingga kedalaman 30 Cm. Sampai kedalaman tersebut air akan mulai keluar menggenangi lubang. Air yang menggenang tentunya masih kotor karena tercampur pasir hitam bekas galian sehingga harus menunggu beberapa saat dulu agar kotoran menggenang ke dasar. Kemudian air yang bersih mulai ditampung ke dalam jerigen kosong dengan menggunakan botol kecil sebagai gayungnya.

Senin, 15 Agustus 2016
Pos 3 – Pelawangan Sembalun
Pagi hari kami segera menyiapkan sarapan dan sesegera mungkin melanjutkan perjalanan menuju Pelawangan Sembalun. Hari ini kami akan melewati tempat yang disebut “Tujuh Bukit Penyesalan”. Sekitar pukul 10.00 WITA, kami sudah siap untuk melanjutkan perjalanan. Kami tetap membawa banyak persediaan air karena sepanjang jalan tidak ditemukan sumber air hingga tiba di Pelawangan nanti. Diantara bukit ini, ada sebuah shelter dengan satu bangunan permanen seperti di pos-pos sebelumnya.

Kalau kemarin jalurnya masih lumayan landai, kali ini kami harus mendaki 7 bukit yang menanjak dan lebih berdebu. Jalur juga masih panas karena jarang ditemukan pohon untuk berteduh.Tepat jika disebut bukit penyesalan, ketika sudah setengah jalan, pelawangan tetap saja masih jauh. Tetapi jika ingin turun, terlalu jauh perjalanan yang sudah dilalui dari kemarin, apalagi dari sini aku bisa melihat darimana aku sudah berjalan sejak kemarin. Tapi karena sudah di sini, menyesal ataupun tidak tetap harus aku lanjutkan, apalagi mau mikir turun sepertinya lebih melelahkan dan mengecewakan daripada naik terus.

Tujuh Bukit Penyesalan
Akhirnya menjelang sore sekitar pukul 17:00 WITA, kami tiba di Pelawangan Sembalun. Karena saat ini sedang ramai, sudah banyak sekali tenda berjejer bahkan kami sampai kesulitan mencari lokasi untuk mendirikan tenda. Hari sudah menuju gelap, mau tidak mau kami segera mendirikan tenda di lahan yang notabene miring. Biarlah pikirku, kami juga tidur hanya sebentar karena jam 1 dini hari sudah harus summit.


Pelawangan Sembalun

Setelah tenda berdiri, Kak Beben kembali mengambil air. Ternyata lokasi air juga sangat jauh sehingga sudah cukup lama menunggu, Kak Beben belum juga kembali. Barulah sekitar 1 jam ia datang dan kami mulai memasak makan malam. Selepas makan dan sholat Isya, kami langsung bersiap tidur untuk persiapan summit pukul 01.00 dini hari nanti.

Selasa, 16 Agustus 2016
Pelawangan Sembalun – Puncak Rinjani 3726 MDPL – Pelawangan Sembalun
Tepat pukul 01:00 WITA, alarm berbunyi tapi mata masih benar-benar mengantuk sehingga butuh memejamkan mata setengah jam lagi. Pukul 01:30 barulah kami mulai beranjak, bersiap dengan membawa bekal seperlunya. Pukul 02:00 WITA, kami memulai pendakian menuju Puncak Rinjani. Tantangan berat pertama adalah suhu yang teramat dingin serta angin yang cukup kencang. Sesekali merasa sesak karena supply oksigen yang mulai menurun. Semakin ke atas, pasir semakin tebal sehingga menyulitkan untuk berjalan karena terus-terusan merosot.

Jalur Awal Summit (diambil saat turun)
Menjelang subuh, mengantuk adalah salah satu tantangan selanjutnya. Ingin rasanya tertidur barang sebentar tetapi udara dingin yang menusuk membuat kami harus menahannya, paling tidak sampai matahari muncul untuk menghangatkan tubuh. Hari sudah terang, tetapi rasa ngantuk masih belum kunjung hilang hingga akhirnya kami memutuskan beristirahat sejenak di tepi jalur sebelum melanjutkan pendakian kembali.

Sunrise Menuju Puncak
Puncak sudah terlihat, tampaknya sudah dekat, tapi jalurnya semakin parah. Kami harus berjalan di jalur bebatuan kecil namun sangat tebal sehingga setiap melangkah harus kembali merosot lumayan jauh. Walaupun sudah membuat langkah yang panjang tapi jarak yang dibuat tidak seberapa. Terbesit rasa ingin menyerah namun keinginan yang sudah lama aku harapkan membuat aku terus memompa sisa semangat, apalagi ongkos ke sini mahal L. Hingga akhirnya tepat pukul 10:00 WITA, kami tiba di Puncak Rinjani yang sedari tadi  tampak dekat di mata jauh di kaki.

Jalur berbatu ke arah puncak
Kami berniat tidak begitu lama di puncak karena mengejar waktu menuju Segara Anak agar tidak kemalaman. Tetapi ada sedikit insiden HP yang nyelip sehingga menyita waktu sedikit lebih lama. Berkat HP nyelip, setidaknya jadi banyak yang kenal -_-


Puncak Rinjani 3726 mdpl

Skip. Pukul 10:45 WITA kami mulai bergerak turun sembari main perosot-perosotan dengan kaki. Sayangnya, perosotan ini tidak dapat dianggap mudah, merosot seperti ini ternyata sangat diperlukan kehati-hatian ekstra. Terpeleset dan kesulitan ngerem, menjadi salah satu kendala. Belum lagi matahari yang sudah mulai ganas, siap membuat kulit gosong dan terbakar. Akhirnya setelah melewati perjalanan merosot yang melelahkan, kami tiba di Pelawangan Sembalun lagi. Sebelum ke tenda, aku ikut kak beben mengambil air terlebih dahulu untuk bekal perjalanan menuju danau nantinya.

Ada dua tempat mengambil air yang lokasinya berdekatan. Sempat melihat bangunan berupa toilet, sayangnya tidak dilengkapi dengan pintu, jadi aku hanya mencuci muka dan bersih-bersih sekedarnya saja. Setelah mengisi persediaan air, kami tiba di tenda sekitar pukul 14:00 WITA. Niatnya kami akan bergerak ke Segara Anak pukul 15:00 WITA namun karena kondisi tubuh yang kurang stabil membuat kami harus beristirahat dahulu setelah makan siang.

Pelawangan Sembalun – Segara Anak
Pukul 16:30 WITA, kami baru memulai perjalanan ke Segara Anak. Di awal perjalanan atau mungkin bisa dikatakan sampai setengah perjalanan nanti, kami harus menuruni tebing bebatuan yang curam, sangat harus ekstra hati-hati melewati jalur ini karena salah sedikit dapat membuat cidera. Malam pun datang, kabut tebal mulai menyelimuti hingga membuat jarak pandang sangat terbatas. Suasana itu harus kami lalui dengan penerangan headlamp yang sangat menyedihkan karena jarak pandangnya yang sangat dekat tak mampu menembus kabut hingga Kak beben terpaksa menggunakan senter Handphone nya.

Terbesit kekhawatiranku dengan jalur yang kami lalui ini, apakah masih sesuai ataukah sudah melenceng terlalu jauh karena dalam setiap langkah kami harus meraba jalur akibat tertutup kabut. Namun semua itu terbantahkan karena kak beben meyakinkanku untuk terus berjalan mengikuti rute yang ada di GPS nya.

Dalam perjalanan malam itu, kami bertemu dengan pendaki yang berjalan tertatih-tatih sambil menggendong ranselnya seorang diri. Setelah mengobrol sejenak, diketahui ternyata ia tertinggal dari rombongannya yang sudah berada jauh di depan karena lututnya yang sakit, efek turun dari puncak ujarnya. Sebenarnya aku juga sering merasakan hal tersebut, sukurlah saat turun dari puncak, lututku masih aman dan sanggup untuk melanjutkan turun ke Segara Anak. Terbesit ingatan pengalamanku di Gunung Dempo waktu lalu (Baca: Gunung Dempo - Curup Maung, Edisi Langkah Kecil yang Bercerita), hingga akhirnya kami memutuskan untuk jalan beriring bertiga bersamanya.

Setelah beberapa jam berjalan, kakiku juga mulai bermasalah, tempo jalanku mulai melambat dan bisa dikatakan sama dengan pendaki yang kami temui ini. Sukurlah tak lama dari situ mulai masuk jalur perbukitan sehingga turunannya tidak seekstrim ketika menuruni tebing.

Dengan berjalan perlahan tapi pasti, akhirnya sekitar pukul 21:00 WITA, kami tiba di Segara Anak. Pendaki tersebut pun sudah bertemu dengan temannya yang menunggunya sedari tadi, sedangkan kami langsung mencari lokasi untuk mendirikan tenda. Lokasi tenda yang kami dapat juga kurang bagus karena lahan sudah dipenuhi oleh tenda-tenda lain. Akhirnya kami mendirikan tenda di dekat WC umum, setidaknya untuk malam ini saja karena besok mungkin akan hunting lokasi lain di sekitar danau.

Malam itu aku yang menjadi koki. Sempat kesal dengan nasi yang kumasak karena tak kunjung matang, bahkan aku hampir beberapa kali tertidur. Sampai detik ini aku belum tau penyebab nasi yang matangnya berjam-jam itu... errr. Selepas makan, kami langsung beristirahat karena tubuh sudah sangat lelah.

Rabu, 17 Agustus 2016
Segara Anak
Seperti biasa jika sedang berlibur, aku selalu terbangun di pagi hari dan tidak betah jika hanya tiduran saja. Segera aku membuka tenda dan menghirup udara segar. Dengan kaki yang agak pincang, aku berjalan menuju tepi danau. Benar-benar pagi yang indah. Danau terbentang luas berwarna kebiruan seperti tanpa cela, gunung baru jari yang berdiri dengan indah serta beragam aktivitas para pendaki mulai dari memancing, memasak dan lain sebagainya. Suhu dingin masih sangat terasa, kemudian suara pengeras suara mulai terdengar karena akan dimulainya upacara bendera di salah satu sisi danau ini. Peserta upacara mungkin para peserta dan panitia Tapak Rinjani IX karena keberangkatan kami berbarengan dengan kegiatan tersebut.

Segara Anak
Tak lama aku kembali ke tenda dan memaksa untuk segera membuat sarapan. Udara yang dingin benar-benar membuat tubuh membutuhkan asupan makanan, apalagi jika ditambah dengan kuah yang hangat. Sayangnya, persediaan air yang kurang untuk pagi ini memaksa kami untuk menuju sumber air terlebih dahulu. Kami bergerak menuju sumber air yang terletak cukup jauh dari bibir danau, melewati kawasan kolam air panas alami. Jalurnya tidak begitu curam, hanya saja efek kaki yang agak sakit membuatnya terasa lumayan sulit. Setibanya di sumber air, ternyata sudah ada beberapa orang yang mengantri, belum lagi sumber air hanya berupa kucuran air yang tidak begitu deras. Setelah hampir satu jam mengantri, barulah kami bisa kembali ke tenda dengan membawa persediaan air yang mungkin cukup untuk dua kali masak.


Suasana Sekitar Sumber Air

Segera kami menyiapkan sarapan dan setelahnya mencari lokasi camp baru yang lebih nyaman untuk hari ini. Kami mendapat lokasi baru yang tak jauh dari danau, setidaknya bisa mendapat view danau saat membuka tenda dibanding tempat sebelumnya yang hanya mendapat view WC umum tak terawat :/

Hari ini difokuskan untuk bersantai dan istirahat. Selepas menyeruput segelas kopi, Kak Beben mencoba mencari kail yang tidak terpakai di beberapa orang yang sedang memancing. Aku yang bosan menunggu di tenda, mulai berjalan ke arah berlawanan sambil melihat-lihat. Tak lama aku melihat dua orang wanita yang sedang berada di pinggir danau, aku mencoba membuka omongan basa-basi yang sebenarnya iseng cari teman. Ternyata mereka berdua dari Kalimantan bersama rombongan yang cukup ramai dengan guide orang lokal. Tak lama datanglah guide mereka yang ternyata sangat ramah. Kami berbagi cerita cukup lama dan sore nanti akan ke kolam air panas bersama. Akhirnya aku memutuskan kembali ke tenda  yang ternyata Kak Beben juga sedang menuju tenda sambil membawa kail yang telah ia dapatkan. Akhirnya, hari ini kami isi dengan kegiatan memancing walaupun kurang beruntung karena ikan yang didapat selalu ikan kecil dan tidak banyak. Tapi karena hari ini hari santai, tidak perlu target ikan yang penting menyenangkan.


Mancing

Sore hari, teman yang aku temui sebelumnya menyapa kami dan mengajak ke kolam, dengan segera kami akhiri sesi memancing dan bersiap menuju kolam air panas yang sudah kami lewati sebelumnya saat mengambil air.

Ada beberapa kolam alami di sini, ada yang suhunya sangat panas sampai yang suhunya sedang. Aku bergabung dengan rombongan wanita agar lebih nyaman. Karena kolam sangat ramai, kami sampai mendapat tempat yang berada di paling atas. Tapi setidaknya lebih nyaman karena agak tertutup. Kolam ini merupakan tempat yang harus dicoba ketika berada di Gunung Rinjani, tidak hanya menyenangkan tapi juga bisa menjadi obat pegal dan membuat rileks otot yang tegang setelah perjalanan menuju puncak kemarin. Setelah puas bermain, rombongan yang lain pulang ke tenda lebih dulu karena aku harus mencari Kak Beben di keramaian. Setelah ketemu, kami mulai berbagi tugas. Aku kembali ke tenda untuk memasak, sedangkan kak beben mengambil air untuk persediaan.

Setibanya di tenda, aku segera memasak nasi dan meminjam pemantik api dari tetangga sebelah karena lupa mengambil dari Kak Beben. Nasi sudah matang, Kak Beben belum juga kembali, hari pun mulai gelap. Aku lanjutkan dengan memasak air dan beberapa makanan yang bisa aku masak untuk mengisi waktu, tapi ia juga tak kunjung datang. Ku lihat headlamp semuanya lengkap di tenda yang berarti dia tidak membawa penerangan. Rasa khawatir mulai muncul dan berharap HP yang ia bawa baterainya masih cukup. Beberapa kali aku melihat keluar tenda dan terbesit rencana untuk menyusul. Tapi jika kulakukan, khawatir aku yang malah nyasar dan tidak sempat berpapasan di jalan sekiranya dia sudah berjalan menuju tenda. Akhirnya aku putuskan untuk menunggu saja di dekat tenda.

Selang beberapa menit, kekhawatiranku berakhir. Ia akhirnya datang bersama orang yang sempat kami temui saat memancing siang tadi. Ternyata antrian mengambil air, jauh lebih ramai dari pada pagi tadi. Karena air yang dimasak telah dingin kembali dan nasi yang tidak sehangat sebelumnya, kami panaskan sedikit lagi, barulah mulai menyantap makan malam. Suhu terasa sangat dingin, tapi terasa bosan jika harus langsung tidur. Kamipun menyempatkan berjalan ke tepi danau sambil melihat bulan yang bulat sempurna. Sayang, indahnya bulan masih kalah dengan dingin yang benar-benar menusuk. Segera kami kembali ke tenda dan terlelap dalam gulungan sleeping bag masing-masing.

Kamis, 18 Agustus 2016
Segara Anak – Pos 3 Senaru
Pagi yang indah sekali lagi. Indahnya segara anak kembali menyambut pandangan mata ketika keluar dari tenda. Sayang hari ini kami harus berkemas dan kembali ke Mataram karena berencana akan berjalan-jalan juga ke pantai dan tempat wisata lainnya. Target hari ini memang langsung turun lewat Jalur Senaru menuju RTC Senaru, tapi jika tidak memungkinkan, kami sudah menyiapkan rencana untuk stay 1 malam lagi di pos 3 Senaru. Selesai berkemas, sekitar pukul 11.30 WITA, kami mulai bergerak dan mulai mendaki lagi menuju Pelawangan Senaru.

Menuju Pelawangan Senaru
Kembali merasakan mendaki perlahan tapi konstan. Sebelum tiba di Pelawangan Senaru, kami harus menaiki tebing yang cukup curam dan menguras tenaga. Banyak bebatuan besar yang tersebar dan sesekali harus sedikit memanjatinya. Kondisinya mungkin agak mirip seperti jalur ke Segara Anak dari Pelawangan Sembalun kemarin. Pepohonan masih cukup banyak sehingga tidak terlalu panas hingga akhirnya, sekitar pukul 17.00, kami tiba di Pelawangan Senaru. Mirip seperti Pelawangan Sembalun tapi menurut saya terasa lebih gersang. Menurut informasi juga, di sini memang tidak ada sumber air. Kami istirahat sejenak dan Sholat Ashar terlebih dahulu sebelum melanjutkan perjalanan turun menuju Pos 3.


Add caption

Sekitar pukul 17.30, kami mulai bergerak turun. Medan yang dilalui berupa tanah debu berpasir dan berbatu-batu yang cukup tajam. Benar-benar jalur yang membuatku kesusahan karena khawatir terpeleset. Belum lagi jurang yang menganga jika sampai lepas kendali saat berjalan turun. Akhirnya, kami berjalan dengan sangat pelan dan saat hari menjelang magrib, kami duduk terlebih dahulu di tepi jalur untuk menyiapkan alat penerangan sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Kondisi jalur yang curam dan berpasir sangat tidak memungkinkan untuk menunaikan sholat magrib hingga akhirnya diputuskan untuk menjama’nya saat di Pos 3 nanti.

Berangsur-angsur hari mulai gelap dan jalanan masih sama berbahayanya. Hingga akhirnya kami berada di jalur yang pasirnya mulai agak lembab dan tidak begitu gembur seperti sebelumnya. Beberapa saat setelahnya, barulah kami masuk ke kawasan hutan. Jalanan mulai bersahabat dan langkah kaki sudah bisa stabil dan mulai cepat dari sebelumnya. Ketika memasuki kawasan hutan (Kawasan DEMPLOT), sepertinya aku melihat sesuatu yang berbau “mistis”, tapi untuk menjaga mental tetap aman, aku abaikan berpura tak melihat dan hanya fokus ke jalanan. Untunglah tidak ada gangguan yang berarti.

Sepanjang perjalanan selepas dari Pelawangan Senaru, kami benar-benar tidak bertemu satu orang pun, sehingga suasana sangat terasa mencekam. Saat memasuki kawasan hutan ini, kak beben tampak lebih sering melihat GPS dari biasanya. Setiap 10 meter melihat, begitu seterusnya.

Hal ini baru terjawab saat kami sudah berada di kota, rupanya ia merasakan hal yang serupa. Alasannya sering melihat GPS karena ingin tahu track record pergerakannya, apakah masih sesuai pada jalur atau melenceng atau bahkan mulai “berputar”, seperti yang pernah terjadi padanya beberapa tahun silam di Gunung Dempo.

Biasanya dalam kondisi seperti ini, kak beben punya trik tersendiri dalam mengatasi ketakutannya. Mencari logika yang masuk di akal dari kejadian yang dilihatnya. Kemudian menetapkannya sebagai suatu hal yang biasa. Entah bagaimana dia melakukannya, yang pasti selama bersamanya, semua seolah aman karena perhitungannya cukup masuk di akal.

Sayup-sayup terdengar suara manusia bercengkerama dan semangat mulai bangkit karena ternyata kami sudah hampir sampai di Pos 3. Ada satu tenda rombongan Bule di sini beserta porter yang mengiringi mereka. Kami disapa dengan hangat oleh si Bapak porter dan mempersilahkan kami membangun tenda di sekitar.

Rezeki memang tak kemana, setelah tenda kami dirikan, si Bapak datang ke tenda kami hendak meminta minyak goreng dan Kak Beben mencoba bertanya apakah ada sisa bawang dan tomat untuk membuat makan malam sarden kami agar lebih enak. Kak Beben pun ikut ke arah tempat mereka memasak dan tak hanya bawang dan tomat yang kami dapat, malah kami diajak makan bersama ke tempat si Bapak. Kami memakan masakannya yang ternyata benar-benar lezat (akhirnya menu si Bapak menjadi inspirasi untuk pendakian selanjutnya, kapan-kapan ya :p). Ayam goreng di suwir-suwir, kemudian dicampur sambal tumis dan hmmm, luar biasa. Ditambah pula telur dadar goreng, makan malam kali ini benar-benar terasa spesial. Tidak hanya makanan, kami juga disuguhkan minuman hangat sambil duduk di dekat api unggun yang mereka buat, benar-benar terasa seperti sedang di jamu. Malam mulai larut, kami pamit undur diri untuk beristirahat. Belum lagi udara yang terasa semakin dingin seolah membuat sleeping bag kami memanggil-manggil. Sebelum kembali ke tenda, kami juga mendapat bingkisan lauk ayam tadi yang belum termakan, lumayanlah buat sarapan besok... rejeki oh rejeki.

Jumat, 19 Agustus 2016
Pos 3 Senaru - Mataram
Rencana awal, kami akan bergerak jam 8 pagi. Sayangnya udara yang dingin membuat malas keluar terlalu pagi dan alhasil kami baru mulai bergerak turun pukul 9 pagi. Sangat terasa perbedaan Jalur senaru dan Jalur Sembalun, dimana di Jalur Senaru cukup banyak pepohonan dan terasa teduh. Dari sini, jalurnya sudah tidak terlalu curam dan cenderung landai sehingga membuat langkah kaki bisa lebih cepat. Kami bersitirahat singkat beberapa kali di Pos yang sempat kami lewati serta bertegur sapa dengan para pendaki yang akan naik karena kali ini tidak semencekam kemarin karena benar-benar tidak bertemu dengan siapapun kecuali sesuatu yang terindikasi sebagai tante.

Suasana Jalur Senaru
Sekitar pukul 1 siang kami tiba di Gerbang Senaru. Cukup kaget karena target waktu kami tercapai walaupun start perjalannya terlambat satu jam. Tujuan utama kami adalah warung! Gorengan dan Cocacola segera masuk ke perut, karena sudah merindukan santapan ini ketika di pendakian. Setelah istirahat dan sholat sekitar 1 jam, kami melanjutkan lagi perjalanan, karena kami belum sampai ke tujuan selanjutnya yakni POS RTC Senaru. Jalanan sudah di semen tapi tetap saja lumayan naik dan menurun melewati kebun dan perkampungan warga. Setelah sekitar setengah jam berjalan, kurang lebih pukul 14:30, kami tiba di Pos RTC senaru dan melapor.
Gerbang Pendakian Jalur Senaru
Kami memutuskan langsung ke Mataram dan ditawari naik Ojek dari sini menuju terminal Bayan. Semula ongkos hanya Rp 25.000/ motor, tapi setibanya di Bayan, kami mendapat informasi bahwa mobil engkel terakhir sudah berangkat dan baru ada lagi besok pagi. Kami mulai bingung apakah harus kembali ke Senaru lagi atau mencari tempat di sekitar terminal, namun Tukang Ojek kami sebelumnya menawarkan untuk menuju Terminal Tanjung karena biasanya masih ada mobil sampai malam. Setelah tawar menawar, akhirnya disepakati harga Rp 250000 untuk berdua menuju Terminal Tanjung. Benar-benar di luar perkiraan pengeluaran perjalanan ini. Perjalanan lumayan jauh dan efek lelah, membuatku merasa sangat mengantuk saat di motor namun diusahakan tetap terjaga agar tidak terjatuh. Entah berapa lama, akhirnya kami tiba di depan Terminal Tanjung dan menunggu di dekat warung pinggir jalan sambil menyantap mie instan. Mie sudah habis bahkan beberapa gorengan sudah di lahap, tapi belum ada satupun engkel yang datang. Tiba-tiba ada satu engkel yang datang tapi masuk ke terminal, kami kira dia akan berputar kembali menuju Mataram, sayangnya engkel tak kunjung keluar dari terminal sampai akhirnya kami mulai khawatir kalau hari ini kami tidak akan tiba di Mataram.

Tak berselang lama, aku melihat rombongan yang sebelumnya kami jumpai di Gunung Rinjani, salah satunya guide dari teman dari Kalimantan yang sempat aku ajak ngobrol-ngobrol di Segara Anak. Ternyata dia memberitahu bahwa tidak ada lagi engkel yang akan lewat jika sudah sore. Jika memang ingin ke Mataram, dia menyarankan naik ojek yang ia kenal untuk mengantar ke Pelabuhan Bangsal, yakni pelabuhan untuk menyebrang ke tiga gili, Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan. Sempat ditawari untuk menyebrang juga ke Gili Trawangan, tapi karena sebelumnya sudah pernah ke sana, kami meminta untuk mencarikan travel ke Mataram. Lagi pula, kami tidak akan sempat naik kapal terakhir ke Gili Trawangan karena saat kami tiba di sana, sudah hampir pukul setengah enam.

Setibanya di Bangsal, ojek yang mengantar kami mencarikan travel yang akan ke Mataram dan akhirnya dapat travel yang sebenarnya sedang tidak narik, tapi memang akan pulang ke arah Mataram. Tapi tetap saja ongkos terasa masih berat yakni Rp 150000 untuk kami berdua. Tapi tidak ada pilihan lain, ke Gili Trawangan pun sudah terlambat. Kami pun berangkat menuju Mataram dengan mobil ini.

Di Mataram, tujuan kami adalah Rumah teman Kak Beben yang sebelumnya sudah kami hubungi saat mendapati Rumah Singgah sedang di renovasi. Rumahnya berada di sekitar kawasan Cakranegara tidak jauh dari Taman Mayura. Tidak begitu sulit mencari rumahnya, kemudian kami segera di sambut tuan rumah dan mempersilahkan kami untuk istirahat dan makan malam.

Rasa puas dan lega akhirnya terasa kali ini, ketika mengingat sudah sejak lama aku mengidamkan bisa mendaki Gunung Rinjani dan mencapai puncaknya. Ternyata, ketidakyakinan serta batasan kemampuan selama pendakian adalah imajinasi yang sempat aku ciptakan. Ketika semangat memutus batasan kemampuan, sedikit demi sedikit harapan tercipta dan tujuan didapatkan.


Terimakasih Rinjani... Dimana segala usaha memiliki makna, dimana segala kesalahan memberi dampak J

Hari selanjutnya, kami berencana untuk berkeliling di sekitaran Kota Mataram. Tersisa dua hari lagi sebelum kami harus berangkat kembali ke Jakarta. Cerita selanjutnya berlanjut ke Wisata Mataram dan Pantai di Lombok Tengah


1 komentar: