Blog ini dibuat untuk mendeskripsikan berbagai potensi yang ada di bumi ini. mulai dari panorama, seni budayanya, makanan khas, hingga adat istiadatnya.

Tujuan saya menulis blog ini, tak lain untuk membiasakan diri untuk sering menulis dan semoga tulisan ini bisa menjadi referensi bagi pembaca dan saya sendiri. Maka dari itu, saya berusaha merangkum kondisi tempat yang bagi saya menarik serta pengalaman saya mengunjungi suatu tempat.

Semoga berguna bagi kita semua. :)

Kamis, 25 Agustus 2016

Wisata di Mataram dan Pantai di Lombok Tengah (20 – 22 Agustus 2016)


Tulisan kali ini merupakan catatan perjalananku, setelah turun dari pendakian di Gunung Rinjani (Baca: Gunung Rinjani 3726 MDPL). Setelah menyelesaikan pendakian, kami masih memiliki dua hari untuk menikmati sebagian dari indahnya pesona Pulau Lombok. Awalnya, kami berencana pergi bersama teman Kak Beben, sayangnya karena ada urusan lain, ia tidak bisa ikut bersama kami.

Sabtu, 20 Agustus 2016
Taman Narmada
Tujuan perjalanan kali ini adalah tempat wisata di sekitaran Mataram saja. Akhirnya kami memutuskan untuk ke Taman Narmada yang bisa kami tempuh menggunakan angkutan umum. Menurut informasi, kami bisa naik angkot dari Cakranegara menuju Terminal Mandalika, kemudian dilanjutkan dengan naik angkot yang melewati kawasan Taman Narmada. Ongkos per orangnya adalah Rp. 5000 rupiah.

Kami mulai naik angkot yang pertama dan meminta untuk turun di Terminal Mandalika. Pak supir angkot mulai bertanya-tanya tujuan kami selanjutnya dan sepintas seperti mengakrabkan diri. Kemudian dia menawari kami untuk langsung membawa kami ke Taman Narmada agar lebih cepat sampai karena menurutnya tidak begitu jauh dari Terminal Mandalika ini. Ada rasa tidak enak untuk menolak dari cara pengakrabannya ke kami, setibanya di Taman Narmada, kami bertanya berapa uang yang harus kami bayar, ia justru menjawab “wah terserah, ga enak saya masang tarif nanti kemahalan”, kami juga sempat bingung mau bayar berapa, akhirnya pak supir berkata “yaudah empat puluh ribu saja”. Wow. Karena sepanjang perjalanan ia tampak baik dan ramah, mau tidak mau kami pun membayar sejumlah yang ia sebutkan. Padahal jika kami ke terminal dulu, kami hanya perlu mengeluarkan ongkos Rp 20.000 saja. Yasudahlah, anggap saja pengalaman. Tidak semua yang tampak baik berakibat baik.

Karcis masuk ke Taman Narmada adalah Rp. 6000 per orang. Tempat ini terletak di Desa Lembuak, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat, atau kurang lebih sekitar 10 km dari Cakranegara. Kawasan seluas 2 Ha ini, merupakan kawasan cagar budaya yang dibangun pada tahun 1727 oleh Raja Mataram Lombok, Anak Agung Ngurah Karang Asem. Bentuknya merupakan replika dari Gunung Rinjani dan merupakan tempat peristirahatan Raja saat musim kemarau. Taman ini baru di buka untuk umum sejak dimulainya penjajahan Belanda.
Peta Kawasan Taman Narmada
Secara garis besar, taman ini dibagi menjadi dua kelompok bangunan yakni Kelompok Bangunan Sakral yang berada di sebelah Timur dan Kelompok Bangunan Profan yang berada di sebelah Barat. Kelompok Bangunan Sakral yang bisa kita jumpai adalah Pura Kelasa yang bisa di artikan sebagai tempat tertinggi, atau diumpamakan sebagai puncak dari Gunung Rinjani. Pura ini satu kesatuan dengan Telaga Ageng yang merupakan replika miniatur dari Danau Segara Anak. Telaga Ageng merupakan tempat pengganti upacara Pakelem yang dilaksanakan setiap purnama kelima tahun Caka (Sekitar bulan Oktober – November) oleh umat Hindu. Sebelumnya, upacara ini dilakukan di Segara Anak Gunung Rinjani, tetapi karena Sang Raja sudah tidak mampu lagi ke Gunung Rinjani, maka upacara tersebut dilaksanakan di Telaga Ageng. Upacara Pakelem atau disebut juga Upacara Meras Danu merupakan upacara yang dikaitkan dengan kesuburan dan turunnya hujan. Kami sempat mencoba menyentuh air yang mengalir menuju Telaga Ageng ini, selain sangat jernih, ternyata rasanya sangat segar dan menyejukkan. Selain Pura Kelasa dan Telaga Ageng, ada juga Bale Petirtaan/ Kelebutan dimana terdapat air awet muda. Air ini bersumber dari tiga mata air yakni mata air Suranadi, Lingsar dan Narmada. Sesuai namanya, air ini dipercaya bisa membuat orang menjadi awet muda. Sayang, kemarin tidak sempat mencoba melihat kedalamnya, karena tampak terkunci dan tidak ada yang menjaga.
Pura Kelasa dan Telaga Ageng
Kelompok bangunan berikutnya adalah Kelompok Bangunan Profan. Beberapa diantaranya adalah Bale Mukedas (Bale Agung), Bale Terang, Bale Loji dan Bale Tajuk (sudah tidak ada). Bale Mukedas dan Bale Loji merupakan tempat tinggal Raja dan istrinya. Bale Terang merupakan rumah panggung, dimana ketika duduk di sini, kita bisa melihat pemandangan luas dari Taman Narmada beserta Telaga Padmawangi di tengahnya. Telaga Padmawangi merupakan kolam tempat mandinya dayang-dayang istana dan dulunya tempat ini banyak ditumbuhi Bunga Padma/ Tunjung yang wangi. Selain itu, terdapat kolam lain di Halaman Jabalkap, berupa dua buah kolam kembar yang dulunya merupakan tempat mandi prajurit. Masih ada lagi kolam lainnya yang merupakan kolam renang untuk pengunjung. Dahulu, kolam tersebut merupakan tempat pemandian Raja. Beberapa tempat lain yang bisa anda kunjungi diantaranya adalah kantin, musholla, serta wahana permainan seperti Flying Fox.
Bale Loji dan Telaga Padmawangi
Setelah puas dan mulai lelah berkeliling taman ini, kami memutuskan untuk pulang. Karena teman Kak Beben belum pulang ke rumahnya, kami pun menghabiskan waktu untuk ngadem  di Mataram Mall. Dari Taman Narmada, kami memutuskan naik Taksi, ternyata ongkos yang harus kami keluarkan, sama saja dengan naik angkot sebelumnya, yakni Rp 40.000 juga. Setibanya di Mataram Mall, kami mulai bingung mau kemana, karena sejatinya, kita bukanlah anak Mall yang bahagia melihat barang-barang yang terpajang, tidak lain dan tidak bukan karena sayang duitnya. Akhirnya, kami menuju salah satu restoran fast food sembari menghabiskan waktu sampai teman Kak Beben pulang.

Malam harinya, kami pun mencoba mencicipi kuliner khas Mataram yakni Ayam Bakar Taliwang yang sangat terkenal itu. Selama ini, kami hanya makan Ayam Taliwang di Jakarta yang bentuknya seperti ayam bakar biasa tapi dengan bumbu yang sangat pedas. Saat berjumpa ayam taliwang sesungguhnya di Pulau ini, ternyata bentuknya berupa ayam kampung kecil, mungkin sekitar 3-5 bulan, sehingga mirip burung puyuh. Rasanya memang lebih enak, tetapi ternyata, harganya juga cukup mencengangkan, Rp 40.000 per porsi. Kami yang biasanya cuma makan ayam Taliwang-taliwangan seharga Rp 15000 per porsi plus gratis teh tawar, merasa sangat tercengang. Tapi setidaknya kami tidak melewatkan kesempatan mencicip kuliner khas daerah yang kami datangi. Jajan is a must!

Besoknya kami berencana akan mengunjungi Desa Sasak Sade serta beberapa pantai di Lombok Tengah. Mengingat kunjungan yang cukup banyak, akhirnya kami memutuskan untuk mencari sewa motor melalui informasi dari teman Kak Beben. Dengan biaya sewa Rp 80000, malam ini kami sudah bisa membawa motor yang bisa dikembalikan besok malam.

Minggu, 21 Agustus 2016
Rencana perjalan kami hari ini adalah Desa Sasak Sade – Pantai Kuta Lombok – Pantai Seger – Pantai Tanjung Ann – Pantai Mawun – Pantai Semeti – Pantai Selong Belanak. Sayangnya, ekspekstasi tidak berjalan sesuai realita. Kami bergerak lebih pagi sekitar pukul 8 agar sempat mengunjungi semua destinasi tersebut. Setelah memacu kendaraan berbekal googlemaps sepanjang 38 km perjalanan, akhirnya kami tiba di tujuan pertama kami, Desa Sasak Sade.

Desa Sasak Sade
“Kalau belum bisa menenun, anak gadis sini belum boleh kawin” – Bang Mahar, Guide Desa Sasak Sade.

Kalimat di atas merupakan kata-kata yang sangat teringat di pikiranku sebagai seorang wanita. Sebelum menikah, mereka harus memiliki kemampuan, sedangkan aku..huft. Entahlah, masak nasi di Segara Anak saja sampe emosi masih belum mateng juga :/
Desa Sasak Sade
Kembali ke cerita. Setibanya di depan Desa Sasak Sade, kami di sapa oleh Bang Mahar yang menjadi guide kami saat berada di sana.  Sade, merupakan salah satu Dusun di Desa Rembitan, Pujut, Lombok Tengah. Jika dari Praya menuju Kuta, lokasinya tepat berada di pinggir jalan Raya, di sebelah kiri Jalan. Anda bisa memarkir kendaraan di seberangnya. Walau berada tepat di pinggir jalan yang sudah mulus beraspal, desa ini masih mempertahankan bentuk perkampungan khas suku asli Lombok, Suku Sasak.
Gerbang Desa Sade
Saat pertama memasuki Desa Sade ini, sedang ada acara yang sayangnya lupa kami tanyakan karena langsung masuk ke bagian dalam desa. Kami langsung melewati jalan di dalam desa yang cukup sempit karena jarak antar bangunan berdekatan. Jumlah rumah di Desa ini hanya diperbolehkan ada 150 saja dan setiap rumah hanya ada satu kepala keluarga.
Di dalam Desa Sade
Setiap bangunan memiliki atap yang terbuat dari daun alang-alang yang biasanya dilakukan pergantian setiap 7-8 tahun sekali. Selain itu, rumah di desa ini memiliki pintu depan yang dibuat lebih rendah sehingga harus menunduk saat memasukinya. Hal ini merupakan bentuk hormat/sopan kepada pemilik rumah. Lantai dan pondasi rumah pun tidak dibuat dengan semen melainkan dengan campuran tanah liat dan sekam padi. Saat kami datang ke sana, dari semua rumah di Desa Sade, hanya dua diantaranya yang sudah menggunakan semen. Cara membersihkan lantai pun cukup unik, karena mereka mengepel lantainya menggunakan kotoran sapi setiap dua kali dalam seminggu (satu kali seminggu untuk lantai yang sudah terbuat dari semen) dan ternyata cara tersebut justru mampu membuat pondasi dan lantai menjadi semakin kuat. Hebatnya, tidak tercium bau kotoran sapi di desa ini bahkan di dalam rumah tak tercium sedikitpun. Terbukti saat kami sempat masuk ke salah satu rumah di desa ini. Rumah yang sempat kami masuki merupakan rumah tertua di desa ini yang telah ditempati oleh 15 generasi.  

Susunan denah rumah saat kami memasukinya terbagi menjadi bagian depan (Bale Tani) serta bagian belakang yang posisinya lebih ke atas atau disebut juga Bale Dalam. Di bagian depan/ bawah merupakan tempat menerima tamu sekaligus tempat tidur bagi anak laki-laki serta orang tuanya. Sedangkan bagian atas/ Bale Dalam terbagi lagi menjadi dua ruangan yakni kamar untuk anak gadis dan ruangan sebelahnya adalah dapur. Bale dalam juga menjadi tempat untuk melahirkan nantinya, sehingga persalinan biasanya dibantu oleh dukun beranak yang datang ke rumah. Tetapi dalam kondisi tertentu apabila dukun tidak mampu untuk menanganinya, barulah di bawa ke Rumah Sakit.
Bale Depan dan Bale Dalam
Setelah keluar dari rumah, kami juga ditunjukkan alat untuk menenun kain serta beberapa hasil tenunan yang bisa dibeli sebagai cinderamata. Alat tenun menggunakan peralatan tradisional dan bahan yang digunakan adalah benang kapas/katun yang diwarnai dengan pewarna alami dari tumbuh-tumbuhan. Pengunjung diperbolehkan untuk mencoba alat tenun ini, aku sempat mencoba sayangnya alatnya sedang ada kerusakan jadi hanya melihat sedikit cara kerja dan cara memakainya saja. Sebagai informasi, sejak umur 8-9 tahun, anak gadis di desa ini sudah diajari cara menenun kain karena, seperti ucapan Bang Mahar yang telah saya tulis sebelumnya, anak gadis di sini belum boleh menikah apabila belum bisa menenun. Biasanya anak perempuan menikah sekitar umur 15-16 tahun sedangkan laki-laki mulai umur 13-18 tahun.

Bicara soal pernikahan, adatnya juga cukup unik. Dimana sebelum menikahi perempuan sini, lelakinya harus membawa lari (merari) perempuan tersebut keluar desa untuk bermalam di rumah saudara/kerabatnya. Merari tidak boleh ketahuan karena akan dikejar oleh keluarga perempuan dan apabila tertangkap, maka perkawinan tidak akan dilaksanakan. Meminang dengan cara melamar seperti pada umumnya merupakan tindakan yang dianggap tidak menghormati keluarga perempuan. Menurut peraturan, anak gadis sasak tidak diperbolehkan keluar setelah waktu sholat Isya, sehingga jika keluarga tidak mendapati anak perempuannya di rumah pada malam hari, keluarga akan melaporkan penculikkan anaknya pada kepala dusun. Keesokan harinya, laki-laki tersebut harus memberitahu keluarga perempuan melalui keluarganya atau kepala dusun bahwa ia telah melarikan anak gadis tersebut. Barulah setelahnya, mereka harus dinikahkan setelah melalui berbagai tahapan yakni selebar, mesejati serta pembahasan uang pisuka (jaminan) dan mahar yang dilakukan dalam proses mbait wali. Ketiga proses tersebut bisa berlangsung selama tiga hari kemudian baru bisa dilakukan perkawinan secara islam yakni Ijab Qabul. Terakhir, rangkaian proses pernikahan ditutup dengan proses nyongkolan yakni mengiring kedua pengantin menuju rumah orang tua mempelai perempuan. Setelah menikah, mereka bisa tinggal sementara di Bale Kodong. Rumah kecil ini bisa mereka gunakan sebagai tempat berbulan madu serta tempat tinggal sementara sebelum pindah ke rumah yang lebih besar.

Setelah cukup berkeliling di dalam Desa, kami mulai melaju ke tujuan kami selanjutnya yakni mengunjungi Pantai-pantai di Lombok Tengah. Sayangnya, tak semua berhasil kami kunjungi sehingga hanya empat pantai yang kami datangi.

Pantai Kuta Lombok
Pantai ini menjadi kunjungan pertama kami karena paling dekat dari Desa Sade dengan jarak tempuh sekitar 7 km. Setibanya di Pantai Kuta, kami memutuskan untuk duduk bersantai saja menikmati suara dan aroma lautan. Di sekitar pantai ada banyak pepohonan sehingga cukup nyaman untuk bersantai. Entah apa yang membuat kami berpikir bahwa ke laut tanpa berenang juga asik, sehingga kami tidak membawa pakaian ganti. Sembari bersantai ada beberapa anak-anak dan ibu-ibu yang menjajakan jualannya berupa kerajinan dengan sentuhan khas Pulau Lombok.
Pantai Kuta Lombok
Untuk masuk pantai ini mungkin tidak dikenakan biaya tapi hanya membayar parkir Rp 5000 rupiah untuk motor. Setelah sekitar setengah jam bersantai di sini, kami bergerak menuju tujuan selanjutnya yakni Pantai Seger.

Pantai Seger
Lokasi Pantai Seger hanya berjarak sekitar 4 km saja dari Pantai Kuta. Lokasinya tidak begitu dekat dengan jalan Raya seperti Pantai Kuta, tetapi anda akan disambut pemandangan perbukitan dengan tulisan Pantai Seger dengan cat putih di salah satu bagian bukitnya. Ada banyak pondok kecil di pinggir pantai yang menjual berbagai makanan dan minuman. Untuk menambah koleksi foto, pantai ini juga memiliki dua buah ayunan sederhana namun cantik untuk menghias foto. Ayunan pertama berada di sekitar bibir pantai, sedangkan untuk ayunan kedua harus rela basah-basahan agar bisa menaikinya. Masuk pantai ini, kami juga membayar uang parkir Rp 3000 saja. Kami juga tidak begitu lama di pantai ini, kemudian kami lanjutkan kembali menuju Pantai Tanjung Ann
Pantai Seger
Pantai Tanjung Ann
Kembali melanjutkan kunjungan pantai. Sekitar 4  km dari Pantai Seger, kamipun tiba di Pantai Tanjung Ann. Mungkin karena kepopulerannya, pantai ini lebih ramai daripada pantai-pantai sebelumnya. Selain itu, dari sini juga bisa menyewa perahu nelayan untuk ke bukit-bukit di sekitar Tanjung Ann dan ke Pantai Batu Payung. Berhubung penghematan, kami urungkan niat naik perahu ini. Tidak begitu lama kami di sini, kemudian kami melanjutkan kunjungan ke Pantai Mawun.
Pantai Tanjung Ann
Pantai Mawun
Dari Pantai Tanjung Ann menuju Pantai Mawun memiliki jarak yang cukup jauh, karena kami harus kembali ke rute awal dan melewati Pantai Kuta lagi. Jarak dari Tanjung Ann kurang lebih sekitar 17 km, sedangkan dari Pantai Kuta sekitar 9 km. Cukup jauh dan jalannya juga menanjak serta menurun. Namun, pemandangan selama perjalanan memang sangat memanjakan mata. Setelah beberapa saat di jalan, akhirnya kami tiba di Pantai Mawun. Pantai ini memiliki ombak yang cukup tenang, bibir pantai yang luas dan panjang serta terlihat seperti diapit oleh dua bukit karena berupa teluk. Hal ini juga yang membuat ombak lebih tenang di pantai ini. Pantai ini lumayan ramai, tapi karena cukup luas, kami masih bisa mencari tempat untuk bersantai di bawah pepohonan sambil menikmati hembusan angin. Cukup lama kami bersantai di sini, mungkin karena pemandangannya yang indah atau mungkin juga karena sudah cukup lelah oleh perjalanan yang cukup panjang. Setelah dipikir-pikir, sepertinya kami mengurungkan menuju pantai selanjutnya yakni Pantai Semeti dan Pantai Selong Belanak. Sehingga, setelah dari sini, kami akan segera pulang ke Mataram.
Pantai Mawun
Taman Mayura, Mataram
Sekitar pukul setengah 3, kami sudah tiba lagi di Mataram. Karena teman Kak Beben baru pulang sorenya, kami pun memutuskan untuk ke Taman Mayura yang berada di Kelurahan Cakranegara Timur. Tepatnya berada di pertigaan Jalan Purbasari dan Jalan Selaparang. Gerbang masuknya berada di Jalan Purbasari. Ketika pertama masuk, kami dipersilahkan untuk menulis buku tamu kemudian di suruh memakai selendang berwarna kuning yang diikatkan ke pinggang. Tiket masuk per orangnya adalah Rp. 10000.
Taman Mayura
Taman ini dibangun oleh Raja Anak Agung Ngurah Karangasem sekitar tahun 1744 dengan nama awalnya disebut Taman Kelepug. Sayangnya, banyak masyarakat yang khawatir saat beribadah di pura ini dikarenakan ada banyak ular yang menghuni taman pada saat itu. akhirnya didatangkanlah burung merak untuk mengusir ular-ular, sehingga nama tamanpun berubah menjadi Taman Mayura karena dalam bahasa sanskerta, Mayura adalah Burung Merak.

Taman ini terbagi menjadi dua area yakni area taman dan area pura. Oleh karena itu pengunjung harus menggunakan selendang yang diikatkan di pinggang ini, karena ketika berada di kawasan suci, diharapkan dapat mengikat niat ataupun segala hal yang kurang baik. Di area taman terdapat sebuah kolam besar dan ditengahnya terdapat sebuah bangunan yang disebut dengan Bale Kambang. Dari pinggir kolam menuju Bale Kambang, terdapat sebuah gerbang dan didalamnya terbentang jalan lurus setapak menuju tempat tersebut.
Area Taman Mayura
Kunjungan kami lanjutkan ke area pura atau di sebut juga Komplek Pura Jagatnatha Mayura. Terdapat empat buah pura utama di sini yakni Pura Gedong, Pura Padmasana, Pura Gunung Rinjani dan Pura Ngelurah. Tidak banyak orang di area pura tersebut sehingga kamipun tidak berlama-lama dan kembali ke area taman untuk bersantai menikmati sore.
Area Pura Taman Mayura
Perjalanan selesai, kamipun segera pulang untuk bersiap keberangkatan kembali ke Ibukota esok hari dikarenakan besok kami menaiki penerbangan yang pertama.

Senin, 22 Agustus 2016
Sekitar pukul 04:00 WITA kami sudah siap dan segera berangkat menuju Bandara Internasional Lombok untuk penerbangan menuju Jakarta pukul 06:00 WITA. Beruntung adanya perbedaan waktu, sehingga walaupun menempuh dua jam perjalanan, setibanya di Jakarta masih pukul 7 pagi. Selain itu jarak bandara dan kosan yang dekat memungkinkan untuk istrahat sejenak kemudian langsung kembali bekerja dan bergelut dengan rutinitas.

Terima kasih Lombok... untuk 10 hari yang luar biasa



1 komentar: