Blog ini dibuat untuk mendeskripsikan berbagai potensi yang ada di bumi ini. mulai dari panorama, seni budayanya, makanan khas, hingga adat istiadatnya.

Tujuan saya menulis blog ini, tak lain untuk membiasakan diri untuk sering menulis dan semoga tulisan ini bisa menjadi referensi bagi pembaca dan saya sendiri. Maka dari itu, saya berusaha merangkum kondisi tempat yang bagi saya menarik serta pengalaman saya mengunjungi suatu tempat.

Semoga berguna bagi kita semua. :)

Jumat, 07 Agustus 2015

Gunung Papandayan, Garut, Jawa Barat (31 Juli - 2 Agustus 2015)

Gunung Papandayan merupakan sebuah gunung berapi aktif dengan tipe Strato-volcano dengan ketinggian puncak 2665 mdpl. Gunung ini terletak di Kecamatan Cisurupan, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Pendakian ke gunung ini merupakan salah satu rencana yang muncul saat sudah berada di Jakarta (baca : City Tour Jakarta : Kebun Binatang Ragunan dan Taman Mini Indonesia Indah (30 Juli 2015)). Setelah urusan di Jakarta selesai, Jumat, 31 Juli 2015, aku ikut mendaki Gunung Papandayan di Garut bersama rombongan dari Kaskus OANC.


Malam hari setelah lelah berdiri, menunggu dan berdesak-desakan di busway, akhirnya sekitar pukul setengah 11 aku dan Kak Beben tiba di Terminal Kampung Rambutan untuk menemui teman-teman yang lain. Ternyata masih banyak yang belum datang. Barulah sekitar pukul setengah 12 malam, kami bergerak menuju  Terminal Guntur di Garut menggunakan bis ekonomi non-AC dengan harga tiket Rp. 25000 per orang. Di bus, aku berkenalan dengan salah satu anggota rombongan yang cewek, yaitu Mba Sachi, yang kemudian jadi teman ngobrol saat di gunung. Karena mata mulai mengantuk, selama di perjalanan hanya diisi dengan tertidur walaupun sesekali terpaksa terbangun untuk berkipas karena di dalam bis terasa sangat panas ketika terjadi kemacetan.

1 Agustus 2015
Subuh sekitar pukul 5 pagi, kami tiba di Terminal Guntur untuk beristirahat sejenak serta menjalankan sholat Subuh. Sekitar pukul 6, barulah kami bergerak menuju Cisurupan dengan angkot. Satu orang dikenakan ongkos Rp. 20000 dan harus rela bersempit-sempitan selama hampir satu jam di dalam angkot.

Setiba di Cisurupan kami membeli sarapan serta beberapa bekal makanan, cemilan, cepuluh dan cebelas. Setelahnya kami lanjutkan dengan naik pick up ke Area Publik Gunung Papandayan atau di dekat camp david. Sekitar 30 menit, kami pun tiba dengan ongkos perorangnya Rp 20000. Di gerbang masuk, seorang perwakilan dari kami diharuskan mengurus perijinan, dan setelah selesai barulah kami bisa masuk ke kawasan Gunung Papandayan ini. 

Sebelum mendaki, terlebih dahulu kami sarapan di warung sekitar dan bersantai-santai sejenak. Ada begitu banyak pendaki kali ini, dan tampaknya Pondok Saladah (camp ground di Papandayan) akan sangat penuh.

Kurang lebih jam 10 pagi, kami baru bergerak untuk melakukan pendakian. Di awal perjalanan, kami melewati area kawah luas, yang menyemburkan gas belerangnya. Bau terasa cukup menyengat ketika arah angin bergerak ke arah kami ditambah pula dengan cuaca yang terasa benar-benar panas.

Kawah Papandayan

Kami melangkah perlahan dengan santai dan akhirnya kami tiba di sebuah dataran landai serta sedikit teduh dengan adanya tanaman-tanaman perdu untuk berteduh. Di sini juga bisa ditemui warung jika ingin mencari makanan untuk mengisi perut. Cukup lama kami beristirahat di sini, bahkan aku sempat tertidur dan ketika sedang terbuai mimpi, tiba-tiba aku dibangunkan karena kami harus melanjutkan perjalanan.

Jalur selanjutnya memang cukup teduh walaupun tidak terlalu banyak pepohonan, namun jalur yang berdebu membuat setiap langkah kami, menebarkan debu untuk teman yang berjalan di belakang. Belum lagi jalur ini sering dilewati oleh motor trail baik oleh pedagang yang membawa dagangan ataupun wisatawan, yang membuat debu di jalur semakin beterbangan.

Jalur Berdebu
Tidak lama, kami tiba di Lawang Angin yang suasananya lebih sejuk. Tepat setelah melintasi belokan Lawang Angin, kami berjumpa dengan tukang Cilok Ikan Tuna... ya, anggap saja benar-benar tuna. Tukang cilok pun laris manis diserbu pembeli, karena memang baru kali ini aku mencicip cilok yang rasanya cukup enak.
Lawang Angin dan Cilok Ikan "Tuna"

Berjalan sedikit dari Lawang Angin, ternyata merupakan Pos 2. Di sini terdapat pos pendataan ulang pendaki serta beberapa warung yang ternyata menjawab keinginanku... Es Kelapa! Segera aku pesan segelas plastik es kelapa seharga Rp 5000. Sambil melanjutkan perjalanan ke Pondok Saladah, ku habiskan sedikit demi sedikit es tersebut, dan gelasnya ku simpan sebagai cadangan gelas saat di camp nantinya. Alasan lain kusimpan juga agar tidak nyampah sembarangan di area gunung ini.

Pos 2

Tak terasa, kami pun tiba di sebuah pelataran luas yang telah berdiri ratusan tenda! Ya, inilah Pondok Saladah yang saat itu ramainya luar biasa. Kami akhirnya mendapatkan lapak untuk mendirikan tenda di ujung dan jauh dari sumber air. Selepas mendirikan tenda, kami beristirahat dan bahkan ada yang benar-benar tidur. Pondok Saladah merupakan lokasi yang umumnya digunakan para pendaki untuk mendirikan tenda. Kawasan ini berupa padang rumput seluas kurang lebih 8 hektar dengan ketinggian sekitar 2288 mdpl. Saat ini, di Pondok Saladah bisa dijumpai beberapa warung semi permanen yang menjual aneka makanan seperti nasi goreng, nasi kuning, gorengan, mie instan, serta minuman hangat.
Pondok Saladah

Selagi yang lain beristirahat, aku dan Mba Sachi, mengambil air sekaligus berwudhu. Lumayan sulit mengambil air yang hanya didapat dari selang yang dilubangi, belum lagi ada banyak pendaki yang mengantri untuk mengambil air juga.

Sore harinya, saat akan mengambil wudhu lagi, kami baru tau jika di Pondok Saladah ada toilet umum, tempat wudhu sekaligus tempat mengambil air, bahkan musholla! yang kami tau, hanya warung makannya yang sudah sangat banyak di atas sini. Untuk tempat wudhu dan musholla memang tidak begitu mengantri sehingga beberapa kali aku gunakan fasilitasnya. Tapi jika ingin mengantri toilet, siapkan waktu kurang lebih 1-2 jam karena antriannya luarrrr biasa panjang. Aku yang tidak suka mengantri, mulai membuat anggapan sendiri.. "anggap saja gunung ini tidak ada toilet".

Menjelang malam, hari mulai dingin, entah ditenda mana aku ditempatkan, bahkan sleeping bag pun aku tak ada. Sebelumnya, sudah sempat menitip dengan salah satu anggota di rombongan, tapi ternyata sleeping bagnya tidak ada. Akhirnya, setelah anu dan inu, ada pula tenda yang sudi menampung untuk bernaung di malam yang dingin ini :( bahkan sleeping bag pun di pinjamkan oleh empunya tenda :(

Malam mulai gelap, teman-teman yang cewek sudah berada di tenda masing-masing, padahal sangat ingin aku duduk bersantai di luar tenda, melawan dingin dengan bercanda. Terpaksa aku mencoba tidur dalam bosan di dalam tenda sendiri, sedangkan beberapa teman laki-laki yang lain, sedang berada di luar tenda mengobrol.

Syukurlah, ketika bosan dan kedinginan sudah melanda cukup parah, Kak Beben datang dan mengajak berjalan-jalan di sekitar Pondok Salada. Kami akhirnya melipir ke warung yang menjual cilok. Sayang, cilok yang kali ini tidak seenak cilok di Lawang Angin.

Suasana di warung lebih hangat daripada di ujung tempat tenda kami berdiri. Agar bisa sedikit lebih lama, kami memesan mie kuah serta gorengan. Puas mengobrol dan menyantap jajanan, akhirnya kami kembali ke tenda dan tidur.

2 Agustus 2015
Pagi-pagi sekali aku sudah terbangun untuk solat subuh. Suhu masih terasa sangat dingin, namun masih bisa ditahan untuk terkena air. Usai solat dan mengambil air, kami mulai menanti sesi sarapan sambil bersantai. Rencana, kami akan turun pukul 9 pagi, tapi kenyataannya kami baru beres-beres pukul 9 lewat.
Sarapan

Sebenarnya ada rasa ingin menuju Tegal Alun, karena kapan lagi bisa mampir ke gunung ini. Tetapi tidak ada yang ingin kesana, karena jalurnya yang curam dan cukup jauh. Akhirnya dengan terpaksa kuurungan niatku dengan membahagiakan diri sendiri, toh edelweis juga ada di Pondok Salada. Perjalanan turun awalnya akan melewati hutan mati, tetapi karena khawatir tidak diperbolehkan lewat sana saat turun, hutan mati pun tidak aku lewati. Ada rasa kecewa, tapi...ya sudahlah.
Kiri : Edelweiss Pondok Salada ; Kanan : Hutan Mati Dari Kejauhan

Sepanjang perjalanan turun, diisi dengan ngobrol serta ajang foto-foto. Ya, setidaknya tegal alun dan hutan mati lewat, tapi ada beberapa titik menarik yang bisa aku abadikan di kamera. Aku dan Mba Sachi sempat mencoba jalan yang lain, dan ternyata cukup curam serta mudah merosot karena debu yang tebal. Walau lebih dekat, kami tidak bisa berjalan cepat, sehingga waktu tempuh dengan jalur yang biasa tidak jauh berbeda.

Siang sekitar pukul setengah 2 siang kami tiba di kawasan publik Papandayan. Setelah puas makan dan  bersantai, barulah kami bergerak kembali ke Cisurupan dengan mobil pick up. Tiba di Cisurupan, kami langsung disambut angkot yang akan mengantar kami ke Terminal Guntur. Lagi-lagi, kami harus berdesak-desakkan di dalam angkot, dan parahnya, perjalanan pulang diwarnai macet parah karena ada perbaikan jembatan. Tepat adzan maghrib, kami baru tiba di Terminal Guntur. Usai membeli makanan untuk di jalan, akhirnya kami segera naik bis menuju terminal Rambutan.

Jalanan kembali macet, dan akhirnya kami baru tiba di Terminal Kampung Rambutan pada pukul setengah 1 dini hari. Kami berencana untuk langsung lanjut ke Palembang dengan naik bus ke Pelabuhan Merak.

Walaupun belum begiu puas melihat alam Papandayan, setidaknya ada cerita baru serta teman-teman baru yang aku dapat. Selain itu, Papandayan adalah gunung pertama di Pulau Jawa yang pernah aku datangi serta pertama kalinya aku melihat bunga edelweiss secara langsung di tempat yang semestinya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar