Blog ini dibuat untuk mendeskripsikan berbagai potensi yang ada di bumi ini. mulai dari panorama, seni budayanya, makanan khas, hingga adat istiadatnya.

Tujuan saya menulis blog ini, tak lain untuk membiasakan diri untuk sering menulis dan semoga tulisan ini bisa menjadi referensi bagi pembaca dan saya sendiri. Maka dari itu, saya berusaha merangkum kondisi tempat yang bagi saya menarik serta pengalaman saya mengunjungi suatu tempat.

Semoga berguna bagi kita semua. :)

Senin, 08 Februari 2016

Gunung Munara, Bogor, Jawa Barat (6 – 7 Februari 2016)

Gunung Munara terletak di Desa Kampung Sawah, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Letaknya tidak jauh dari Jakarta sehingga menjadi salah satu alterrnatif wisata bagi masyarakat di sekitar Jakarta, Tangerang maupun Bogor. Gunung ini cukup banyak dikunjungi wisatawan ataupun pendaki pada hari libur khususnya pada awal tahun ketika banyak gunung yang sedang ditutup untuk pendakian. Gunung ini sebenarnya merupakan bukit yang memiliki ketinggian sekitar 1119 MDPL. Di kawasan ini, tak hanya bisa menikmati keindahan wisata alam, tetapi juga wisata sejarah dan budaya dengan adanya situs-situs yang bisa dilihat ketika melakukan perjalanan menuju puncak gunung ini.


Perjalanan ke Gunung Munara, kami lakukan pada tanggal 6 – 7 Februari bertepatan dengan long weekend karena libur imlek pada hari seninnya. Aku berangkat bersama seorang partner, He is Kak Beben. Tujuan ke gunung ini sebenarnya juga sangat mendadak karena awalnya aku dan Kak Beben hanya akan ke Cibodas untuk camping di Mandalawangi Camping Ground sambil berwisata ke Curug Cibereum dan Kebun Raya Cibodas, oleh karena itu, kami bergerak menuju Bogor terebih dahulu, padahal seharusnya ke Gunung Munara justru lebih jauh jika harus ke Bogor dulu dari Jakarta.

Sabtu, 6 Februari 2016
Rencananya kami akan berangkat pagi hari dari Jakarta untuk naik kereta ke Bogor, tetapi karena sesuatu dan lain hal, akhirnya perjalanan pun baru di mulai pukul 11 siang start dari Stasiun Rawa Buaya menuju Stasiun Bogor. Sebelumnya kami harus transit dulu di Duri mungkin sekitar 15 menit saja. Setibanya di Duri, kami harus menunggu lagi kereta dengan tujuan Bogor. Sekitar pukul 12 siang, barulah kereta datang dan membawa kami menuju Stasiun Bogor. Ini pertama kalinya saya mencoba naik KRL, dan ternyata semakin lama kondisi kereta makin sempit, ditambah dengan berdiri hampir sepanjang perjalanan.

Sekitar pukul 3 sore, akhirnya kereta tiba di Bogor, setelah menyempatkan Sholat Dzuhur dan Ashar, kami lekas mencari tempat makan, karena belum sempat makan siang. Kami memilih rumah makan padang di sebrang stasiun berharap harganya tidak begitu mahal dan perut kenyang. Ternyata, kami harus membayar pas 50 ribu untuk dua porsi nasi ayam dan 2 es teh. Cukup sadis untuk sekelas warung makan seperti ini.

Selama di dalam kereta terjadi diskusi rencana B dapat dipastikan kami tiba di Bogor sudah sore, akhirnya kami sepakat untuk ke Gunung Munara saja dan itu artinya kami harus menuju Pasar Parung  terlebih dahulu menggunakan angkot. Setelah bertanya ke tukang nasi Padang, kami di sarankan naik becak dulu ke dekat simpang SPBG untuk naik angkot 06 menuju Parung. Perjalan ke Parung memakan waktu sekitar 1 jam sambil melawan kemacetan kota Bogor. Untungnya angkot yang kami naiki memutar music-musik yang cukup favorit di telinga sehingga tidak begitu membosankan.

Biasanya pengamen itu naik nya ke bis, tapi di sini justru naik angkot juga. Anehnya lagi sepertinya mereka tidak begitu meminta bayaran, karena setelah menyanyi langsung turun tanpa ada gaya menagih seperti pengamen pada umumnya. Hal ini menciptakan pemandangan unik pada saat lampu merah, beberapa pengamen justru berbaris di depan pintu angkot, satu angkot satu pengamen. Selain pengamen, ada juga beberapa masha tanpa bear dengan berbagai gaya untuk menarik perhatian para pengemudi di persimpangan lampu merah, bahkan ada pula atraksi kuda lumping di tengah jalan. Puas melihat keunikkan-keunikkan tersebut, perjalanan di lanjutkan di temani derai hujan yang turun semakin deras, hingga kami tiba di Pasar Parung. Ongkos angkot ini adalah Rp. 9000 per orang.
 
Pengamen di Angkot
Untuk menuju angkot selanjutnya, kami harus masuk ke pasar, dan berjalan hingga ke ujung pasar untuk melanjutkan perjalanan dengan angkot Parung – Rumpin. Angkot ini tidak bernomor dan berwarna biru. Dari Parung ke Rumpin juga memakan waktu sekitar 1 jam, jangan lupa untuk memberi tahu sopirnya bahwa akan naik ke Gunung Munara sehingga bisa di berhentikan di lokasi yang di inginkan. Sebenarnya jika naik kendaraan pribadi atau ojek, jalan menuju kawasan Desa Kampung Sawah (Start point menuju Gunung Munara), bisa terlihat jelas dari jalanan karena ada tulisannya, tetapi, jika naik angkot, tidak ada tanda apapun melewati rumah serta kebun tebu yang sangat sepi. Sebelumnya, supir angkot sempat bertanya ingin naik ojek atau jalan kaki, karena cukup takut melihat tukang ojek yang sangat agresif untuk mencari penumpang serta khawatir harganya mahal, akhirnya kami meminta jalan kaki saja. Sopir angkot menurunkan kita di depan sebuah rumah yang di sebelahnya ada jalan tanah. Kami diminta ikuti saja jalan lurus ini dan sekitar 1 km, barulah akan tiba di Desa Kampung Sawah. Ongkos angkot ini Rp 11000 per orangnya.

Kami turun dari angkot sudah menjelang magrib dan hari mulai gelap, ada rasa khawatir saat melewati hutan bambu yang jalannya sepi dan sangat gelap karena tertutup lebatnya bambu. Sykurlah tidak terjadi apa-apa hingga kami tiba di Desa Kampung Sawah.
Gerbang Masuk Situs Gunung Munara
Setiba di desa, kami mampir ke warung sejenak untuk membeli air, karena di atas tidak ada air, tetapi memang banyak warung yang harganya lebih mahal daripada warung di bawah. Satu botol air mineral 1,5 liter dijual seharga Rp 8000. Lumayan mahal bukan? Bagaimana dengan yang di atas?
Peta Situs Gunung Munara
Setelah menyelesaikan sholat magrib, kami memulai pendakian menuju puncak Munara, sebenarnya ada 3 puncak di gunung ini menurut peta, tetapi karena sudah malam, kami saat itu tidak begitu memperhatikan peta karena menurut warga jalurnya juga jelas. Perjalanan di mulai dengan melakukan pendaftaran dan membayar retribusi Rp 10000 per orang. Kemudian, di simpangan pertama berbelok ke kanan sesuai petunjuk arah dilanjutkan dengan menyebrangi sungai di atas sebuah jembatan bambu. Rute awal tergolong jelas karena mengikuti pagar area tambang hingga menemukan potongan bambu menyerupai jembatan yang sangat kecil. Sebenarnya ada dua cabang, menyebrang melewati jembatan tersebut atau lurus, karena bingung kami ambil jalan menyebrang. Hampir tiap beberapa menit, kami bisa menjumpai warung tapi sedang tutup dan tidak ada orangnya, hanya beberapa warung saja yang terlihat buka saat sudah mendekati puncak.
Jalur Awal Pendakian Gunung Munara
Selama perjalanan, ada banyak percabangan karena memang ini adalah area kebun warga, tetapi, untunglah kami tidak salah jalan. Saat aku merasa cukup lelah dan berjalan di depan, aku mengambil jalan yang lebar saat bertemu persimpangan lagi yang ditandai dengan batu besar, karena tidak fokus aku tidak menyadari jalan yang aku ambil justru jalan turun. Untunglah aku segera disuruh berbalik arah dan tak sengaja aku melihat batu tersebut bertuliskan “SITUS KERAMAT GUNUNG MUNARA GADOGAN KUDA”. Deg!, ada rasa takut saat itu, namun ku lawan dengan berpura santai walupun saat itu tengah kelelahan. Sudah lama aku tak berolahraga dan tiba-tiba harus nanjak lagi, belum lagi perjalan malam hari dimana aku dan pepohonan saling berebut oksigen. Aku berputar arah untuk ke jalan yang benar, kemudian kami harus berjalan di pinggiran batuan besar situs keramat tersebut, aku beristirahat di sana karena merasa lelah. Akar pohon beringin di atas batu ini menjuntai di samping jalur dengan diameter yang sangat besar menyerupai pohon-pohon kecil lain. Segera aku diingatkan untuk beristirahat di tempat lain, kukira bukan hanya aku yang membaca tulisan tadi, ternyata saat ku Tanya ketika sudah turun, ia tidak membaca tulisan itu dan hanya merasakan tidak nyaman saja saat berada di sana.
Situs Gadogan Kuda dan Akar Beringin di Sebelahnya
Karena kebanyakan beristirahat, akhirnya setelah satu jam setengah, kami tiba di lokasi camping yang tak jauh dari puncak I. Kalau menurut peta dan aku tidak salah membaca, lokasi camping ini di sebut Taman Tikoro. Lahannya tidak begitu luas hanya memuat beberapa tenda, beruntung masih bisa mendapatkan sedikit lahan. Lokasi camp ini berasa sangat tidak dingin, bahkan sangat gerah saat di tenda, karena hanya berjarak sedikit dari puncak, kami banyak duduk menikmati pemandangan malam dari puncak dimana lampu-lampu kota terlihat sangat indah. Puncak ini berupa bebatuan-bebatuan besar dan di ujung terdapat 2 buah batu besar yang di sebut Batu Bintang dan Batu Bangkong. Di tenganya terdapat celah kecil dan ada sebuah dataran kecil yang langsung menjorok ke jurang. Tapi memiliki pemandangan yang sangat indah karena khususnya pagi atau siang hari, desa, jalanan, bahkan jalur pendakian bisa terlihat dari sini. Ada satu buah warung di lokasi puncak ini, dan kami sempat membeli air mineral, gorengan serta mie instan di sini dan harganya, wow. Satu botol air mineral 1,5 liter seharga Rp 10000, mie kuah pakai telor Rp 10000 dan gorengan seribu… ya sebenarnya normal saja sih seribu, tapi ukurannya.. mini sekali. Tapi terlepas dari mahalnya harga, mungkin wajar karena jajanan itu harus naik dulu ke atas. Anggap saja plus ongkir.

Cukup lama kami duduk di dekat puncak tepatnya di dekat bendera agar tidak begitu jauh dari warung (red: tukang jajan). Hingga kabut mulai pekat dan menutupi pandangan sekitar tengah malam, barulah kami kembali ke tenda untuk tidur. Tetapi, bukan tidur nyenyak yang di dapat, selain gerah, orang-orang di luar tenda berisiknya bukan main.

Minggu, 7 Februari 2016
Makin malam justru makin bersik dan ternyata makin banyak manusia yg datang. Menjelang subuh, puncak sudah dipenuhi manusia, bahkan tidak ada celah untuk melihat sunrise, akhirnya diputuskan untuk tidur-tiduran lagi di tenda karena udara mulai dingin walau tetap terasa agak gerah.

Aku mulai merasa bosan di tenda dan ketika suasana tidak seramai saat sunrise, aku mulai berjalan melihat pemandangan puncak. Hingga akhirnya merasa lapar dan bosan karena sendiri saja, aku membangunkan Kak Beben untuk sarapan dan bersiap pulang. Kami memilih packing terlebih dahulu, setelah tenda dan bawaan pun sudah rapi, barulah kami sarapan membeli dua mangkuk mie kuah kemudian mengambil beberapa foto dokumentasi.
Suasana Pagi Puncak Munara
Perjalanan turun dilanjutkan dengan waktu sekitar 1 jam saja. Di sela-sela perjalanan turun, kami mengambil foto di beberapa lokasi karena banyaknya situs serta bebatuan-bebatuan besar yang menarik untuk di rekam dalam bentuk foto. Sepanjang jalan turun, kami menjumpai sangat banyak wisatawan yang naik karena hari libur. Pengunjungnya ternyata di dominasi oleh cabe beserta terongnya, atau mungkin aku juga menjadi cabe-cabean ketika di sini -_-. Skip~
Beberapa dokumentasi saat Jalan Turun
Setibanya di bawah dan membeli minuman untuk menyegarkan tenggorokan, kami melanjutkan perjalanan untuk kembali ke kota Bogor sekedar untuk berjalan-jalan menghabiskan waktu libur. Jadi, kami harus naik angkot biru lagi menuju Pasar Parung. Cukup lama kami menunggu tapi angkot tak kunjung ada yang lewat, hingga akhirnya “hitchhiking”. Modal jempol dan lambai-lambai tangan, akhirnya ada pengemudi mobil pick up bersama istrinya yang dengan sukarela mengangkut kami hingga ke Pasar Ciseeng. Setelah bercakap-cakap dengan pemilik mobil, ternyata saat hari libur, jarang ada angkot yang naik karena target utama angkot ke atas adalah anak-anak sekolah. Sebenarnya mobil ini juga akan menuju Pasar Parung, tapi karena mereka ada urusan terlebih dahulu di Ciseeng akhirnya kami pun memutuskan untuk naik angkot dari sini, karena di daerah sini angkot sudah banyak berseliweran.

Setibanya di Kota Bogor, kami langsung berjalan-jalan ke Kebun Raya Bogor. Dari Stasiun Bogor jaraknya tidak begitu jauh, bahkan jika mau berjalan kaki pun tidak begitu jauh. Tapi, jika tidak ingin capek di jalan, bisa naik angkot dari stasiun dengan angkot nomor 02. Tiket masuk Kebun Raya Bogor adalah Rp. 15000 per orang, sudah termasuk ke Museum Zoologi. Tidak begitu banyak tempat yang kami kunjungi, sembari berjalan-jalan melihat suasana kebun raya, kami menuju ke arah Museum Zoologi. Di dalam museum ini terpajang berbagai jenis koleksi fauna berbagai informasinya. Beberapa ruangan yang bisa anda datangi diantaranya Ruangan Burung 1, Ruangan Burung 2, Ruangan Mamalia, Ruangan Serangga, Ruangan Ikan dan Moluska, Ruangan Reptil dan Amphibi serta Ruangan Kerangka Ikan Paus. Setelah puas melihat-lihat koleksi Museum Zoologi, kami berjalan lagi menuju Taman Meksiko untuk melihat berbagai jenis koleksi kaktus.

Museum Zoologi dan Taman Meksiko
Hari menjelang sore, kami pun bergerak kembali ke Stasiun dan berencana untuk langsung pulang ke Jakarta untuk beristirahat sebelum kembali lagi ke rutinitas sehari-hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar