Blog ini dibuat untuk mendeskripsikan berbagai potensi yang ada di bumi ini. mulai dari panorama, seni budayanya, makanan khas, hingga adat istiadatnya.

Tujuan saya menulis blog ini, tak lain untuk membiasakan diri untuk sering menulis dan semoga tulisan ini bisa menjadi referensi bagi pembaca dan saya sendiri. Maka dari itu, saya berusaha merangkum kondisi tempat yang bagi saya menarik serta pengalaman saya mengunjungi suatu tempat.

Semoga berguna bagi kita semua. :)

Senin, 27 Oktober 2014

Gunung Dempo - Curup Maung, Edisi Langkah Kecil yang Bercerita (22 - 26 Oktober 2014)

Sejak beberapa bulan lalu, aku dan Kak Beben telah beberapa kali menyusun rencana perjalanan ke luar Sumatera. Sayangnya situasi dan kondisi tak memungkinkan untuk dilaksanakan dalam waktu dekat ini sehingga harus dibatalkan dulu. Sebagai gantinya, perjalanan dialihkan menuju Gunung Dempo di Kota Pagar Alam dan Air Terjun Maung di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Kali ini touring menjadi pilihan karena aku ingin mencoba menikmati perjalanan jauh dengan menggunakan sepeda motor.


22 Oktober 2014
Palembang – Pagi ini, dengan cuaca yang masih berkabut asap, kulangkahkan kaki menuju pangkalan Bus Khusus yang akan mengantarkan aku menuju Indralaya, Kabupaten Ogan Ilir. Ya…beberapa minggu belakangan ini kota ku dan daerah sekitarnya sedang dilanda bencana kabut asap akibat kemarau panjang yang disertai kebakaran hutan dan lahan. Sekitar 15 menit menunggu, bis yang dinanti pun melintas. Segera aku naik, duduk manis di bangku tembak selama 45 menit.


Setibanya di Indralaya, aku turun di depan Kampus Unsri dan tak lama menunggu, Kak Beben pun datang dengan sepeda motor dan sebuah daypack di punggungnya. Dari sinilah kami akan memulai touring dalam perjalanan menuju pagar alam. Pukul 09.45 WIB, motor mulai melaju meninggalkan Indralaya, melintasi Kota Prabumulih hingga memasuki Kabupaten Muara Enim. Belum sampai di pusat kota muara enim, hujan pun turun dengan derasnya, memaksa kami menepi dan berteduh di rumah penduduk. Ternyata Kabupaten Muara Enim sudah mulai diguyur hujan. Sangat kontras jika di banding Palembang yang masih belum diguyur hujan.

Sekitar 15 menit kemudian hujan mulai reda, dengan menggunakan raincoat, perjalanan kami lanjutkan kembali hingga akhirnya tiba di pusat kota. Kami pun berhenti di sebuah rumah makan padang untuk mengisi perut yang mulai keroncongan. Selepas makan, perjalanan dilanjutkan kembali hingga memasuki Kabupaten Lahat dan terus menuju Kota Pagar Alam. 

Menuju Pagar Alam

Sebelum tiba di Pusat Kota Pagar Alam, kami berhenti sejenak di kawasan wisata Air Terjun Lematang Indah untuk sekedar beristirahat dan menjalankan sholat. Sekitar 30 menit beristirahat, perjalanan dilanjutkan kembali hingga akhirnya kami pun tiba di pusat kota pagar alam dan beristirahat di depan minimarket sambil membeli keperluan tambahan logistik. Selepas itu, perjalanan dilanjutkan menuju pabrik teh PTPN VII dan tiba di lokasi sekitar pukul 17.30 WIB. Kembali beristirahat dengan memilih tempat di kantin yang berada di samping pabrik, sembari memesan minuman hangat dan mengobrol dengan Ayah Anton. Cukup panjang obrolan dengan ayah anton dan karena basecamp di belakang rumahnya sepi maka di sepakati bahwa kami akan langsung melanjutkan perjalanan ke Kampung IV, kampung terakhir menuju lokasi pendakian Gunung Dempo.

Azan Magrib mulai berkumandang, segera kami menuju mushollah dan menjalankan sholat Magrib. Selepas waktu magrib, kami melanjutkan perjalanan menuju Kampung IV. Perjalanan mulai menanjak dan berkelok, melintasi aspal mulus sampai akhirnya mulai masuk ke jalan bebatuan yang kurang tersusun rapi sehingga sangat menguras tenaga dan konsentrasi dalam membawa motor. Dengan bermodal penerangan dari lampu motor, kami pun akhirnya tiba di Kampung IV dan berhenti di kantin Bu Tina. Di kantin inilah kami membeli makan dan minum, sholat isya dan bermalam. Rencananya kami ingin bermalam di Balai yang berada di samping kantin, namun melihat tidak adanya pendaki lain, kami pun memutuskan untuk bermalam di bale-bale teras kantin. Pukul 23.00 WIB listrik dari mesin diesel mulai padam, hanya langit yang tampak terang ditaburi bintang-bintang. Dalam kondisi yang masih sangat sulit tertidur karena suhu yang dingin, aku coba memejamkan mata hingga azan terdengar, mungkin hanya 1 atau 2 jam aku terlelap.

23 Oktober 2014
Sepanjang malam istirahat terganggu karena rasa dingin yang luar biasa, membuat kepala terasa berat dan pusing. Sempat terpikir tidak sanggup untuk melanjutkan pendakian, namun sinar matahari memberikan semangatnya dan aku tampak sehat-sehat saja. Pendakian tetap dilakukan.

Usai solat subuh dengan menahan dinginnya air, kami segera menyantap nasi goreng dan teh hangat yang dibeli di kantin. Sayangnya nasi goreng yang dipesan ternyata pedas. Karena tidak terlalu kuat makan pedas, aku hanya makan beberapa sendok saja, apalagi kalau lagi travelling, si perut sulit merasa lapar.

  “Paling telat jam 8 kita jalan”, ucap Kak Beben sembari packing bawaan ke dalam daypack. Tak lama, seorang pendaki datang dengan membawa buku untuk rumah baca di Kampung IV ini. Ia bernama Bang Ardi, yang juga akan melakukan pendakian hari ini bersama keenam temannya. Sepertinya tidak ada pendaki lain, selain kami dan rombongan Bang Ardi. Karena aku dan Kak Beben sudah mulai start berangkat duluan, akhirnya kami memutuskan jalan lebih santai dan duduk-duduk di Pintu Rimba, menunggu mereka datang.

Setelah semua datang, kami memutuskan untuk naik bersama, walaupun akhirnya di perjalanan terbagi menjadi dua kelompok. Bang Ardi paling depan, aku di belakangnya dan Kak Beben di belakangku. Sedangkan yang lainnya, berada beberapa meter di belakang kami.


          “Kak Beben, dibelakang aku. Kalo aku ketinggalan kan ada yang menunggu”, pintaku agak memelas.
pendakian
Perjalanan berlanjut, setibanya di Shelter 1, kami beristirahat cukup lama sambil menikmati segelas susu coklat hangat. Beberapa pendaki yang sedang turun sempat kami temui di sini, sekedar bertegur sapa dan berbagi informasi kondisi di atas.

Setelah puas beristirahat, aku sempat meminta jika Kak Beben mau ke sumber air agar aku diajak karena ingin tau lokasinya, sekalian mengambil wudhu. Kemudian kami berdua turun ke lokasi sumber air di Shelter 1 dan ternyata keadaannya cukup mencengangkan. Kering tak ada setetes air pun disana. Kak Beben langsung memanjat dan naik ke atas mengikuti aliran air, mencari kemungkinan air yang tersisa.

             “Kaaakk….?”, teriakku karena Kak Beben belum muncul-muncul juga.
         “tak ada suara balasan, mungkin jauh mengambil airnya, mungkin belum ketemu”, pikirku dalam hati.

          “Masih bisa lanjut kah? Air sudah kering begini. Tapi… masa batal muncak sih? Ah, semoga dia dapat air dan diatas sana juga masih ada airnya”, gumamku saat duduk sendiri, menanti Kak Beben yang sedang mencari sisa-sisa air.

Kemudian ia pun muncul dengan membawa botol-botol berisi air. Alhamdulillah…
Air di dapat dari menampung sisa-sisa genangan di cerukan batuan. Memang rasa belerangnya terasa, namun inilah modal untuk perjalanan kami selanjutnya. Dengan tayamum, kami menyelesaikan kewajiban dan sekitar pukul 13.00 WIB pendakian pun dilanjutkan kembali.

Dengan melangkah perlahan namun pasti, kami pun akhirnya tiba di Dinding Lemari. Dibukalah bungkusan nasi goreng yang dibeli di kantin pagi tadi, disinilah kami makan siang bersama.

          “huaaa..pedas juga ternyata” ujarku,
          “wah iya, lupa ngomong jangan bikin yang pedas”, ujar Kak Beben

Ternyata nasi gorengnya sama pedasnya seperti pagi tadi. Alhasil aku cuma sanggup makan sedikit karena memang tak tahan pedas. Setelah semua berkumpul, menyantap nasi goreng dan beristirahat melepas lelah, perjalanan kembali dilanjutkan.

Di tengah perjalanan, kaki mulai terasa lemas dan aku mulai kedinginan. Jaket pun sudah ku pakai saat berjalan dari Dinding Lemari. Tujuan selanjutnya adalah Shelter 2. Selama perjalanan, kurasa fisik mulai drop. Mual dan masuk angin mulai menyerang, mungkin karena makan yang sangat sedikit sejak pagi tadi.

Setibanya di Shelter 2, aku segera minum Tol*k Angin dan beristirahat. Karena suhu yang mulai dingin, Kak Beben segera mengeluarkan Emergency Blanket, agar aku bisa merasa lebih hangat. Kami menunggu semua tim lengkap dan setelah semua puas beristirahat, pendakian kembali dilanjutkan. Aku dan Kak Beben memilih berjalan di belakang dan setelah berjalan beberapa menit, aku dan Kak Beben baru ingat belum melaksanakan sholat Ashar. Kami persilahkan yang lain untuk lanjut dan kami mencari sedikit tempat datar untuk melaksanakan sholat. Usai sholat, kami pun lanjut berjalan menemui teman-teman yang lain.

            “Kak, perutku mules, sepertinya tak tahan lagi, mungkin gara-gara masuk angin”, ucapku.

baru saja berjalan, tiba-tiba perutku terasa sangat melilit. Akhirnya dengan sangat terpaksa aku buang hajat di tepian jurang karena sudah tak sanggup lagi mencari tempat lain. Dengan sabar, Kak Beben menunggu, menjaga dan tetap sopan dengan tidak melihat aksi menyedihkanku di tepi jurang. Selesai buang hajat dan menimbunnya, aku pun siap melanjutkan perjalanan kembali.

“astaga, ini badan jadi seperti ini. Sanggup kah sampai puncak?”, pikirku dalam hati.
“Bisa...”, Seolah tau apa yang ku pikirkan, Kak Beben berkata demikian, sambil menatap mataku. Kemudian mengajak lanjut berjalan karena hari mulai mendekati Magrib. Beberapa menit berjalan, tampaklah teman-teman yang lain sedang duduk beristirahat. Disana kami kembali duduk berkumpul bersama hingga menyudahi saat-saat adzan magrib sampai akhirnya melanjutkan perjalanan kembali.

Hari sudah mulai gelap, karena jumlah alat penerangan yang kurang, kami pun berjalan beriringan. Aku dan Kak Beben sendiri berada di belakang dan syukurlah aku masih bisa mengimbangi gerakan rombongan sehingga tidak ketinggalan.

Terus berjalan dengan perlahan, memanjat akar-akar pohon melintasi jalur yang mulai curam, sekitar pukul 19.30 WIB kami pun akhirnya tiba di Cadas. Tak lama beristirahat disini, perjalanan dilanjutkan kembali. Di tengah perjalanan, salah seorang teman kondisinya sudah tidak memungkinkan untuk lanjut. Kak Beben pun mendahului rombongan, mencari lahan datar yang layak untuk mendirikan tenda. Kami pun akhirnya bersama-sama mendirikan tenda di kawasan hutan lumut, lokasinya berada tidak jauh dari puncak dempo, tepatnya beberapa meter dibawah Makam.

Karena cuaca yang dingin serta tidak ada pemandangan yang dapat dilihat, aku pun tidak keluar dari tenda dan bahkan sangat betah di dalam sleeping bag yang kukenakan. Ada sedikit rasa kecewa karena tidak bisa melihat langit luas di pelataran Dempo malam ini. Apalagi pendakian pertamaku ke Gunung Dempo bulan Maret lalu juga kusia-siakan dengan diam di tenda, saat bermalam di pelataran. Aku ingin melihat Milky Way dan Sunrise!

Jujur sempat ada rasa kesal, mungkin karena lelah yang membuatku tidak memikirkan sekitar. Tapi akhirnya aku bisa berfikir positif. Dengan kondisiku yang mungkin hanya segar sesaat, padahal sudah sangat lelah, sepertinya sudah cukup untuk menjadi alasan bermalam disini. Lagi pula, kami sudah bersama rombongan sejak awal mendaki dan juga menurut informasi pendaki yang kami temui siang tadi, tidak ada pendaki lagi di atas sana. Jadi mending disini, terasa ramai dengan bersama-sama.


Suhu malam ini terasa lebih dingin dari kemarin, apalagi ditambah dengan hujan kabut. Mungkin karena lelah dan memang kurang tidur sehingga setelah makan malam, aku pun lekas terlelap dalam balutan Emergency Blanket dan sleeping bag.

Hutan Lumut

24 Oktober 2014
Pagi yang segar, tepatnya dingin! semua sudah bangun dan beraktivitas, mulai dari menyiapkan sarapan hingga kembali packing. Hari ini kami akan naik ke pelataran dan lanjut ke Puncak Merapi Dempo. Rombongan Bang Ardi sudah lebih dulu selesai packing dan berangkat duluan. Sekitar setengah jam, aku dan Kak Beben menyusul namun kali ini tidak membawa daypack. Daypack sengaja kami timbun di sekitar hutan lumut ini, rencananya memang kami akan langsung kembali turun menuju kampung IV karena besok akan melanjutkan perjalanan menuju Air Terjun Maung bersama teman Kak Beben yang sudah dihubungi beberapa hari sebelumnya.

Dengan membawa bodypack dan logistik secukupnya, kami mulai berjalan melanjutkan pendakian. Tidak begitu lama berjalan, kami pun tiba di puncak dan langsung turun menuju pelataran. Tiba di pelataran, kami istirahat sebentar sembari mengobrol dengan teman-teman yang telah lebih dulu tiba. Setelah beristirahat, aku dan Kak Beben bergegas ke Puncak Merapi karena kami harus segera turun siang ini. Berbeda dengan rombongan Bang Ardi yang akan camp satu malam lagi di pelataran.


Berjalan perlahan menyusuri jalan setapak yang ada, akhirnya aku berhasil kembali menjejakkan kaki di puncak ini. Tak ada orang lain di atas sini kecuali hanya kami berdua. Walaupun disekitar penuh kabut, pemandangan sangat tertutup, namun aku merasa puas. Segala keraguan kemarin akhirnya terjawab. Sesuai permintaanku kemarin-kemarin, Kak Beben mengajakku berjalan menuju Seismograf. Sayang karena kabut, pemandangan di belakang pun tak terlihat. Begitu pula dengan kawah yang hanya sesekali saja menampakkan diri, menunjukkan warna abu-abu, mirip kulit telur asin.
Di Puncak Merapi
Puas berfoto dan bersantai, Pukul 12.00 WIB kami mulai turun ke pelataran, karena rencananya kami akan turun gunung sekitar pukul 13.00 WIB. Di pelataran, kembali kami menemui teman-teman yang sudah mendirikan tenda dan ternyata kami dapat suguhan makan siang. Lumayan modal buat jalan, walaupun rencana turun awal harus molor hingga pukul 14.00 WIB. Selesai makan siang kami berpamitan dengan mereka dan mulai bergerak turun. Menurut pendakian sebelumnya, aku membutuhkan waktu sekitar 4 jam untuk keluar dari pintu rimba… ya, begitu rencananya.

Awal perjalanan semua lancar. Langkahku masih stabil meskipun tidak secepat Kak Beben. Walaupun begitu, dia tetap menunggu agar aku tidak tertinggal. Tiba di hutan lumut, kami mulai membawa daypack yang ditimbun sebelumnya dan langsung melanjutkan perjalanan hingga tiba di Shelter 2. Beberapa menit melanjutkan perjalanan dari sini, barulah kaki ku mulai terasa berat dan lemas. Semakin lama, langkah mulai pelan dan tidak beraturan. Melihat kondisi demikian, Kak Beben berinisiatif membawakan daypackku sehingga aku hanya membawa bodypack.

Awalnya menurut perhitungan, sekitar pukul 18.00 WIB, kami sudah keluar dari Pintu Rimba. Sayangnya perhitungan sepertinya akan meleset, tepat pukul 17.30 WIB kami baru tiba di Shelter 1. Sedangkan kaki benar-benar sudah lemas, meskipun tetap kuupayakan untuk melangkah.

Di Shelter 1, kami sholat asar sejenak dengan di jama’ zuhur dan dalam doa aku berharap tenaga ini bertambah dan langkah kaki ku semakin membaik. Mungkin doa tersebut agak aneh kalau benar-benar terwujud, sejenis keajaiban. Tapi ada cara lain dari Allah untuk memberi pertolongan. Di Shelter 1 aku menemukan sebuah tongkat kayu yang pas untuk membantuku berjalan turun. Walaupun pelan, setidaknya terasa lebih tertolong.

Perjalanan berlanjut, berkali-kali aku terjatuh karena kaki semakin lemah. Perjalanan menuju pintu rimba kali ini benar-benar memakan waktu dan tenaga. Hari mulai menjelang magrib, kami pun beristirahat sejenak di jalur, sembari mempersiapkan sarana penerangan.

            “Astaga, patah…”, ucap Kak Beben lirih, sambil mengeluarkan slot baterai cadangan headlamp. Baterai bawaannya sudah habis untuk penerangan saat di atas dan baterai cadangan terpaksa tidak bisa digunakan karena wadahnya patah, terjepit oleh barang bawaan di dalam daypack. Masih ia mencoba memperbaikinya, namun nihil. Dengan tidak mematahkan semangat, Ia mengeluarkan handphonenya dan menghidupkan flash untuk pencahayaan kami di jalur pendakian. Namun daya baterai sudah menipis. Jadilah handphone tersebut digunakan sambil dicolok powerbank yang ternyata dayanya juga menipis.

     “Semoga baterai handphonenya bisa bertahan hingga kami tiba di kampung IV, setidaknya keluar dari titik awal pendakian”, harapku dalam hati.

Usai adzan magrib, kembali kami berjalan beriringan dengan langkahku yang tertatih. Pikiran-pikiran rasa takut akan cerita yang pernah kudengar disini sejujurnya mulai terbesit di otakku. Bayangkan saja… kami hanya berdua di dalam hutan rimba yang gelap, dengan penerangan minim pula. Hanya semangat dari setiap kami dan ingat akan Tuhan yang masih membuat otakku tetap berpikir positif hingga membuat kaki ini mampu terus melangkah.

Di tengah perjalanan kami beristirahat sejenak. Ku lihat Powerbank sudah benar-benar tidak bisa digunakan lagi, jadilah flash handphone menjadi satu-satunya penerangan kami. Entah karena tertarik atau apa, pandanganku mengarah ke sekitar, melihat ke atas pohon yang satu ke pohon yang lain. Dengan lirih Kak Beben berbicara “Dek…matanya lihat ke arah sinar saja” sambil menyorot flash handphonenya ke tanah. Kami pun mulai ngobrol, bersenda-gurau hingga akhirnya siap melanjutkan perjalanan kembali.

Hampir sepanjang jalan mulai dari Shelter dua, Kak Beben membawa daypackku, sehingga ia membawa dua daypack. Sedikit khawatir ia juga lelah, karena saat ini sejujurnya hanya dia yang bisa memberi semangat.

          “Kaaakk… vapur hilang..!”, ucapku sontak kaget. Satu-satunya botol air minum kami untuk diperjalanan, lepas dari gantungan bodypack yang kubawa. Entah terjatuh dimana, mungkin tak terasa lepas saat aku ngesot dan memang tidak terlihat karena gelap.

          “tunggu di sini sebentar ya, sebentar saja…cuma mau cek ke atas dikit, mungkin jatuhnya barusan. Kalau tidak ada, ya apa boleh buat. Coba mainkan Handphone saja agar lumayan terang”, instruksi Kak Beben, saat akan coba mencari botol air minum tersebut.

Sayangnya Handphone ku harus install aplikasi dulu agar bisa jadi senter dan pada saat itu, aplikasinya belum terinstall. Alhasil, hanya sinar dari layarnya saja yang menerangiku.

Selang beberapa detik menunggu, Kak Beben pun turun dan botol vapur tidak ditemukan. Seperti ada tambahan semangat, kami baru teringat bahwa di samping daypack ada botol air yang dibawa Kak Beben, yang ditemukannya saat di jalur pendakian kemarin. Alhamdulillah….walaupun isinya jauh dari cukup, hanya sebatas dua ruas jari. Kami pun mulai menghemat persediaan air, dengan minum hanya sebatas membasahi tenggorokan.

Perjalanan dilanjutkan kembali. Di tengah perjalanan, masalah pun muncul kembali, handphone Kak Beben yang menjadi sumber penerangan kami mulai kehabisan daya. Segera dia mengambil baterai cadangan untuk berjaga-jaga. Selang beberapa detik, handphone pun mati dan segera diganti dengan baterai cadangan yang dibawa.

Tombol power ditekan….
… Handphone masih belum nyala…
……
          “Baterainya kosong kak?”, tanyaku….
          “Sepertinya begitu..mungkin kena suhu dingin”, jawabnya
Perasaanku mulai bercampur. Namun seperti tak kehabisan akal, kami pun menggunakan layar handphoneku sebagai penerangan. Dengan mengandalkan penerangan ini, kami melanjutkan perjalanan dengan tetap beriringan meskipun jalan semakin lambat karena kondisi kaki ku yang semakin lemas.

Hanya doa yang keluar tak bersuara dari mulutku, berharap bisa cepat keluar dari hutan rimba malam ini. Kulihat wajah Kak Beben yang sudah mengisyaratkan kelelahan, bahkan sesekali kulihat dia tampak tak seimbang. Seperti sudah sangat lelah, namun tetap ingin tampak kuat.

Sempat ia memintaku untuk memberitahunya kalau aku sudah tidak sanggup berjalan. Jika sudah begitu, mau tidak mau harus camping di jalur untuk recovery diri. Tapi aku terfikir, air sudah sangat menipis, perut sudah mulai lapar. Aku harus kuat, jangan sampai ngecamp lagi. Perjalanan pun tetap dilanjutkan…

Dengan penuh kesabaran, doa dan usaha yang entah telah berapa kali dilakukan, akhirnya kami pun tiba di Pintu Rimba tepat pukul 20.00 WIB. Alhamdulillah…

                “Assalammualaikum”, ujar Kak Beben di depan Pintu Rimba. Terdengar jelas ada suara dahan pohon yang patah. Barangkali monyet, ujarnya. “Assalammualaikum”, sekali lagi Kak Beben berucap, …”kemudian hening”.

Baru saja hendak beristirahat di lahan lapang dekat pintu rimba, tiba-tiba kami dikejutkan dengan suara grasak-grusuk di semak. Seketika Kak Beben mengeluarkan pisau sambil memperhatikan arah sumber suara. Terdengar suara hewan seperti Babi Hutan. "Hussh!!!...Hussh!!...", Usir Kak Beben… “kemudian kembali hening”.

Kami pun kembali beristirahat sejenak di lahan lapang sambil membasahi tenggorokan. Cukup lega rasanya.

          “Nanti, kalau sudah lewat di plang titik awal pendakian, Kakak duluan saja ya, biar bisa ambil motor di kampung IV dan menjemput”, tawar Kak Beben kepadaku membuka obrolan.
“Atau nanti kita berjalan ke goa dulu, disana masih ada anak Palembang yang sedang pendidikan. Bisa menumpang istirahat sebentar, baru kakak lanjut jalan duluan ke kampung IV mengambil motor”, ucapnya lagi…

          “hmm.. bareng saja kak…kurang nyaman sendiri. Sepertinya bisa dibawa jalan agak cepat, kan jalannya sudah datar, tidak seperti di dalam hutan tadi”, aku menolak, mungkin karena takut sendiri.

          “Lanjut yok…”, ajaknya.

Perjalanan pun dilanjutkan, melewati jalan setapak kebun teh yang terasa sangat curam kali ini. Masih beriringan pelan, sesekali beristirahat karena aku kembali terjatuh.

          “Kak, nanti dibawah langsung ambil motor duluan saja ya, sepertinya kaki mulai berat untuk terus jalan, nanti tambah lama kita tiba di kampungnya”, akhirnya aku mulai menyerah karena kaki sudah sangat sakit dan lemas.

Awalnya ia menolak untuk meninggalkan aku sendiri, namun aku sedikit memaksa hingga akhirnya di iya kan.

Seperti terasa cukup lama melewati kebun teh ini, sekitar pukul 21.00 WIB kami pun akhirnya tiba di plang Titik Awal Pendakian Gunung Dempo. Beristirahat sejenak di bawah tiang plang ini. Air minum yang tersisa pun kami minum kembali.

Awalnya aku menolak untuk minum, kupikir Kak Beben lebih membutuhkan karena akan berjalan ke kampung, sedangkan aku hanya duduk menunggu. Kalaupun aku haus, ya tinggal duduk menikmati suasana malam.

Namun Kak Beben memaksa agar tetap berbagi, jadilah sisa air di botol kami habiskan.

Perjalanan pun dilanjutkan kembali. Kunyalakan handphone satu lagi, agar kami bisa berbagi penerangan. Meskipun redup, namun cukup membantu untuk menerangi jalan. Dari Plang ini kami masih berjalan beriringan, melewati satu tikungan di lembahan hingga tiba di lokasi yang cukup indah untuk dinikmati karena pemandangan kerlip lampu kota bisa terlihat. Dari sini Kak Beben mulai berjalan duluan.

   “Kakak jalan dulu ya, kalau ada apa-apa, teriak!”, ucapnya sebelum ia berjalan lebih dulu ke Kampung IV.

Aku duduk sejenak untuk beristirahat, sembari memandangi lampu-lampu kota dan perkebunan teh yang terlihat hitam saja, kala malam. Masih tampak Kak Beben yang belum terlalu jauh, berhenti di sebuah bak penampungan air, terlihat ia memasukkan kepalanya disana. Aku pun baru tahu saat sudah di kampung IV, bahwa ia minum sisa air yang tergenang disitu.

Takut cuaca mulai dingin, aku kembali mengangkat tongkat dan berjalan pelan dalam sendiri. Ada rasa takut yang kucampur dengan doa. Kudengar suara-suara nyanyian orang ramai, sepertinya itu pendaki yang sedang camping di sekitar sini. Aku merasa lelah, ingin istirahat, tapi tempat ini terlalu gelap. Kupaksa berjalan sedikit lagi hingga menemui tempat yang cukup terbuka dan ada sedikit cahaya. Aku duduk dan menunggu, sembari mengusir takut dengan mendengarkan nyanyian para pendaki yang kudengar dari jauh.

Suara mesin motor mulai terdengar, lampu yang bergerak mulai terlihat mendekat. Syukurlah, akhirnya Kak Beben datang. Segera aku naik ke motor dengan perasaan sangat lega. Ia membawa motor milik Bapak Kantin tempat kami menitipkan motor. Ia dipinjamkan motor tersebut agar bisa lebih cepat karena trek jalanan yang berbatu-batu.

Baru saja melewati jembatan Resort, tiba-tiba mesin motor mati. Beberapa kali dicoba untuk dihidupkan namun mesin tak kunjung menyala. Menyala sebentar, di gas sedikit langsung mati. Motor pun kemudian di dorong, dengan kondisi jalan yang menanjak sepertinya menyulitkan Kak Beben. Akhirnya motor kembali di otak-atik sampai berulang kali hingga akhirnya mesin berhasil menyala sempurna, walau bensin menjadi lebih boros.

Kami pun tiba di Kampung IV dan aku langsung beristirahat sambil menyantap makan malam dan teh hangat yang sudah di pesan Kak Beben saat tiba duluan tadi.

Malam ini, pendaki sudah mulai ramai di Kampung IV karena sepertinya memang sudah memasuki Long Weekend. Malam ini pula tanggal 1 Muharram (Malam 1 Suro) yang sempat menjadi pikiran saat masih di dalam hutan tadi.

Sebelumnya rencana kami malam ini akan lanjut ke Basecamp Ayah Anton, karena sudah berjanji akan menemui Budi, teman Kak Beben yang akan mengantar ke Curup (Air Terjun) Maung. Namun ternyata Budi sudah berada di Kampung IV bersama dengan rombongannya, sehingga malam ini kami pun menginap di balai kampung IV bersama mereka.

Selesai makan dan beristirahat, aku segera mengambil posisi di dalam Balai untuk melaksanakan sholat kemudian merebahkan diri, memanjakan tubuh yang keletihan ini.

25 Oktober 2014
Pagi hari aku bangun dan kali ini akan dilanjutkan perjalanan menuju Curup Maung. Berkali-kali aku terfikir bahwa jalannya bakal tambah sulit karena kaki yang belum pulih. Kantin pagi ini tutup karena ibu dan bapak pemilik kantin berangkat ke Kampung I menghadiri perlombaan rabana. Untungnya motor sudah dikeluarkan bapak, namun helm dan pakaian yang dititipkan masih di dalam rumahnya. Meski begitu, perjalanan masih dilanjutkan menuju Curup Maung dan sepulangnya nanti akan naik lagi ke Kampung IV, mengambil barang yang tertinggal.

Untuk mengisi pagi, usai sarapan aku coba berjalan-jalan di sekitar Kampung IV agar kaki terbiasa lagi dibawa berjalan. Sekitar pukul 09.00 WIB, kami mulai bergerak menuju Kampung I, bersama Budi dan satu orang lagi yang memang hendak turun sebentar dengan meminjam motor bapak kantin. Tiba di kampung I, aku, Kak Beben dan Budi sarapan di kantin sebelah Pabrik Teh PTPN VII, sembari menunggu Heri, seorang teman Kak Beben lagi yang memang berdomisili di Pagar Alam.

Beberapa menit kemudian Heri pun tiba, kami diajak ke rumahnya terlebih dahulu. Disana kami disuguhkan sarapan oleh Ayah dan Ibunya, sembari menunggu kedatangan teman lainnya yang akan ikut ke Curup Maung. Akhirnya, ada 6 orang yang ikut dan dijalan kami pun bertemu dengan dua orang lagi hingga semakin ramailah rombongan.

Sekitar pukul 11.30 WIB, kami bergerak menuju Curup Maung. Menurut bahasa penduduk setempat, Maung berarti bau keringat. Hal ini dikarenakan memang membutuhkan perjuangan dan keringat untuk mencapai air terjun ini.

Hampir satu jam di jalan, melewati jalan aspal yang berganti menjadi jalan batu dan tanah, akhirnya kami tiba di area parkir Curup Maung. Ternyata air terjun ini sudah komersil dan sangat ramai. Padahal baru tahun kemarin lokasinya masih sepi dan tenang. Sudah ada tarif parkir sebesar Rp 5.000 untuk sepeda motor, biaya kebersihan sebesar Rp 2.000 per orang serta sudah banyak penjual makanan dan minuman di sepanjang jalur menuju air terjun ini. 

Tetap dengan berjalan pelan dan dibantu oleh Kak Beben, jalanan turun yang curam menuju air terjun ini cukup menguras tenaga. Beberapa kali aku memilih untuk ngesot, ketimbang turun secara normal. Sedikit rasa malu karena terlihat seperti seorang yang manja, namun apa boleh buat, kemampuanku benar-benar sedang terbatas. Akhirnya dengan sabar dan sangat pelan, kami tiba di tepian air terjun. Air terjun ini sangat cantik dan indah, bahkan saat sudah sangat ramai begini, masih juga mengundang rasa ingin segera berenang dan menikmati percikan airnya. Kalau kata teman, air terjun ini mirip seperti di iklan “Ad*m Sari”. 


Karena kondisi yang sudah ramai, akan lebih aman jika membayar jasa penitipan tas, hanya Rp 5000 setidaknya bisa lebih aman menikmati segarnya air terjun ini.

Curup Maung
Puas bermain air dan berfoto, kami segera naik kembali menuju parkiran. Jalan pulang yang menanjak terjal cukup melelahkan walaupun terasa lebih nyaman untuk kakiku jika dibanding saat turun. Tiba di parkiran, kami menyantap makan siang dan dilanjutkan pulang menuju rumah Heri kembali. Tiba di sana, kami menyempatkan diri menonton Kuda Lumping yang menurut Ayah Heri, Seni Budaya Kuda Lumping ini rutin diadakan setiap hari 1 Suro. Tak lama menonton, aku dan Kak Beben pamitan dengan kawan-kawan disana karena harus kembali menuju Kampung IV untuk mengambil barang-barang yang tertinggal.

Kuda Lumping
Sebelum ke Kampung IV, kami menyempatkan diri untuk melihat dan bersantai di Tugu Rimau sambil menikmati gorengan yang dibeli di kantin pabrik teh PTPN VII. Suasana di Tugu Rimau cukup ramai, memang biasanya saat hari sabtu-minggu tempat ini selalu ramai dikunjungi wisatawan. Karena hari mulai mendung dan sepertinya akan turun hujan, tak berlama kami kembali naik motor untuk menuju Kampung IV. Rencananya malam ini kami akan ngecamp di Tugu Rimau karena suasananya cukup nyaman dan kebetulan juga ada sekelompok anak-anak pramuka yang mendirikan tenda di sana.

Tugu Rimau
Menjelang Magrib, kami tiba di Kampung IV. Setelah mengambil barang-barang dan menjalankan sholat magrib, hujan pun turun. Barulah setelah hujan reda, kami mulai bergerak kembali menuju Tugu Rimau untuk mendirikan tenda disana.

         “Dek, HP kakak dimana ya?”, tanya Kak Beben, saat baru akan mendirikan tenda di Tugu Rimau.
           “hmmm…di daypack sudah di cek ? waktu di kampung IV ngecas ?”, tanyaku

            “Astaga…iya di cas. Kakak balik lagi kesana ya” Ujar Kak Beben.

          “Besok pagi kan bisa, sekarang sudah malem. Hubungi Bang Ardi coba, minta diamankan dulu HP nya, kan dia masih di kampung IV”, ucapku.

Akhirnya Kak Beben tidak jadi naik lagi malam ini dan mencoba menghubungi Bang Ardi. Sayangnya nomer Bang Ardi sedang tidak aktif sehingga dicoba menghubungi teman-teman lain untuk mendapatkan kontak teman Kak Beben yang sedang di Kampung IV.

Kontak berhasil di hubungi, HP pun berhasil di evakuasi dan besok pagi rencananya akan kembali melewati jalanan ke Kampung IV.

Malam ini hanya sebentar kami menikmati suasana malam di kawasan aspal tertinggi Kota Pagar Alam (1820 mdpl) karena sempat turun hujan, walaupun hanya sebentar. Kami beristirahat lebih cepat karena harus mempersiapkan fisik untuk perjalanan pulang esok hari.

26 Oktober 2014
          “Kak, kan Bang Ardi sama rombongannya kemungkinan turun pagi ini. Kenapa tidak dititipkan saja HPnya ke dia, kemudian ketemuan di Kota, jadi tidak perlu repot-repot harus ke Kampung IV lagi”, saranku pagi itu.

Kak Beben pun kembali menghubungi nomer Bang Ardi namun tetap tidak aktif, begitu juga dengan nomer kawan lainnya yang berada di Kampung IV. Untungnya, semalam sudah dapat kontak Ayah Rohim, pemilik kantin tempat Kak Beben ngecas HP. Setelah dihubungi, ternyata Bang Ardi belum turun hari ini dan teman-temannya sudah turun lepas magrib kemarin. Selain itu, tak ada juga yang berencana untuk turun pagi ini. Alhasil, kami pun mulai berkemas dan packing pagi itu juga kemudian langsung kembali menuju Kampung IV.

Poto di kebun teh sebelum pulang
Tiba di Kampung IV, kami segera mengambil HP dan ngobrol-ngobrol sebentar. Kemudian, perjalanan dilanjutkan turun menuju Kota. Tiba di Pabrik Teh kami beristirahat sebentar untuk mengisi perut. Pukul 11.30 WIB kamu mulai melanjutkan perjalanan menuju Palembang.

Setibanya di Lahat, Kak Beben mengajakku ke Gajahan, kawasan di bawah Bukit Serelo, tempat yang pas untuk berfoto. Sayangnya gerbang ditutup sehingga hanya bisa mengambil background foto bukit serelo hanya dari depan gerbangnya saja. Setelah selesai berfoto, kami pun kembali pulang. 

Bukit Serelo
Dalam perjalanan pulang, hujan sempat turun, memaksa kami berteduh di sebuah pondokan pinggir jalan. Untungnya hujan tidak begitu lama dan perjalanan kami lanjutkan, walaupun sempat kehujanan lagi di daerah Muara Enim.

Sekitar pukul 18.30 WIB kami tiba di Kota Prabumulih dan berhenti makan malam di Rm. Cambai Jaya. Selesai makan, kembali perjalanan dilanjutkan dan tiba di Kota Palembang sekitar pukul 21.00 WIB. Setelah mengantarku pulang ke rumah, Kak Beben melanjutkan perjalanannya pulang menuju Indralaya.

* * *

…Sejujurnya pendakian kali ini menjadi yang tersulit dibanding sebelumnya dan bagian cerita perjalanan yang sangat aku ingat adalah saat perjalanan turun dari Gunung Dempo...
....Di saat kaki mulai letih berjalan
....Di saat headlamp mulai tak bisa digunakan
....Andalkan flash HP yang mulai kehabisan baterai
....Baterai cadangan pun tak bisa digunakan
....Powerbank yang hanya tersisa sekian persen
....Hingga akhirnya mengandalkan sinar layar HP
....Menahan rasa haus, karena persedian air minum yang hilang
....Berjalan perlahan dengan sejuta rasa
....Ditengah hutan rimba, hanya kami bedua, berteman tuhan di dalam jiwa 
Sebuah Langkah Kecil yang Bercerita…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar